Suara.com - Dalam sepekan terakhir, rentetan peristiwa teror kembali terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Setelah aksi sejumlah narapidana terorisme yang mengacaukan Mako Brimob Kelapa Dua dan mengakibatkan gugurnya beberapa personel polisi, Minggu (13/5/2018) pagi tiba-tiba kembali terjadi teror bom bunuh diri di beberapa tempat di Surabaya.
Rangkaian tindak kejahatan terorisme ini menghebohkan, sekaligus membuat situasi keamanan dan tindak antisipasi aparat kembali dipertanyakan. Lebih dari itu, pertanyaan besar kembali menyeruak, terutama soal apakah sebenarnya Indonesia masih menjadi lahan subur berkembangnya paham-paham radikalisme dan terorisme?
Di tengah rentetan peristiwa itu, Suara.com mewawancarai Alissa Wahid, putri sulung mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di kediamannya di Yogyakarta. Berikut petikan wawancaranya:
Aksi teror berupa peledakan bom di gereja kembali terjadi. Mbak Alissa melihat peristiwa ledakan itu seperti apa?
Ini satu (bagian) dalam titik perjalanan Indonesia, terkait intoleransi dan terorisme di Indonesia, (atau) lebih tepatnya ekstremisme di Indonesia. Jadi begini. Kita sering kali terpaku pada satu kejadian saja. Padahal ada proses yang bergerak. Apa yang terjadi hari ini belum tentu akan selesai, bisa juga (mungkin) akan selesai mengakhiri periode panjang.
Sayangnya, reaksi kita berhenti pada kejadian itu. Misalnya (terkait) perginya orang-orang ke Suriah yang banyak itu, keluarga lagi. Termasuk hari ini yang bertindak, itu tidak bisa dilepaskan dari situasi hari ini. Tapi kan, kita kadang selalu berhenti di Surabaya, atau (pada kejadian) bom Sarinah. Kita nggak menghubungkan keduanya. Padahal itu proses yang panjang yang bertaut, bahkan bertaut juga dengan dakwah-dakwah ofensif, (yang) makin membakar sentimen kebencian. Itu semuanya terhubung.
Contohnya misalnya, bagaimana kita melihat kasus Surabaya ini. Oke, pelakunya meninggal, sebagian besar. (Lalu) Apakah kasusnya selesai? Kan tidak. Ada proses ini. Keluarga mana saja yang terhubung di antara mereka, indoktrinasinya terjadi di mana? Itu (semuanya) harus diperhatikan betul.
Artinya, serangkaian peristiwa ini tidak terlepas dengan aksi teror sebelumnya?
Iya. Kita selama ini tidak berpikir apa yang terjadi di Surabaya ada hubungannya dengan di Jogja (misalnya). Memang orangnya terpisah, tapi trennya (bagaimana)? Selama ini kita melihatnya parsial.
Kalau (aksi teror) di Indonesia, ini sifatnya kelompok atau individu?
Saya melihatnya ada dua gelombang. Gelombang pertama intoleransi yang mengarus utama. Ini banyak sekali riset yang menunjukkan itu, termasuk yang dilakukan oleh INFID di mana GusDurian terlibat, di mana di beberapa kota ada tendensi (bahwa) makin muda makin intoleran. Ini (mereka) mudah sekali dibakar menjadi kebencian.
Penelitian CSIS tahun 2013 lalu di 23 povinsi, ketika ditanya "apakah percaya pada orang berbeda agama", jawabannya 25% menjawab tidak percaya sama sekali, 60% sisanya menjawab "ya harus waspada". Hanya 15% berarti (yang) benar-benar percaya pada orang lain. Jadi menghubungkan kepada agama, yang lainnya yang berbeda agama tidak harus dipercaya. (Ini) Kan tinggi, mas.
Jadi ada intoleransi yang menguat dalam kehidupan sehari-hari. Ukhuwah wathoniyah mulai merenggang. Warga sebangsanya mulai merenggang, hanya mau yang sekelompok saja. Dampaknya saling curiga pada kelompok lain. Kemudian mayoritarianisme, merasa sayalah yang harus di tempat ini. Ini akan meminta kebijakan yang diskriminatif. Mayoritarianisme (itu) dampaknya sikap sentimen negatif pada kelompok lain. Ini yang pertama.
Arus yang kedua, arus terorisme itu sendiri, di mana orang-orang ini meyakini cara mendapatkan kekuasaan adalah dengan mengambil alih kekuasaan itu, atau membuat kerusakan sebesar-besarnya. Jadi bagi mereka, cara melakukan kekerasan itu jadi penting, karena itu caranya merusak. Caranya, satu karena melampiaskan kebencian, mereka (dianggap) kafir harus ini semua. Misalnya di Myanmar kelompok teror agama Budha melakukan pengejaran orang Islam, di India fundamental Hindu melakukan pengejaran ke orang Kristen. Selalu atas nama mayoritas, dan tujuannya membuat orang takut. Kalau dua hal ini ketemu, bisa gawat.
Gawat dalam artian apa?
Merekrut teroris kan nggak gampang, karena harus siap mati, harus siap menjalani jalan berat. Tidak banyak orang yang bisa nyampai ke sana. Tapi kalau lahannya sudah subur akan gampang. Nah, mainstreaming intoleran dalam sehari-hari memberi jalan yang penuh dengan kekerasan. Justru dengan intoleransi semakin mudah merekrut (para pelaku) terorisme.
Dalam peristiwa di Surabaya ini, yang dilibatkan juga perempuan dan anak. Bagaimana Anda melihat itu?
Itu ideologis sekali. Jadi teror, kalau sampai melibatkan anak kecil, itu menurut saya sudah ideologis sekali. Ada satu yang beda. Lain dengan orang pergi berperang, dia siap dan terlatih mental, set-nya pasti beda, dan harus terikat kode etik. Apalagi bawa anak, apalagi satu keluarga. Berarti ada keyakinan dan ada misi yang sangat mulia. Ini ideologis sekali, dan ini indoktrinasinya sudah selesai, bahwa hidup mereka seperti ini.
Pola indoktrinasinya yang bagaimana sih?
Kita sampai saat ini tidak punya data yang konklusif soal siapa sebetulnya yang menjadi teroris. Apakah dia kelompok dari sosial ekonomi paling bawah sehingga bahan bakarnya adalah ketidakadilan ekonomi, misalnya? Itu ada yang mengatakan (seperti itu) asumsinya, tapi tak terbukti juga. Bahkan si pelaku bom ini kan pakai mobil, jadi dia punya mobil untuk melakukan aksi. Dari mana uangnya berasal kalau dia miskin?
Kedua, soal pendidikan. Beberapa tahun lalu kita dengar kabar, kita tahu lulusan S2 dari Kementerian Keuangan (ada yang) pergi ke Suriah. Artinya apa sih? Artinya, posisi pendidik, status pendidikan, ternyata tidak konklusif kalau menunjukkan (mereka dominan) pendidikan rendah. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa pendidikan dan sosial ekonomi dan domisili tidak berpengaruh (terhadap) apakah seseorang akan menjadi teroris atau tidak. Nah, di mana sebenarnya inkubasinya? Karena pasti ada inkubasinya, atau bahasanya di mana proses radikalisasinya dimulai.
Intinya, kelompok ini mengandalkan model perkumpulan. Mereka membuat perkumpulan itu secara fisik, atau (melalui) media dengan menggunakan teknologi informasi. Misalnya penelitian dari IPEC, ada yang menunjukkan bahwa ada grup Telegram yang di dalamnya perempuan yang terhubung dengan kelompok radikal berkumpul, walaupun di grup sendiri pembicaraannya sehari-hari baru sedikit disusupi. Modelnya adalah perkumpulan. Mereka mulai diindoktrinasi, hanya pandangan.
Kalau penelitian GusDurian untuk mapping narasi ekstremisme di Indonesia menemukan dua narasi besar. Pertama ini narasi Nabhani, Islami global. Bahwa dunia ini hanya terbagi dari dua kubu, Islam versus non-Islam. Bahwa non-Islam itu berkonspirasi dengan Islam, (dan) Islam itu tertindas, maka perlu dilakukan perlawanan. Bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dengan ala-ala "jihadis" --mereka sebutnya demikian, sedangkan kita sebutnya teroris. Bisa juga dengan dakwah kultural. Ini terjadi ketika kita melihat misalnya (bahwa ada anggapan) pandangan-pandangan Islam itu ditindas, rezim itu anti Islam dan sebagainya. Ini sebenarnya turunan narasi ini.
Narasi besar kedua itu purifikasi Islam, yang menawarkan gagasan bahwa hanya ada satu Islam, dan Islam itu yang murni. Yang tidak murni berarti Islam liberal, berarti antek Amerika, yang berarti antek Yahudi dan Nasrani yang tidak akan ridho kepada orang Islam sampai Islam itu hancur. Maka yang dipandang mereka (adalah) kelompok yang tidak Islam murni dilabeli Islam liberal. Contohnya Pak Quraish Shihab. Ia sesepuh Muslim dunia yang diinisiasi Al-Azhar. Bisa lho di Indonesia (dia) dipotret oleh kelompok religius eksklusifis itu dipandang liberal. Atau Gus Mus yang dalam hidupnya tidak liberal, tapi dipotret liberal karena beliau menyampaikan bahwa sebagai orang Islam (kita) harus bersikap adil kepada sesama. Bagian dari purifikasi Islam itu adalah politik identitas itu.
Kembali ke aksi teror, "pengantin perempuan" itu marak digunakan sebagai metode terorisme. Bagaimana Anda melihatnya?
Kultur kita masih memperkuat sisi emosi perempuan. Perempuan dianggap emosional, sehingga sisi rasional tidak terlatih. Maka mereka menggunakan emosi. Artinya, segala sesuatu yang ada muatan emosi, perempuan akan punya keterikatan lebih besar. Maka perempuan akan melakukan banyak hal, termasuk aksi terorisme. Sebagian besar perempuan terlatih emosionalnya.
Ketika perempuan ini dikutip emosinya, maka militansi lebih tinggi. Mereka siap menggantikan para lelaki itu yang "membutuhkan" dukungan. Sosok perempuan punya militansi lebih tinggi. Perempuan lebih siap berkorban, untuk keluarganya, untuk anaknya, untuk suaminya. Mereka lebih siap berkorban.
Lantas, ini (yang sekarang) apakah ada pola, ketika melihat dari Jakarta, (terus) ke Surabaya? Ini kebetulan atau terencana?
Ndak ada kalau itu. Malah sebetulnya yang kita khawatirkan di Pontianak. Kita khawatir itu. Kita nggak melihat itu ada gerakan. Saya melihat lebih pada kesempatannya saja. Salah satu poin pernyataan sikap GusDurian adalah (bahwa) pemerintah harus lebih responsif terhadap modus operasi baru. Sekarang kan (modelnya) lone wolf (pelaku aksi teror yang bergerak bebas, terlepas jaringan).
Modusnya sekarang kan lone wolf. Orang ini kan belum tentu. Dia tidak seperti Ali Imron, Amrozi dan kawan-kawan yang menyiapkan aksinya jauh-jauh hari. Itu yang membuat kita harus hati-hati. Kalau saya alarm (waspada), waktu itu di Sulu, Filipina, di Raqa (juga) dikuasai ISIS. Sekarang memang dibebaskan. Tapi mereka bisa menguasai daerah, itu berarti kan sudah ada gerakan ke arah sini (Indonesia) dari ISIS. Dua bulan lalu media propaganda ISIS mulai muncul lagi. Buletin Fatihin. Ini membuat framing, ini indoktrinasi.
Lalu bagaimana Anda melihat Kepolisian dan BIN (dalam hal ini) sampai ada ledakan di Surabaya?
Justru itu karena lone wolf itu susah dideteksi, karena dia nggak masuk jaringan terorisnya sendiri. Apakah dia masuk Jaringan (Jamaah) Islamiah atau masuk ke jaringan sisa-sisa Nurdin M Top, nggak bisa dibaca seperti itu. Mereka ke Suriah datang sendiri, indoktrinasi terjadi lewat media sosial. Dari mana anak-anak belasan tahun pergi ke Suriah? Itu pertanyaan besar (para) orangtua. Ternyata kan dari Facebook, dari internet indoktrinasinya itu. Susahnya lone wolf itu karena mereka tidak tersambung. Makanya program mengikis intoleransi menjadi penting.
Soal kinerja, sampai sebelum kemarin (kita) menganggap Densus itu oke. Bahwa yang terjadi bom skala kecil, itu keberhasilan; bahwa bom yang besar nggak terjadi. Nggak ada serangan teror saat dunia sibuk dengan serangan teror, itu (juga) satu keberhasilan.
(Namun) Membangun kultur masyarakat Muslim yang pendamai, adil, itu penting. Sekarang kan nggak, yang di TV-TV malah dakwahnya konservatif.
Soal peran media (mainstream), media sosial, peran sekolah dan lain-lain, Alissa menjawab di laman berikutnya...
Jadi, media menurut Anda terlibat?
Kritik kita kepada media, (bahwa) media salah satunya ikut menghancurkan. Alasan saya, sampai saat ini media mainstream dan komersil memang tidak punya ideologi terorisme, itu jelas. Tapi ideologinya kapitalistik. Artinya, apa pun bisa dilakukan demi kapital, termasuk mempopulerkan dai-dai yang membakar sentimen. Tidak di TV saja (memang) membakar sentimen, di pengajian-pengajian tertutupnya itu cara offline mereka. Tetapi ketika mereka ditampilkan, (mereka) makin ngetop.
Dari sisi keluarga, bagaimana memberikan arahan kepada keluarga dan anak untuk mencegah teror dan intoleransi?
Pertama, waskat lingkungan, pengawasan melekat lingkungan. Kita perlu tahu siapa saja yang datang di lingkungan kita. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengetahui siapa datang, siapa pergi. Kedua, kalau lingkungan kita guyub dan rukun, yang tidak mempersoalkan lingkungan perlu dirembuk untuk menjadi kesepakatan bersama (soal) apa yang bisa diterima. Para Ketua RW, RT, perlu memperhatikan, supaya peka.
Ketiga, kalau kita sebagai orangtua, kita perlu memahami, anak ini mendapat asupan apa saja otaknya. Dari internet apa saja yang dibaca oleh anak-anak, pemikiran apa saja yang dibaca? (Supaya) Secepatnya untuk merespon. Kalau anak remaja, ini anak remaja sangat rentan dengan ideologi baru, penting untuk kita monitor. Ketika menimbulkan gejala-gejala berbau kebencian, itu keluarga perlu segera bereaksi. Bagaimana reaksinya? Tergantung hubungan orangtua-anak. Kalau baik, bicarakan saja. Kalau tidak, jangan justifikasi anak. Minta (bantuan) keluarga lain, pakdenya, budenya. Karena kalau orangtua akan menghakimi, anak itu akan lari.
Dalam konteks sekolah, bagaimana mendidik anak-anak kita?
Kita lihat, nilai apa yang ditanamkan itu. Sekolah Islam seperti pesantren (itu) santri yang keluar (harusnya) santri kritis, artinya mereka memahami (bahwa) dalam Islam banyak pandangan, sehingga mereka tidak takut akan perbedaan. Tapi (untuk) sekolah agama yang lain, atau sekolah negeri, itu banyak yang melakukan indoktrinasi yang tidak-tidak.
Bagaimana mencegahnya?
Menurut saya, Presiden harus bertindak. Orang-orang yang bekerja dengan beliau harus bertanggung jawab. Bicara radikalisasi, berarti Menteri Dikti dan Mendikbud. Kalau (soal) paham agama, ya, Menteri Agama. Kalau kita bicara rumah ibadah dalam BUMN, berarti Menteri BUMN. Lapisan ini Presiden harus mengejar. Mereka sebagai pemimpin dalam sektor masing-masing harus bertindak.
Kepala sekolah harus akuntabel, dinas pendidikan harus akuntabel kepada kementerian. Nah, yang terjadi sekarang ini, (ada) ego sistem, bukan ekosistem. Densus ya Densus, karena dia yang menindak teroris. (Kita) Nggak paham kalau sekolah juga menyumbang juga (munculnya radikalisme).
Tapi praktik intoleransi di sekolah itu seperti apa sih?
Gejalanya misalnya, di sekolah negeri hanya kaligrafinya yang banyak. (Kalau) Bicara intoleransi kan, sekolah negeri kan nggak boleh menggunakan simbol-simbol yang mendominasi. Kecuali dalam kelas itu ada kaligrafi agama Islam, tapi ada juga ornamen gereja. Itu adil. Kalau ini kan mayoritarianisme. Kalau begini kan diskriminasi. Ini bisa memunculkan sentiman mayoritas-minoritas. Bukan praktiknya saja, tapi nilai yang dihidupkan, nilai dominasi, kompetisi, agresi, ada semua itu.
Sementara, bagi saya, (kita) bisa menggambarkan dengan mudah dengan melihat orang NU dan Muhammadiyah. Mereka kan Wasatiyah, nilainya moderatisme. Mereka kebarat-baratan enggak, mereka hidup di dunia menyesuaikan konteks. Itu nilai Islaminya muncul dalam bentuk nilai, tapi tradisinya menyesuaikan konteks. Beda dengan kelompok eksklusifis, mereka memaksakan nilai mereka, jadinya agresif dan (menonjolkan) mayoritas.
Ada usulan untuk mem-black list tokoh agama ketika mengajarkan ajaran radikal. Pendapat Anda?
Kutipan Gus Dur, "Jangan suka membatasi orang lain, apalagi kalau kita sendiri tidak mau dibatasi." Tugas kita adalah membatasi diri sendiri. Ini membutuhkan kepekaan tinggi. Kalau tidak hati-hati, kita akan memberangus hak berpendapat dan berfikir. Dalam Islam dilindungi hak dasar untuk berfikir. Itu kan dilindungi dalam Islam, (dan) dalam konstitusi kita juga dilindungi.
Saya sangat setuju yang dibatasi itu (adalah yang) mengajak melakukan kekerasan, hasutan kebencian, dan melakukan diskriminasi. Ketika sentimennya adalah sentimen kebencian, itu harus distop. Apalagi hasutan melakukan kekerasan.
Tapi agama (telah) dijadikan landasan untuk melakukan tindakan jihadis dalam wujud teror. Bagaimana menyangkal itu?
Itu menurut saya (soal) lomba tafsir. Yang namanya agama dan ideologi selalu dipakai sebagai justifikasi untuk tindakan teror. Tapi ada juga yang selalu dipakai untuk menanamkan, untuk memperjuangkan kebaikan dan keadilan. Itu pasti. Karena kita harus akui sejarah agama yang tidak lepas dari peradaban. Waktu dulu seperti apa, maka agama dimanisfestasikan.
Terorisme itu sendiri, itu ideologi. Dia bisa dipakai siapa saja. Bagaimana kalau dia dipakai oleh orang beragama? Maka berarti ada kontestasi tafsir beragama. Bagaimana melawan itu? Ya, kita harus kuat juga.
Ada orang-orang yang menempatkan Islam dalam wadah eksklusifis, menyerang orang lain dan lain-lain. Sementara ada (juga) wajah yang berbeda. Ngomong-ngomong, secara global, Indonesia (sebenarnya) dipandang sebagai wajah yang ramah.
Gus Dur di akhir hayatnya meyakini betul, di dunia masa depan, Islam dilihat dari dua pilar. Satu, Islam di Timur Tengah; kedua, Islam di Asia Tenggara. Islam di Asia Tenggara jadi pilar Islam masa depan, di mana Islam yang mucul yang ramah. Islam yang tetap kuat, dengan tradisi yang baik, tapi tidak menolak modernitas yang menawarkan kebaikan. Keseimbangan antara tradisi dan modernitas, keseimbangan nilai lama dengan nilai baru. Kita tidak takut dengan tradisi yang sudah ada, pada saat yang sama, kita tidak ragu membawa nilai yang baru. Dunia Islam berkembang seperti itu.
Artinya, tindakan terorisme ini memecah-belah umat dan keberagaman (di Indonesia)?
Iya. Bukan (hanya) memecah umat beragama, memecah-belah Indonesia. Kalau nggak, mau mencapai apa? Apa yang diharapkan sekeluarga tadi dengan bom? Mereka ingin memporak-porandakan, mereka ingin memecah-belah dengan menanamkan kecurigaan satu sama lain, kebencian satu sama lain.
Gimana rasanya hidup di dalam masyarakat yang penuh ketakutan? Salah satu caranya, dengan memperkuat kerukunan ini, agar bisa mengantisipasi pemecah- belah umat.
Terkait media sosial di Indonesia, sejauh mana Anda melihat pengguna medsos saat ini dalam hal intoleransi dan terorisme?
Yang saya khawatirkan, (ketika) narasi esktrem (bahwa) Islam selalu ditindas, (bahwa) ini rezim anti Islam itu menguat. Sikap intoleran dengan kelompok berbeda juga menguat dibandingkan dengan 5-6 tahun lalu di medsos. Mereka lebih dominan. Sementara saya melihat kelompok silent majority semakin kuat silent-nya. Kalau ada orang yang cukup berani mengutarakan pendapatnya, mereka diserang agar kapok.
Lalu kalau pengguna media sosial menyalahgunakan dengan tindakan radikal, bagaimana tanggapan Anda?
Harus ditindaklanjuti. (Pengelola) Platform di internet, mereka harus bertanggung jawab. Facebook, Twitter, Instagram, tidak bisa bebas nilai. Terhadap hal yang membahayakan nilai hidup orang lain, mereka harus responsif. Mereka (berbasiskan) mesin. Semua kata mereka bisa mereka petakan. Kalau ada akun kebencian, mereka harus mengantisipasi. Nggak bisa mereka sekadar tutup mata.
Apa yang Anda lihat dari Indonesia hari ini dengan maraknya aksi intoleransi dan aksi teror?
Dinamika yang terjadi sampai titik ini, itu puncaknya. Atau lebih tepatnya tahun depan (bisa jadi) puncaknya, Pilpres.
Bahwa mungkin akan muncul (lagi) aksi teror?
Saya meyakini potensi aksi teror bisa terjadi di mana-mana. Di mana? Nah, itu pertanyaannya, seberapa mampu kita mengantisipasinya. Itu persoalannya.
Kita nggak dengar lagi kelompok Majelis Mujahidin, Nurdin M Top and the gank. Pertanyaannya, apakah kelompok ini ada atau tidak? Saya menganggap mereka sudah tidak ada, mereka sudah porak-poranda. Namun selnya masih ada, tapi tidak seperti dulu. Yang perlu diwaspadai adalah setelah gerakan mobilisasi massa 2016-2017, itu membangkitkan energi kebencian. Apakah itu membangkitkan sel teroris itu dan membangkitkan lone wolf, para pengantin bom bunuh diri itu? Itu pertanyaannya.
Lalu, dengan kekalahan ISIS di Suriah dan Irak, apakah (artinya) mereka akan menggeser operasinya ke Asia Tenggara?
Bagi saya itu (juga) pertanyaan penting untuk saat ini. Nah, yang perlu dilakukan pemerintah dan negara adalah memonitor sel ini.
***
Alissa Qotrunnada Munawaroh, atau yang lebih dikenal dengan nama Alissa Wahid, adalah putri pertama dari pasangan almarhum Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah. Sepeninggal sang ayah, Alissa menyibukkan dirinya di bidang sosial dan pendidikan.
Alumnus Jurusan Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut saat ini menjadi Koordinator Jaringan GusDurian, sebutan untuk para murid, pengagum, penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. [Somad]