Suara.com - Kembali maraknya sejumlah aksi terorisme di Indonesia, memunculkan berbagai reaksi, baik melalui komentar dan pandangan tokoh-tokoh tertentu, maupun dari pemerintah melalui berbagai lembaga dan langkah kebijakannya. Salah satu perkembangan terbaru adalah disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme --atau yang banyak dikenal sebagai UU Antiterorisme atau UU Terorisme.
Namun sementara itu, masih ada banyak pertanyaan yang mengapung terhadap progres pemberantasan terorisme sekaligus pengikisan radikalisme di Indonesia. Bahkan perkembangan baru terkait UU Terorisme itu sendiri pun termasuk yang banyak dipertanyakan.
Mencoba menelaah dan mendapatkan perspektif lain dari perkembangan ini, Suara.com berkesempatan mewawancarai Nasir Abbas, mantan pentolan Jamaah Islamiyah yang kemudian lebih dikenal sebagai salah satu tokoh pendukung deradikalisasi di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Aksi teror bom di Surabaya beberapa pekan lalu dinilai sebagai aksi yang berbeda, karena melibatkan perempuan dan anak-anak. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Baik. Saya perlu sedikit luruskan, bahwa aksi bom bunuh diri di Surabaya itu bukan perempuan dan anak, tetapi istri dan anak. Jadi dia (pelaku) membawa istrinya, bukan sembarangan perempuan, tapi dia bawa istrinya dan juga anaknya. Ya, ini suatu fenomena baru di dunia, belum pernah terjadi di belahan dunia mana pun.
Jadi ini akibat keyakinan mereka yang diyakini jika melakukan aksi bom dengan niat jihad, maka nanti mereka mati syahid. Jika seseorang mati syahid, maka diyakini masuk surga, dengan contoh praktik yang terjadi di Suriah ada wanita yang meledakkan dirinya. Kemudian contoh juga, ada anak lelaki yang masih muda yang masih seumuran sekolah, SD atau SMP, itu sudah melakukan aksi penyerangan; juga aksi pembunuhan di Suriah.
Jadi itu semua memberi semacam semangat dan memotivasi mereka (ekstremis di tanah air), bahwa bukan hanya lelaki saja yang bisa melakukan, tetapi wanita juga bisa melakukan. Sehingga di saat sebuah video dipaparkan, mereka melihat dan membuat si istri bangkit semangatnya. Si anak pun merasa bangkit semangatnya dia.
Saya percaya anak lelaki yang berumur 18 dan 19 tahun itu pasti merasa semangat ketika melihat ada anak-anak lelaki di Suriah berseragam, memakai senjata, (betapa) gagahnya mereka. Tetapi saya tidak percaya yang anak umur 9 tahun menginginkan (aksi bom bunuh diri). Kalau anak perempuan yang umur 9 tahun itu, saya cuma melihat dia percaya saja kepada orangtuanya. Apa kata orangtuanya, dia ikut; bukan atas dasar keyakinannya. Karena keyakinan anak kecil itu, bagi mereka keyakinan sesuai keyakinan dari kedua orangtuanya.
Apa yang orang yakini, ya, dia yakin. Apalagi bujukan dari kedua orangtuanya. Ibu bujuk, 'Ayo nak kita pergi ke surga bersama.' Pastilah anak itu mau. Siapa sih yang mau ditinggal sama ibunya? Apalagi dibilang kalau ibunya mati, kamu bagaimana? Emang mau ditinggal? Tidak mau; pasti dia mau ikut bersama. Jadi secara psikologi anak, pasti begitu.
Nah, jadi yang jahat di sini menurut saya adalah orang yang memotivasi, orang yang dituakan, yaitu mentornya, ideolognya. Itu jahat. Di mana mentor atau ideolognya (itu) mengatakan boleh kok (melakukan aksi bom bunuh diri membawa anak). Karena saya yakin Dita tidak membuat keputusan sendiri. Ada mentornya. Kan polisi kemudian mengetahui, bahwa (ketika) mereka 3 keluarga itu kumpul di rumah Dita, ada seorang yang bernama Khalid Abu Bakar yang selalu memberikan motivasi. Apalagi si Khalid Abu Bakar ini pernah di Suriah. Dia menceritakan perang di Suriah dan lain-lain, itu memberi semangat. Bukan bermaksud menuduh, barangkali mentor ini yang memberi semangat.
Anak-anak yang ikut dalam aksi bom bunuh diri itu (dapat) mempengaruhi dan memotivasi anak-anak dari kelompok ekstremis lain tidak, untuk melakukan aksi yang sama?
Itu yang kita khawatirkan. Beberapa anak yang berangkat ke Suriah, seperti anaknya Imam Samudera, anaknya Brekele, lalu kemudian satu keluarga membawa anaknya pergi ke Suriah, lalu kemudian anak-anak itu di Suriah direkam lengkap bersenjata, berseragam. Itu saja sudah membangkitkan anak-anak untuk berangkat ke Suriah dan bergabung di sana. Sekarang, jika mereka itu dialihkan, bahwa tidak hanya di Suriah, di Indonesia juga bisa, contohnya ini, daripada si Dita membawa keluarganya bersama, juga ada faktor lain untuk memberi motivasi kepada teman yang lain. Bahwa anaknya saja berani, siap untuk melakukan, mengapa yang lain tidak. Itulah yang kita khawatirkan.
ISIS masih menjadi yang dituduh di belakang aksi teror saat ini. Selain itu, juga masih disebut sejumlah kelompok semisal JAD, JAT dan NII. Bagaimana peta terorisme di Indonesia saat ini menurut Anda?
Ya, sudah jelas itu adalah kelompoknya JAD di bawah pimpinannya Aman Abdurrahman. Dan sudah jelas juga diketahui bahwa Dita itu Ketua JAD. Dan sudah jelas bahwa JAD berafiliasi dengan ISIS, sudah jelas itulah jaringan mereka. Dan kalaupun ada kelompok lain yang bukan JAD, seperti yang menyerang di Mapolda Riau, itu bukan JAD, tetapi dia adalah satu kelompok yang berafiliasi dengan ISIS. Bukan JAT juga.
Maka di Indonesia ini, orang-orang kelompok kecil yang berafiliasi dengan ISIS itu banyak. Ada yang punya nama, ada yang tidak. Ada yang tidak punya nama, tapi mereka merasa terpanggil, mereka merasa sepaham.
Di Riau, polisi menyebut jika pelaku teror di Mapolda itu adalah hasil "perkawinan ideologi" NII dan ISIS. Bagaimana sebenarnya teknis "perkawinan ideologi" ini dalam tubuh teroris?
Begini, bukan NII-nya, tetapi personelnya. Ya, saya melihat masih ada juga NII yang tidak setuju dengan ISIS, ada juga JI (Jamaah Islamiyah) yang tidak setuju ISIS. Tetapi ada juga orang JI yang ikut ISIS, ada juga orang NII ikut ISIS. Jadi bukan kelompoknya yang mau bergabung, tetapi individunya.
Lantas, apakah (artinya) ada kelompok-kelompok kecil teroris yang bersatu dan menciptakan sebuah ideologi baru?
Tidak, mereka mengikuti ISIS yang sudah ada.
Aman Abdurrahman dan (Abu Bakar) Ba'asyir masih disebut sebagai dua tokoh sentral. Tapi, Anda pernah menyebut justru mereka ini saling mengkafirkan. Terutama Aman yang menyebut Ba'asyir mengikuti pemerintahan thogut karena mengajukan PK. Bisa Anda jelaskan?
Biarpun Abu Bakar Ba'asyir setuju dengan ISIS, Aman Abdurrahman bergabung dengan ISIS, tetapi Aman Abdurrahman tidak segan-segan mengkafirkan pengikut, anggota ISIS yang dianggap menjalankan perbuatan kafir. Mereka di dalam itu (penjara) saling kafir-mengkafirkan. Sesama teman mereka pun saling kafir-mengkafirkan. Jadi misalnya, kalau ada di antara mereka ya, yang senyum saja sama sipir, itu sudah dianggap kafir. Kenapa? Karena sudah berbuat baik. Berbuat baik, bersikap baik kepada yang mereka anggap kafir itu, ya, kafir. Sipir itu kan petugas pemerintah, dianggap mereka kafir.
Jadi memberi senyum berarti walak, berarti memberi walak kepada orang kafir, ya dianggap kafir. Bahkan sesama teman-teman mereka, mereka kafirkan. Jadi (makanya) tidak segan mereka mengkafirkan ustadz Abu Bakar Ba'asyir juga ketika dia mengajukan PK (peninjauan kembali).
Sekarang begini. Mengajukan PK bagian dari sistem persidangan, bagian sistem peradilan. Mengajukan PB (pembebasan bersyarat) bagian dari sistem hukum juga. (Tapi) Membaca pledoi, nota pembelaan, itu kan bagian dari sistem peradilan juga. Nah, si Aman Abdurrahman kemarin membacakan pledoi, berarti dia kafir juga. Ya sudah, dia kafir juga berdasar keyakinannya.
Jadi dia nggak konsisten, plin plan atas apa yang dia pahami. Jadi dia (sebenarnya) menjalankan perbuatan yang dia katakan kafir menurut keyakinannya.
Di laman berikutnya, Nasir bicara soal Densus 88 dan peran TNI, peta terorisme di Indonesia, tentang napi teroris, juga potensi aksi lainnya...