Mulyoto Pangestu: Penemu Teknologi Pembekuan Sperma Termurah

Kamis, 10 Mei 2018 | 00:25 WIB
Mulyoto Pangestu: Penemu Teknologi Pembekuan Sperma Termurah
Mulyoto Pangestu. (Suara.com/Somad)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mulyoto Pangestu menemukan sebuah teknologi proses penyimanan sperma dengan biaya yang murah. Atas temuannya itu, lelaki asal Pekalongan ini membuat dunia kaget.

Temuannya, teknik penyimpanan sperma dalam tabung dengan berbiaya sangat murah. Yah, kata kuncinya soal murah.

Ke depan penemuannya ini sangat mungkin bermanfaat untuk keluarga yang sulit mempunyai keturunan lewat bayi tabung. Tapi, Mulyoto sendiri sama sekali tidak mencobakan metodenya untuk sperma manusia karena ethics permit yang dimilikinya hanyalah untuk hewan.

Singkat cerita, doktor jebolan Monash University, Australia ini menemukan teknik penyimpanan sperma untuk bayi tabung dengan biaya proses pembekuan sperma jauh lebih murah. Biasanya proses penyimpanan sperma pertahun mencapat 10.000 dolar AS. Sementara dengan penemuannya bisa ditekan sampai 5.000 dolar AS.

Atas temuannya itu, dia meraih penghargaan tertinggi Gold Award dalam kompetisi Young Inventors Awards yang diadakan majalah The Far Eastern Economic Review (FEER) dan Hewlett Packard Asia Pasifik pada 13 Desember 2001. Ia menyisihkan 298 kandidat dari 14 negara di Asia. Kala itu, ia masih mahasiswa program doktoral di Monash Institute of Reproduction and Development, Monash University, Australia.

Bagaimana temuannya itu bekerja? Suara.com menemuinya di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto pekan lalu. Dia banyak cerita soal penemuannya.

Mulyoto Pangestu. (Suara.com/Somad)

Anda ilmuwan Indonesia penemu alat pembekuan sperma dengan biaya lebih murah, bisa Anda cerita tentang itu?

Saya alumnus Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, kemudian diangkat jadi dosen di fakultas yang sama, sampai ketika mengambil program S3 di Monash University, Australia. Setelah selesai menempuh studi, saya mendapat pekerjaan di Australia.

Meski demikian, saya masih ke Indonesia, karena saya mengajar di Fakultas Kedokteran UGM di bagian kebidanan kandungan, khususnya di sub spesialis embriologia.

Saya membantu pendirian klinik bayi tabung di Indonesia sejak 2005. Di Monash saya bekerja di Fakultas Kedokteran Kebidanan dan masih melakukan penelitian di bidang peternakan. Khususnya meneliti embriologi kambing dan sapi.

Jadi penemuan itu dilakukan di Australia?

Sebetulnya saya menemukan cara menyimpan sperma secara tidak sengaja. Waktu itu ada masalah penyimpanan, saat itu yang dipakai teknologi cair, namun suhunya rendah.

Kalau tangkinya bocor atau nitrogennya terlambat datang, bagaimana? Kemudian saya dan pembimbing memodifikasi teknik penyimpanan tersebut, sampai bisa membuat penyimpanan yang kering.

Teknologi penyimpanan kering ini belum dikomersialisasikan, tapi beberapa riset sudah memanfaatkannya.

Teknik penyimpanan kering sudah dikembangkan di beberapa lab di Amerika, untuk tikus (mencit) sudah banyak hasilnya. Namun saat ini saya belum bisa mengembangkan lagi karena sedang ada kegiatan lain.

Bahan yang saya pakai dalam penemuan ini adalah dua lapis tabung plastik mini yang berukuran ukuran 0,250 mili liter dan 0,500 mili liter. Kemudian disegel dengan panas (heat-sealed), setelah itu dibungkus lagi dengan aluminium foil.

Mulyoto Pangestu. (Suara.com/Somad)

Anda menyebut teknik bayi tabung ini relatif murah, bisa Anda jelaskan maksudnya?

Teknologi ini bukan untuk pengembangan teknologi bayi tabung, melainkan pengembangan teknologi penyimpanan sperma.

Kalau dulu suhunya dipertahankan dengan nitrogen cair, sehingga harus rutin mengisi nitrogen sebulan sekali atau sepekan sekali. Kalau sekarang cukup taruh saja di meja, di lingkup suhu ruangan biasa.

Proses penyimpanan sperma dilakukan dengan menggunakan teknologi sistem kering yang dikenal dengan Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) hal ini ternyata menjawab kegelisahannya, ia menemukan sel tertentu di alam bisa dikeringkan dan dihidupkan kembali.

Mengapa biayanya menjadi murah?

Karena tidak butuh tangki.

Biaya proses pembekuan sperma di tangannya jauh lebih murah. Biasanya proses penyimpanan sperma pertahun mencapat 10.000 dolar AS. Sementara dengan penemuannya bisa ditekan sampai 5.000 dolar AS.

Estimasi biaya murah sendiri dalam penjelasannya dapat diketahui dari perbandingan pembeli peralatan cold storage untuk menyimpan material biologis yang biasanya membutuhkan nitrogen cair sebagai bahan pendingin. Selain tangkinya mahal dan makan tempat, nitrogen cair sangat berbahaya.

Riset ini baru diujicobakan untuk sperma hewan, mengapa tidak dengan sperma manusia?

Karena lebih aman untuk menerapkannya pada hewan.

Apakah penelitian serupa pernah diaplikasikan ke manusia?

Sudah ada yang mengaplikasikan, tapi dirasa tidak efesien. Karena untuk manusia, terlebih bayi tabung manusia, penyimpanan sperma hanya dibatasi lima tahun. Itu pun dibayar oleh orang yang ingin menyimpan spermanya.

Bagi lembaga riset, penyimpanan sperma membutuhkan dana besar.

Apakah dengan kemudahan teknologi penyimpanan sperma, kualitas ternak meningkat?

Kalau yang saya kerjakan tidak meningkatkan mutu genetik. Tapi kalau kami taruh embrio sapi potong ke embrio sapi perah betina, maka ketika lahir akan menjadi sapi potong yang bagus. Kualitasnya lumayan bagus.

Berapa lama sperma bisa disimpan dengan teknologi ini?

Kalau di dalam tangki, penyimpanan bisa tidak terbatas waktu. Tapi dalam satu tangki ada 250 ribu sampai satu juta sperma.

Berapa kali Anda melakukan percobaan sampai alat penyimpanan sperma layak digunakan?

Hampir enam bulan saya kerja siang malam. Kalau mencobanya nggak terhitung, tapi cukup lama. Setelah delapan bulan saya baru dapat satu tikus (mencit) lahir.

Bisakah Anda jelaskan tahap-tahap pelaksanaan bayi tabung manusia?

Pertama kita adakan konsultasi, kemudian masuk ke diagnosa. Kita cari apa sebab infertilitas. Kalau sudah ketemu, misalnya ada penyumbatan tuba, kita akan menawarkan, apakah tubanya akan ditiup? Kalau pasien sudah siap memasuki tahapan bayi tabung, kita akan mulai dengan stimulasi hormon untuk meningkatkan jumlah folikel yang tumbuh.

Dalam tahap ini kita akan memeriksa terus, jumlah folikel yang tumbuh sudah sesuai atau belum. Kalau kita andaikan pohon, menambah jumlah folikel itu serupa dengan memupuk supaya buahnya banyak.

Kabarnya kebutuhan bayi tabung itu meningkat, menurut Anda itu kenapa?

Pertama orang mulai tahu, di Indonesia mulai ada.

Kedua, makin banyak lokasi yang bisa diakses oleh masyarakat.

Ketiga, mereka sudah mulai yakin dengan kemampuan dokter di Indonesia. Tapi ini belum bisa membendung orang Indonesia berobat ke luar.

Jadi kalau ada yang bilang, ada klinik baru di kota ini, kompetisinya ketat. Saya bilang kita tak pernah bersaing. Kompetisinya baru ketat kalau orang-orang pergi ke Singapura, Penang, Thailand, untuk treatment kesuburan. Padahal di negara kita bisa.

Biasanya orang memilih perawatan di luar negeri bukan karena semata-mata tidak percaya klinik di Indonesia, tapi karena malu berobat di Indonesia.

Kira-kira berapa angka kemungkinan keberhasilan bayi tabung?

Umumnya 30 persen. Angka kelahiran bayi mencapai sekitar 3000-an saat ini di Indonesia. Permasalahan ketidaksuburan itu kompleks. Biasanya jika tidak bisa punya anak, orang datang ke dokter kandungan, memeriksa kandungan. Jarang sekali yang memeriksa kualitas sperma.

Padahal di Australia, pasangan infertil datang untuk cek sperma dulu, karena biayanya lebih murah, hanya 25 dolar Australia, sekitar Rp 250 ribu. Kalau sudah tahu kualitas sperma, baru memeriksa kandungan.

Sepengalaman Anda, kebanyakan di usia berapa orang datang dengan masalah infertilitas?

Idealnya penanganan dilakukan di bawah usia 30. Karena biasanya di bawah usia 30, uangnya belum cukup. Untuk pasangan suami istri muda, kebanyakan masih pikir-pikir karena untuk mengobati infertilitas butuh 50 juta.

Kalau operasi jantung, kan, orang akan melakukannya segera karena mengancam nyawa jika tidak diobati. Sedangkan untuk mengobati infertilitas, dengan biaya 50 juta, orang akan berpikir mengumpulkan uang dulu sambil mencari alternatif yang lebih murah.

Kuncinya satu, diangnosa dulu, sehingga jika pasien minta second opinion, berapapun opini, kalau memang harus bayi tabung, ya bayi tabung. Kalau sudah mantap dengan diagnosa, mau bagaimana lagi?

Teori dalam ilmu kedokteran saat ini, jika suami istri telah setahun berhubungan seks normal namun tidak ada kehamilan, belum wajib periksa. Pasangan perlu menunggu dua tahun.

Kalau saya, tiga bulan berhubungan seks normal belum ada kehamilan, segera periksa, apakah ada penolak? Ada penyumbatan? Sebab kalau tidak seceapatnya maka pasangan tersebut berpacu dengan usia.

Paling lama orang bisa menunggu selama enam bulan. Jika hubungan seks normal, frekuensinya semingu dua-tiga kali, apalagi usianya di bawah 30 tahun, saran saya secepatnya periksa. Tapi, yang diperiksakan jangan istrinya saja, harus keduanya. Sampai kapanpun, kalau yang diperiksa hanya salah satu, diagnosanya tidak akan sempurna.

Adakah kemungkinan anak bayi tabung dilahirkan dengan kondisi menjadi disabilitas?

Kondisi kelahiran sudah di luar kemampuan kita. Misalnya dalam diagnosa kita menemukan bahwa orang tua memiliki potensi menurunkan penyakit atau kelainan, sekarang ada teknologi namanya pre-implantation genetic diagnostic, atau pre-implantation genetic screening.

Nah, kita lihat, mana embrio atau bakal janin yang paling sedikit gangguan atau kerusakannya. Kalau kita bisa menemukannya, maka kita tanam embrio yang gangguannya minimal.

Mulyoto Pangestu. (Suara.com/Somad)

Ke depannya, apakah orang yang subur pun bisa melakukan pemilihan embrio untuk mengurangi kematian ibu dan anak?

Kalau kematian ibu dan anak, tidak ya.

Tapi pemilihan embrio untuk perbaikan keturunan, secara hukum, kita tidak boleh. Hukum di Indonesia, mensyaratkan pasangan suami istri sehat, tidak mengalami infertilitas, datang ke dokter minta, “Dok, saya ingin anaknya yang begini”, secara hukum tidak bisa.

Peraturan Pemerintah maupun Permenkes tidak mengizinkan.

Kalau untuk bidang ilmu kesehatan sendiri sudah siap melakukannya?

Teknologinya ada. Kalau suami istri yang mengalami infertilitas, kemudian ada kelainan yang berpotensi menurun, maka kita bisa menyeleksi embrio. Tapi kalau suami istri subur, untuk memilih embrio, secara Undang-Undang belum memungkinkan.

Dari tingkat keberhasilan 30 persen, berapa persen yang lahirnya normal?

Semua kita anggap normal, dalam arti secara fisik. Ada yang punya gangguan penyakit, misalnya, ada prediksi bahwa kemungkinan anak yang lahir dari bayi tabung, kemungkinan akan mudah terkena diabetes dan kelainan jantung. Tapi sampai sekarang pembuktiannya belum ada.

Kalau di Australia, program bayi tabung, diusahakan lahirnya hanya satu. Jadi, lahir kembar itu kita anggap kegagalan. Kalau di Indonesia, orang tua yang meminta dua bakal janin. Kenapa? Karena mereka beranggapan, sudah membayar mahal tapi hanya ada satu anak.

Di Indonesia, hampir semua pasien akan berbicara begitu. Di Australia pun demikian, tetapi kita jelaskan lagi pada pasien tentang risikonya.

Mulyoto Pangestu. (Suara.com/Somad)

Biografi singkat Mulyoto

Dr. Mulyoto Pangestu lahir di Pekalongan, 11 November 1963. Dia adalah ilmuwan Indonesia lulusan SMA Negeri 1 Tegal dan Fakultas Peternakan di Universitas Jenderal Soedirman. Kemudian Mulyoto melanjutkan pendidikan di School of Agricultural & Forestry di University of Melbourne dan meraih gelar magister dan doktoralnya di Monash University, Australia.

Ia adalah staf pengajar di Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Fakultas Peternakan UNSOED, Mulyoto juga diminta untuk membantu mengajar di Departemen Obstetri & Ginekologi Monash University serta sejumlah universitas lain di Indonesia, seperti Universitas Diponegoro, UNPAD dan Universitas Gajah Mada.

Selain itu, ia juga dikenal melalui penelitian kolaboratifnya di bidang fertilitas dan teknologi reproduksi bersama Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Udayana dan University of Melbourne.

Saat ini berdomisili di Australia. Ia memiliki seorang anak yang juga telah bekerja di sana. Demi mempertahankan kemandirian sang istri yang sehari-harinya menggunakan kursi roda, Mulyoto memilih tetap bekerja sebagai salah satu staf pengajar dan peneliti di Monash University, Melbourne.

Gaji bulanan yang diterima Mulyoto sesungguhnya bukanlah nilai yang amat besar, selain karena biaya hidup yang tinggi, ia juga dikenakan pajak penghasilan yang besar. Dari jumlah Rp100 juta, ia hanya membawa pulang Rp 80 juta. Namun, baginya sistem di Australia justru memberikan ruang yang besar untuk meningkatkan kualitas keprofesiannya. Mulyoto bercerita bahwa posisinya sekarang dicapai karena konsistensi di bidang ilmu kedokteran, khususnya di bidang kebidanan dan embriologi.

Semasa menempuh studi doktoral, Mulyoto pernah menjadi staf dapur asrama mahasiswa dengan tugas mencuci piring. Pekerjaan itu ia lakukan tanpa malu, karena beasiswa yang diperolehnya tak mungkin cukup jika tidak ditambah penghasilan dari kerja-kerja informal. Pekerjaan sampingannya bahkan bisa mengantarkan Mulyoto dan istri pergi haji tahun 2004. Sambil tertawa Mulyoto mengingat bagaimana ia dilabeli sebagai haji burger, karena biaya naik haji diperolehnya dari simpanan pendapatan menjaga kedai burger.

Saat ini Mulyoto lebih dikenal sebagai peneliti yang menemukan teknik kering untuk penyimpanan sperma. Temuan ini membuat Mulyoto mendapat penghargaan Young Inventors Award dari The Far Eastern Economic Review. Temuannya saat ini menjadi dukungan berharga untuk laboratorium di Australia yang membutuhkan teknologi penyimpan sperma yang murah dan mudah.

(Somad)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI