Soesilo Toer: Marxisme dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 05 Juni 2018 | 07:30 WIB
Soesilo Toer: Marxisme dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual
Soesilo Toer adik Pramoedya, di rumahnya, Jalan Pramoedya Ananta Toer, Blora, Jawa Tengah, Jumat (1/6/2018). [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pembersihannya macam-macam caranya. Biasanya intelijen bergerak. Digertak. Semua intelektual yang dianggap “merah” (Marxis atau bahkan Komunis) diintai. Jadi, setiap mahasiswa yang baru pulang dari luar negeri diintai.

Bagaimana kiprah intelektual pada era Orde Baru?

Ya, ada yang mendukung kekuasaan. Tapi ada juga yang melawan tirani kekuasaan. Kalau menurut saya, fenomena itu disebabkan perbedaan cara berpikir.

Menurut saya, tergantung intelektual itu masing-masing. Kalau dia banyak membaca buku, memunyai banyak pengalaman praktik di kalangan rakyat, maka akan menolak Soeharto.

Baca Juga: Italia Tahan Imbang Belanda 1-1

Soesilo Toer adik Pramoedya, di rumahnya, Jalan Pramoedya Ananta Toer, Blora, Jawa Tengah, Jumat (1/6/2018). [Suara.com/Somad]

Bagaimana mengenai kaum intelektual era reformasi?

Sama saja seperti era Orde Baru, ada yang mendukung penguasa, juga ada kelompok kritis.

Oya, saya mau menanggapi soal ada kelompok intelektual mengklaim Amien Rais (mantan dosen, kekinian menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Amanat Nasional) sebagai tokoh reformasi, bapak reformasi 1998. Kalau saya mengatakan, itu tidak benar. Itu saja.

Apakah banyaknya mahasiswa atau kaum intelektual era Bung Karno yang dibunuh, dipenjarakan, ikut menjadi sebab mandeknya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan hingga kekinian?

Baca Juga: Negara Ini Sulap Air Limbah Daur Ulang Jadi Bir, Minat?

Iya, terpotong satu generasi. Saat era Bung Karno berakhir dan Soeharto berkuasa, setiap intelektual benar-benar diteliti. Misalnya kalau mau menjadi pegawai pemerintah, apa terindikasi “merah”? Kalau iya, akan “dibersihkan”. Akhirnya, banyak mahasiswa dan intelektual yang menganggur, tak bisa menerapkan ilmu-ilmunya. Mereka yang dianggap “merah” tak bisa bekerja untuk negerinya sendiri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI