Ita F Nadia: Pemerkosaan Massal Mei 1998 Bukan Omong Kosong

Senin, 21 Mei 2018 | 23:39 WIB
Ita F Nadia: Pemerkosaan Massal Mei 1998 Bukan Omong Kosong
Ita F Nadia. [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peristiwa Mei 1998 masih menyisakan sejumlah persoalan yang belum usai. Tragedi berdarah itu selain memakan korban mahasiswa, juga melibatkan tindak pembakaran, penjarahan, sampai pemerkosaan.

Ita F Nadia yang pernah menjabat sebagai Direktur Kalyanamitra, sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam kerja-kerja gerakan perempuan untuk menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan, mengisahkan pengalamannya melakukan investigasi dalam menguak sekelumit kisah pemerkosaan massal pada Mei 1998.

Ia mengkoordinir Tim Relawan untuk Kemanusiaan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP). Salah satu misinya adalah untuk melakukan investigasi dalam melihat pembakaran mal di Jakarta. Tak hanya itu, Ita dan timnya di TRKP juga mencari dan mendokumentasikan kejadian pemerkosaan yang banyak dilakukan terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998.

Dari data yang ia peroleh, ada sekitar 150 korban pemerkosaan. Namun menurut verifikasi Tim Gabungan Pencari Fakta, korbannya ada sekitar 60 orang di seluruh Indonesia, khususnya di Jakarta dan Surabaya.

Saat menyampaikan adanya tindak pemerkosaan kepada Presiden Habibie di bulan Juni, laporan Ita sempat ditolak oleh para perwira militer yang saat itu bersama Habibie. Justru ia ditantang untuk membuktikan tragedi itu. Akan tetapi, ia kaget ketika Habibie justru membenarkan adanya tindak pemerkosaan.

Dari pertemuan itu, Ita dan Prof. Saparinah Sadli mengajukan untuk membentuk sebuah komisi untuk menelusuri pembenaran adanya pemerkosaan tersebut, sekaligus menjadi lembaga perlindungan bagi perempuan dari tindak kekerasan. Maka dibentuklah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.

Ditemui di Yogyakarta beberapa hari lalu, berikut petikan wawancara Suara.com dengan Ita F Nadia:

Bagaimana Anda melihat gerakan perempuan di Indonesia?

Gerakan perempuan Indonesia mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebelum reformasi, organisasi perempuan sudah tumbuh dan sudah menjadi bagian dari demokrasi. Gerakan perempuan dihilangkan ketika Kekerasan 1965, G30S. Kita jangan menyebutnya pemberontakan PKI, karena yang terjadi adalah kudeta militer yang dipimpin Soeharto. Sejak itu, gerakan perempuan yang berpolitik dilarang karena diasosiasikan dengan Gerwani. Tidak hanya menghilangkan peran organisasi perempuan yang berpolitik, Soeharto juga menerapkan Panca Dharma Wanita.

Tahun 1986 berdiri Yayasan Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Yasanti; semuanya organisasi perempuan yang independen, mandiri dan berpolitik untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Kalyanamitra menyuarakan (soal) kekerasan terhadap perempuan dan buruh perempuan, Solidaritas Perempuan menyuarakan ribuan buruh migran perempuan yang bekerja di luar negeri tanpa perlindungan, sedangkan Yasanti menyuarakan pemenuhan hak-hak perempuan di pabrik-pabrik.

Kemudian Ibu Nursyahbani mendirikan LBH Apik yang fokus pada perjuangan di bidang hukum.

Apa maknanya? Perempuan sudah menjadi bagian perjalanan perjuangan untuk melawan ketidakadilan. Artinya, gerakan perempuan memperjuangkan akar persoalan untuk merebut demokrasi. Pada zaman Soeharto, kita dibungkam semua. Kita tidak boleh muncul untuk memperjuangkan demokrasi itu. Padahal, pasca 1965, perempuan sudah masuk dalam proses demokrasi, yakni tahun 80-an.

Bagaimana pandangan Anda tentang Reformasi 1998?

Reformasi tidak serta-merta jatuh dari langit tahun 1998. Proses menuju reformasi lama diperjuangkan bangsa Indonesia yang ada di bawah kediktatoran Soeharto. Perjalanan menumbangkan pemerintahan Soeharto sudah dimulai sejak 90-an. Setiap kota mempunyai bentuk perlawanannya sendiri. Maka muncul pelanggaran-pelanggaran besar di Indonesia yang tidak diselesaikan, atau justru tidak menjadi wawasan masyarakat.

Gerakan perempuan Indonesia tidak pernah diam. Contohnya di Aceh. Dalam operasi militer di Dompi, Aceh, kekerasan terhadap perempuan seperti pemerkosaan dan penganiayaan banyak berlangsung. Contoh lain Timor Leste, kemudian Papua. Ketiganya adalah wilayah konflik akibat invasi militer, khususnya pada masa Orde Baru. Pada ketiganya, perempuan selalu menjadi korban kekerasan yang masif.

Bagaimana perempuan menjadi korban dalam konflik-konflik tersebut?

Kejadian yang paling sering ditemukan adalah pemerkosaan istri aktivis. Misalnya di Aceh, ketika para suami bergerilya ke gunung, istrinya diperkosa. Di ketiga wilayah konflik tersebut amat banyak korban akibat pembunuhan dan penghilangan paksa.

Kami perempuan Indonesia, khususnya organisasi perempuan yang menyuarakan pemerkosaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa oleh militer dan Orde Baru, selalu berupaya mencari keadilan jauh sebelum reformasi. Perempuan Indonesia punya sejarah panjang melawan Orde Baru. Selama ini kan, pengetahuan tentang sejarah dan demokrasi selalu menyoroti peran laki-laki.

Selain di wilayah-wilayah konflik tadi, apa lagi kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di masa Orde Baru?

Perlu dipahami bahwa di masa Orde Baru, ditumbuhkan sentimen rasial dari politik adu domba antar-etnis. Kita dibuat hidup dalam ketidakpercayaan (antara) satu sama lain, supaya bisa dikendalikan Orde Baru. Dibuatlah orang "pribumi" yang anti Cina, dan sebaliknya.

Apa saja dimensi perjuangan Anda sebagai perempuan Indonesia di masa Orde Baru?

Saya menjadi Direktur Kalyanamitra, organisasi perempuan yang tertua saat ini, selama 10 tahun. Selain itu, saya juga menjadi pimpinan kolektif KIP untuk membantu Pemilu yang demokratis. Sebagai pimpinan kolektif, saya membawa suara perempuan dalam pemilihan umum sebagai proses demokratisasi politik.

Kita sebagai perempuan juga melakukan perjuangan antirasial, (anti) diskriminasi gender dan adu domba agama. Kita ikut gerakan perdamaian yang anti kekerasan, bahkan jauh sebelum reformasi.

Apakah reformasi 1998 menyisakan banyak persoalan?

Menurut saya, (yang) paling serius dan sangat mungkin terjadi lagi adalah pemerkosaan Mei 1998. Ini bukan omong kosong, meski disangkal oleh negara dan diragukan sebagian masyarakat. Di tengah intoleransi, sentimen rasial dan etnis, fundamentalisme, mudah sekali merebak kebencian terhadap perempuan.

Saya kira reformasi perlu dilihat juga sebagai peristiwa yang tidak hanya penting sebagai momentum menjatuhkan presiden dan sebagai upaya menjauhkan militer terjun dalam pemerintahan.

Reformasi juga menyisakan masalah yang selalu disangkal, yakni pemerkosaan. Reformasi adalah peristiwa penting saat tubuh dan seksualitas perempuan menjadi alat teror untuk membangun ketakutan masyarakat.

Memperkosa perempuan setara dengan memperkosa ibu bangsa. Ketika pemerintah Orde Baru merasa terancam dengan gerakan demokrasi, mereka meneror masyarakat dengan merampas rasa aman melalui kekerasan terhadap perempuan Tionghoa. Ini terjadi selain di Jakarta, juga di Surabaya, Medan, Palembang, dan Solo.

Reformasi 1998 tidak hanya menyisakan soal karena penembakan terhadap mahasiswa. Pemerkosaan perempuan Tionghoa jarang sekali dibicarakan, ditutup-tutupi, seolah-olah hendak cuci tangan jika cara ini digunakan kembali.

Memperkosa untuk menimbulkan teror bukanlah barang baru. Seperti saya sebut tadi, di wilayah-wilayah konflik karena invasi militer Indonesia, pemerkosaan adalah cara melemahkan semangat perlawanan di Aceh, Timor Leste, dan Papua.

Lebih jauh tentang pemerkosaan Mei 1998 di laman berikutnya...

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI