Pascarentetan kerusuhan Mako Brimob, bom Surabaya, sampai di Riau, pemerintah akhirnya merevisi UU Terorisme yang di dalamnya melibatkan TNI dalam pemberantasan teroris. Apakah menurut pandangan Anda, Densus 88 sudah tidak mampu?
Begini, aparat itu kan (memang tugasnya) menjaga keamanan negara, baik itu polisi maupun tentara. Ya, kedua-duanya itu dibutuhkan. Makanya diperlukan payung hukum dalam menangani terorisme. Kedua aparat ini (polisi-TNI), bagaimana caranya, porsinya untuk terlibat. Maka tak ada salahnya tentara terlibat. Hanya porsinya di mana, batasnya di mana, masing-masing ada porsinya, masing-masing ada batasnya. Keduanya harus bersinergi. Untuk bersinergi ini harus ada payung hukumnya.
Prediksi Anda, seperti apa lagi jenis-jenis aksi teror yang bisa jadi masih akan dilakukan teroris?
Mereka memang orang-orang yang kreatif dalam membaca situasi. Mereka belajar terus mencari pola yang baru, yang tidak disangka-sangka. Karena salah satu dari (elemen) hal yang berhasil itu namanya surprise. Surprise itu ada 3 hal, kalau saya tidak keliru. Satu, surprise dari segi waktu. Di kala orang tidak menyadari waktu, maka mereka menggunakan waktu itu. Kedua, cuaca, di kala orang mengira cuaca hujan, cuaca buruk, tetapi bagi mereka cuaca yang baik. Ketiga adalah senjata baru, modus baru, cara baru. Jikalau orang tidak pernah berpikir, anak kecil umur 9 tahun, cewek lagi, dijadikan untuk bom bunuh diri, itulah yang mereka capai sebuah kemenangan menurut mereka.
Jadi kita harus lebih pintar mengenai kemungkinan-kemungkinan. Makanya UU Terorisme itu perlu direvisi. Karena UU Terorisme yang dibuat dulu tahun 2002-2003 kan. Itu juga kelompok yang melakukan kelompok Jamaah Islamiyah, belum ada proses perekrutan via media sosial. Sekarang sudah berkembang, ada yang belajar lewat medsos dan lain-lain. Nah, sekarang makin berkembang. Oleh karena itu, kita berharap dengan UU yang baru ini bisa dapat lebih efektif dalam pencegahan.
Ada juga kabarnya, napiter (napi kasus terorisme) di Lapas Nusakambangan dan beberapa rutan lain, itu bahkan tidak mau kasih senyum ke petugas, ya? Itu bagaimana Anda melihatnya?
Itu yang pro ISIS, tapi yang anti ISIS tidak, seperti biasa. Jadi dalam penjara itu ada kubu pro ISIS dan kubu anti ISIS. Yang anti ISIS seperti biasa dengan lain. Tetapi yang pro ISIS, mereka kan sangat tertutup, sangat selektif. Salat pun tidak mau berjamaah di masjid.
Yang pro ISIS ini mereka salat sendiri-sendiri, tidak mau (ikut) program deradikalisasi. Mereka tidak ikut kegiatan apa-apa. Makanya kita (perlu) buat UU ini, supaya mereka ikut (aturan di rutan/lapas).
Kemudian mereka bilang tidak boleh berbuat baik kepada orang kafir. Petugas sipir itu dianggap kafir. Senyum pun tidak boleh. Senyum kan sedekah. Artinya (jika senyum), bersedekah pada orang kafir. Jadi mereka nggak boleh berbuat baik pada orang kafir.
Sekarang komposisinya mana yang lebih banyak, napiter pro ISIS atau anti ISIS di rutan?
Lebih banyak yang anti ISIS. Karena pelan-pelan yang tadinya pro ISIS kembali menjadi anti ISIS. Lama-lama bergeser.
Artinya yang anti ISIS juga berusaha menyelamatkan anti ISIS. Jadi mereka saling mempengaruhi di dalam penjara itu.
Tapi meski tidak terlalu banyak, yang pro ISIS tetap berbahaya kan. Mereka bisa merekrut napi umum. Saya pernah temukan napi umum kasus pembunuhan, bukan kasus teror, tapi begitu ditemui radikalnya lebih dari napi umum. Sampai dia bilang 'Kalau saya keluar, saya siap membunuh lagi kalau mereka mengganggu Islam.' Mereka pokoknya (visinya) negara Islam.
Jadi, para napiter itu berbeda penanganannya di dalam penjara. Selain pembinaan para napiter itu, yang tak kalah penting adalah petugas, sipir-sipir penjara. Mereka perlu diberi training, karena mereka setiap hari bertemu sama mereka (napiter). Jadi merekalah yang mampu melunakkan. Sebab setiap hari, merekalah yang mentransfer paham, meluruskan, memberi pencerahan kepada mereka (para napiter).
Para sipir itulah yang kita andalkan, karena mereka setiap hari di situ, setiap hari berinteraksi dengan napiter.
Ada spekulasi, mencurigai Anda intelijen dari Polri yang sengaja disusupkan ke kelompok teroris, JI dulu. Bagaimana tanggapan Anda?
Hahaha... bahkan ada (sebaliknya) yang bilang saya intel JI yang dimasukkan ke polisi. Bahkan ada juga yang bilang saya double agent.
Apakah Anda tidak khawatir terancam?
Persoalan ancam-mengancam itu saya sudah biasa. Begini. Rasulullah mengatakan, 'Qulil haqqo walaw kaana murron.' Katakanlah yang benar meski itu pahit. Saya tahu saya berisiko. Kalau saya ingin selamat, lebih baik saya balik ke Malaysia. Lebih aman, betul kan? Saya nggak merasa pusing.
Tapi saya merasa saya punya beban. Beban bahwa masih banyak orang-orang yang tidak paham apa arti jihad, sehingga mereka melakukan aksi itu yang merugikan diri sendiri. Itu harus saya cegah. Mereka itu ada di sini (Indonesia). Jadi, ada beban moral yang mendorong saya.
Saya tahu yang saya lakukan ini berisiko. Saya bisa dicurigai siapa saja. Jangankan kelompok-kelompok teror itu, polisi juga. Memangnya polisi sepenuhnya percaya sama saya? Mereka kan kerjaannya curiga. Ya, bisa saja mewaspadai.
Saya tidak minta orang harus percaya sama saya. Saya juga tidak marah jika ada orang yang mencurigai saya. Mau polisi curiga sama saya, mau kelompok teror curiga sama saya, mau orang awam curiga sama saya, silakan. Semua berhak untuk curiga. Karena apa? Saya berbuat ini bukan karena manusia. Saya berbuat ini karena Allah.
Allah mengatakan "beramal-lah". Rasulullah mengatakan "beramal-lah". Nanti Allah, Rasul, dan orang beriman yang akan melihat. Jadi kita tidak akan pernah dapat memuaskan hati manusia. Saya percaya apa yang saya lakukan ini adalah suatu kebaikan, (bahwa) apa yang saya lakukan ini amal. Biarlah Allah yang menilai.
.....
Sempat diposisikan sebagai salah seorang pentolan jihadis Pakistan paling dicari di Asia Tenggara, Nasir Abbas dulunya tergabung di Jamaah Islamiyah yang merupakan afiliasi dari Al Qaeda. Dia sempat menduduki beberapa jabatan penting di lingkup organisasi radikal tersebut.
Lantas terhitung sejak 2003, Abbas diketahui mulai meninggalkan jalur radikalis. Dia bahkan kemudian terlibat aktif dalam program deradikalisasi khususnya di Indonesia --termasuk bekerjasama intens dengan pihak kepolisian.
Saat ini, aktivitas Nasir Abbas tercatat antara lain sebagai konsultan senior di DASPR (Division for Applied Social Psychology Research), sebuah lembaga di bawah naungan Daya Makara Universitas Indonesia (UI).