Alissa Wahid: Intoleransi Harus Dibendung, Itu Bibit Radikalisme

Senin, 14 Mei 2018 | 19:38 WIB
Alissa Wahid: Intoleransi Harus Dibendung, Itu Bibit Radikalisme
Alissa Wahid. [Suara.com/Somad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jadi, media menurut Anda terlibat?

Kritik kita kepada media, (bahwa) media salah satunya ikut menghancurkan. Alasan saya, sampai saat ini media mainstream dan komersil memang tidak punya ideologi terorisme, itu jelas. Tapi ideologinya kapitalistik. Artinya, apa pun bisa dilakukan demi kapital, termasuk mempopulerkan dai-dai yang membakar sentimen. Tidak di TV saja (memang) membakar sentimen, di pengajian-pengajian tertutupnya itu cara offline mereka. Tetapi ketika mereka ditampilkan, (mereka) makin ngetop.

Dari sisi keluarga, bagaimana memberikan arahan kepada keluarga dan anak untuk mencegah teror dan intoleransi?

Pertama, waskat lingkungan, pengawasan melekat lingkungan. Kita perlu tahu siapa saja yang datang di lingkungan kita. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengetahui siapa datang, siapa pergi. Kedua, kalau lingkungan kita guyub dan rukun, yang tidak mempersoalkan lingkungan perlu dirembuk untuk menjadi kesepakatan bersama (soal) apa yang bisa diterima. Para Ketua RW, RT, perlu memperhatikan, supaya peka.

Ketiga, kalau kita sebagai orangtua, kita perlu memahami, anak ini mendapat asupan apa saja otaknya. Dari internet apa saja yang dibaca oleh anak-anak, pemikiran apa saja yang dibaca? (Supaya) Secepatnya untuk merespon. Kalau anak remaja, ini anak remaja sangat rentan dengan ideologi baru, penting untuk kita monitor. Ketika menimbulkan gejala-gejala berbau kebencian, itu keluarga perlu segera bereaksi. Bagaimana reaksinya? Tergantung hubungan orangtua-anak. Kalau baik, bicarakan saja. Kalau tidak, jangan justifikasi anak. Minta (bantuan) keluarga lain, pakdenya, budenya. Karena kalau orangtua akan menghakimi, anak itu akan lari.

Dalam konteks sekolah, bagaimana mendidik anak-anak kita?

Kita lihat, nilai apa yang ditanamkan itu. Sekolah Islam seperti pesantren (itu) santri yang keluar (harusnya) santri kritis, artinya mereka memahami (bahwa) dalam Islam banyak pandangan, sehingga mereka tidak takut akan perbedaan. Tapi (untuk) sekolah agama yang lain, atau sekolah negeri, itu banyak yang melakukan indoktrinasi yang tidak-tidak.

Bagaimana mencegahnya?

Menurut saya, Presiden harus bertindak. Orang-orang yang bekerja dengan beliau harus bertanggung jawab. Bicara radikalisasi, berarti Menteri Dikti dan Mendikbud. Kalau (soal) paham agama, ya, Menteri Agama. Kalau kita bicara rumah ibadah dalam BUMN, berarti Menteri BUMN. Lapisan ini Presiden harus mengejar. Mereka sebagai pemimpin dalam sektor masing-masing harus bertindak.

Kepala sekolah harus akuntabel, dinas pendidikan harus akuntabel kepada kementerian. Nah, yang terjadi sekarang ini, (ada) ego sistem, bukan ekosistem. Densus ya Densus, karena dia yang menindak teroris. (Kita) Nggak paham kalau sekolah juga menyumbang juga (munculnya radikalisme).

Tapi praktik intoleransi di sekolah itu seperti apa sih?

Gejalanya misalnya, di sekolah negeri hanya kaligrafinya yang banyak. (Kalau) Bicara intoleransi kan, sekolah negeri kan nggak boleh menggunakan simbol-simbol yang mendominasi. Kecuali dalam kelas itu ada kaligrafi agama Islam, tapi ada juga ornamen gereja. Itu adil. Kalau ini kan mayoritarianisme. Kalau begini kan diskriminasi. Ini bisa memunculkan sentiman mayoritas-minoritas. Bukan praktiknya saja, tapi nilai yang dihidupkan, nilai dominasi, kompetisi, agresi, ada semua itu.

Sementara, bagi saya, (kita) bisa menggambarkan dengan mudah dengan melihat orang NU dan Muhammadiyah. Mereka kan Wasatiyah, nilainya moderatisme. Mereka kebarat-baratan enggak, mereka hidup di dunia menyesuaikan konteks. Itu nilai Islaminya muncul dalam bentuk nilai, tapi tradisinya menyesuaikan konteks. Beda dengan kelompok eksklusifis, mereka memaksakan nilai mereka, jadinya agresif dan (menonjolkan) mayoritas.

Ada usulan untuk mem-black list tokoh agama ketika mengajarkan ajaran radikal. Pendapat Anda?

Kutipan Gus Dur, "Jangan suka membatasi orang lain, apalagi kalau kita sendiri tidak mau dibatasi." Tugas kita adalah membatasi diri sendiri. Ini membutuhkan kepekaan tinggi. Kalau tidak hati-hati, kita akan memberangus hak berpendapat dan berfikir. Dalam Islam dilindungi hak dasar untuk berfikir. Itu kan dilindungi dalam Islam, (dan) dalam konstitusi kita juga dilindungi.

Saya sangat setuju yang dibatasi itu (adalah yang) mengajak melakukan kekerasan, hasutan kebencian, dan melakukan diskriminasi. Ketika sentimennya adalah sentimen kebencian, itu harus distop. Apalagi hasutan melakukan kekerasan.

Tapi agama (telah) dijadikan landasan untuk melakukan tindakan jihadis dalam wujud teror. Bagaimana menyangkal itu?

Itu menurut saya (soal) lomba tafsir. Yang namanya agama dan ideologi selalu dipakai sebagai justifikasi untuk tindakan teror. Tapi ada juga yang selalu dipakai untuk menanamkan, untuk memperjuangkan kebaikan dan keadilan. Itu pasti. Karena kita harus akui sejarah agama yang tidak lepas dari peradaban. Waktu dulu seperti apa, maka agama dimanisfestasikan.

Terorisme itu sendiri, itu ideologi. Dia bisa dipakai siapa saja. Bagaimana kalau dia dipakai oleh orang beragama? Maka berarti ada kontestasi tafsir beragama. Bagaimana melawan itu? Ya, kita harus kuat juga.

Ada orang-orang yang menempatkan Islam dalam wadah eksklusifis, menyerang orang lain dan lain-lain. Sementara ada (juga) wajah yang berbeda. Ngomong-ngomong, secara global, Indonesia (sebenarnya) dipandang sebagai wajah yang ramah.

Gus Dur di akhir hayatnya meyakini betul, di dunia masa depan, Islam dilihat dari dua pilar. Satu, Islam di Timur Tengah; kedua, Islam di Asia Tenggara. Islam di Asia Tenggara jadi pilar Islam masa depan, di mana Islam yang mucul yang ramah. Islam yang tetap kuat, dengan tradisi yang baik, tapi tidak menolak modernitas yang menawarkan kebaikan. Keseimbangan antara tradisi dan modernitas, keseimbangan nilai lama dengan nilai baru. Kita tidak takut dengan tradisi yang sudah ada, pada saat yang sama, kita tidak ragu membawa nilai yang baru. Dunia Islam berkembang seperti itu.

Aksi simpati bom Surabaya.

Artinya, tindakan terorisme ini memecah-belah umat dan keberagaman (di Indonesia)?

Iya. Bukan (hanya) memecah umat beragama, memecah-belah Indonesia. Kalau nggak, mau mencapai apa? Apa yang diharapkan sekeluarga tadi dengan bom? Mereka ingin memporak-porandakan, mereka ingin memecah-belah dengan menanamkan kecurigaan satu sama lain, kebencian satu sama lain.

Gimana rasanya hidup di dalam masyarakat yang penuh ketakutan? Salah satu caranya, dengan memperkuat kerukunan ini, agar bisa mengantisipasi pemecah- belah umat.

Terkait media sosial di Indonesia, sejauh mana Anda melihat pengguna medsos saat ini dalam hal intoleransi dan terorisme?

Yang saya khawatirkan, (ketika) narasi esktrem (bahwa) Islam selalu ditindas, (bahwa) ini rezim anti Islam itu menguat. Sikap intoleran dengan kelompok berbeda juga menguat dibandingkan dengan 5-6 tahun lalu di medsos. Mereka lebih dominan. Sementara saya melihat kelompok silent majority semakin kuat silent-nya. Kalau ada orang yang cukup berani mengutarakan pendapatnya, mereka diserang agar kapok.

Lalu kalau pengguna media sosial menyalahgunakan dengan tindakan radikal, bagaimana tanggapan Anda?

Harus ditindaklanjuti. (Pengelola) Platform di internet, mereka harus bertanggung jawab. Facebook, Twitter, Instagram, tidak bisa bebas nilai. Terhadap hal yang membahayakan nilai hidup orang lain, mereka harus responsif. Mereka (berbasiskan) mesin. Semua kata mereka bisa mereka petakan. Kalau ada akun kebencian, mereka harus mengantisipasi. Nggak bisa mereka sekadar tutup mata.

Apa yang Anda lihat dari Indonesia hari ini dengan maraknya aksi intoleransi dan aksi teror?

Dinamika yang terjadi sampai titik ini, itu puncaknya. Atau lebih tepatnya tahun depan (bisa jadi) puncaknya, Pilpres.

Bahwa mungkin akan muncul (lagi) aksi teror?

Saya meyakini potensi aksi teror bisa terjadi di mana-mana. Di mana? Nah, itu pertanyaannya, seberapa mampu kita mengantisipasinya. Itu persoalannya.

Kita nggak dengar lagi kelompok Majelis Mujahidin, Nurdin M Top and the gank. Pertanyaannya, apakah kelompok ini ada atau tidak? Saya menganggap mereka sudah tidak ada, mereka sudah porak-poranda. Namun selnya masih ada, tapi tidak seperti dulu. Yang perlu diwaspadai adalah setelah gerakan mobilisasi massa 2016-2017, itu membangkitkan energi kebencian. Apakah itu membangkitkan sel teroris itu dan membangkitkan lone wolf, para pengantin bom bunuh diri itu? Itu pertanyaannya.

Lalu, dengan kekalahan ISIS di Suriah dan Irak, apakah (artinya) mereka akan menggeser operasinya ke Asia Tenggara?

Bagi saya itu (juga) pertanyaan penting untuk saat ini. Nah, yang perlu dilakukan pemerintah dan negara adalah memonitor sel ini.

***

Alissa Qotrunnada Munawaroh, atau yang lebih dikenal dengan nama Alissa Wahid, adalah putri pertama dari pasangan almarhum Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah. Sepeninggal sang ayah, Alissa menyibukkan dirinya di bidang sosial dan pendidikan.

Alumnus Jurusan Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut saat ini menjadi Koordinator Jaringan GusDurian, sebutan untuk para murid, pengagum, penerus pemikiran dan perjuangan Gus Dur. [Somad]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI