Soesilo Toer: Marxisme dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual

Reza Gunadha Suara.Com
Selasa, 05 Juni 2018 | 07:30 WIB
Soesilo Toer: Marxisme dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual
Soesilo Toer adik Pramoedya, di rumahnya, Jalan Pramoedya Ananta Toer, Blora, Jawa Tengah, Jumat (1/6/2018). [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Ia sendiri adalah lulusan master Ilmu Perencanaan Ekonomi Politik Peoples' Friendship University of Russia—lebih dikenal dengan nama Patice Lumumba University—pada era Uni Soviet. Ia juga doktor bidang politik ekonomi dari Plekhanov Russian University of Economics, juga era Soviet.

Soesilo Toer adik Pramoedya, di rumahnya, Jalan Pramoedya Ananta Toer, Blora, Jawa Tengah, Jumat (1/6/2018). [Suara.com/Somad]

Soesilo melakukan studi di Uni Soviet selama 11 tahun, yakni sejak tahun 1962 sampai 1973. Namun, ketika kembali ke Indonesia, ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru karena dianggap kader Partai Komunis Indonesia.

‎Kekinian, Soesilo terus berkarya menghasilkan banyak karangan, merawat perpustakaan Pramoedya Ananta Toer, sekaligus bekerja sebagai pemulung.

Baca Juga: Italia Tahan Imbang Belanda 1-1

Berikut hasil wawancara Suara.com terhadap Soesilo Toer di rumah kecil bernomor 40 Jalan Pramoedya Ananta Toer, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Jumat (1/5/2018).

Apa yang Anda pelajari dulu di Uni Soviet?

Awalnya, saya bisa belajar ke Moskow, ibu kota Soviet Rusia, karena mendapat beasiswa. Saya ikut tes dan ternyata lulus. Saya berangkat tahun 1962. Sebelumnya, saya mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sewaktu menempuh S2 di Patice Lumumba University, saya lulus cume laude. Sedangkan program doktor didapat dari Plekhanov Russian University of Economics. Selain berkuliah, saya juga banyak menulis artikel.

Apa yang berbeda di kalangan intelektual pada era sebelum dan sesudah tragedi 1965?

Baca Juga: Negara Ini Sulap Air Limbah Daur Ulang Jadi Bir, Minat?

Susah menjelaskannya. Ringkasnya, menurut saya, terdapat perbedaan di tataran penguasa. Pada era Bung Karno, rezim mendukung setiap kemajuan intelektual dan kebudayaan. Pendidikan ditujukan untuk memajukan bangsa. Karenanya, kaum intelektual bebas berpolemik, mengkritik, selama bertujuan untuk memajukan bangsa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI