Agus Sutikno: Pendeta Bertato, Bertoleransi dengan Kaum Marginal

Selasa, 01 Mei 2018 | 08:59 WIB
Agus Sutikno: Pendeta Bertato, Bertoleransi dengan Kaum Marginal
Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wajah dan badan penuh tato, ternyata Agus Sutikno adalah seorang pendeta. Lelaki 43 tahun itu adalah pendeta jalanan.

Dia pendeta sungguhan, namanya tercatat sebagai Pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Pendeta jalanan, satiran pendeta kebanyakan, karena dia mengabdi bukan disebuah mewahnya tempat ibadah.

Jauh dari kemapanan, Agus memilih terjun mengabdikan diri di kawasan kumuh Tanggul Indah dekat bantaran Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) Kota Semarang, Jawa Tengah.

Janji pengabdiannya mengentaskan nasib anak jalanan, anak para pekerja seks (PSK), transgender, pecandu narkoba sampai korban orang dengan HIV dan AIDS (ODHA), di wilayah kerap disebut lokalisasi kelas teri di tengah Kota Lumpia.

Pun tampilan seorang Agus juga jauh dari mapannya seorang Pendeta, berambut panjang, berdandan ala preman jalanan dengan tubuh penuh tato. Bahkan dandanan khas nyentriknya mengenakan kostum rocker, berbalut jaket kulit Indian, rantai pinggang sampai sepatu boot selalu menghiasi kakinya.

Agus memang bukan siapa-siapa di wilayah yang memiliki panjang jalan sekira 300 meteran itu, dia pendatang, asli orang Probolinggo Jawa Timur. Namun nasib mempertemukan Agus di 2005, awal perjuangannya dalam nguwongke nasib kaum marginal.

Mendobrak budaya kerja para 'tangan Tuhan', jika wilayah perjuangan mereka yang nyata adalah lewat mereka.

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Entah sudah berapa banyak, mungkin ratusan anak-anak di wilayah itu merasakan sentuhan 'tangan Tuhan' Agus, pendidikan adalah fokus utamanya. Jika bukan dia, lantas siapa yang peduli akan nasib hidup mereka ke depan kelak.

Lewat sebuah bangunan kecil berukuran bedeng 3x4 meter, berhimpitan dengan kios-kios penjaja jasa pijat, Agus mendirikan Yayasan Hati Bagi Bangsa, tempat berkumpulnya para anak-anak terlantar pekerja seks Tanggul Indah (TI) untuk mendapat bimbingan belajar dan merubah sikap.

Ruangannya sederhana, beralas karpet plastik, dihias buku bacaan di dinding. Serta ada alat simulasi belajar digital warna biru, lumayan canggih, katanya sumbangan donatur 'no name'.

Agus tahu betul, kerasnya hidup anak-anak di lingkungan itu seperti kerasnya pengalaman Agus bersahabat dengan kisah lama jalanannya. Setidaknya tato-tato yang menghias tubuh Agus seperti menceritakan alur kisahnya.

"Mereka butuh sentuhan, diuwongke," tuturnya.

Tato-tato itu, mulai ujung kaki, tangan sampai muka kepala ibarat kisah dalam diri Agus, dia tak ada niatan untuk menghapusnya. Tato itu tetap sebagai bukti jika masa jahiliyahnya telah mengantarkan pada masa mendapat hidayah Tuhan, sampai nyata mengangkat derajat anak-anak dan orang-orang marginal di lingkungan itu.

Uniknya lagi, meski seorang rohaniawan, Agus enggan berbicara terkait agama, baginya jika sudah bicara agama maka yang muncul benar dan salah. Agus juga hanya sedikit mau mengekspos kehidupan lamanya, fokusnya kini ingin lebih bermanfaat bagi sesama.

Suara.com bertandang ke Sekretariat Yayasan Hati Bagi Bangsa, yayasan yang dia bentuk sejak beberapa tahun silam. Lelaki kelahiran Probolinggo 17 Agustus 1975 ini bercerita banyak kisahnya, gaya bahasa jalanan yang lugas, ceplas-ceplos tanpa tedeng, termasuk bicara tantangan dari pihak warga setempat diawal masuk wilayah itu, dia dituduh membawa misi Kristenisasi.

Berikut petikan wawancara lengkapnya:

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Sejak 2005 sebagai Pendeta Jalanan. Bisa cerita, bagaimana rutinitas Anda?

Kasih yang nyata, jadi kasih itu bukan cuma di atas mimbar, bukan cuman ngomong Tuhan. Tapi kasih itu dinyatakan dengan kasih nyata, dengan perbuatan dengan aksi.

Kalau bagi anak-anak, saya lebih ke pendidikan, beasiswa, orangtua asuh, etika, dan attitude. Karena anak-anak ini harus bisa sekolah, kalau bagi aku pendidikan adalah hak semua anak Indonesia. Siapapun mereka, mau itu anaknya pelacur atau anak kolong jembatan, harus sekolah.

Kalau ke para penderita HIV banyak, dari mereka didatangi, dikuatkan, didampingi. Saya bawa ke rumah sakit. Sampai dia meninggal kami urus, sampai dikuburkan juga. Kalau istilah bahasa Semarangan, kita uwongke.

Saya sebagai bapak mereka, sahabat mereka. Pemerintah banyak menganggap mereka itu hanya sebagai obyek.

Saat ini, apakah sudah ada perubahan dari gerakan Anda?

Ketika mereka sudah diawali dengan hati yang tulus, mereka tahu sendiri kok akhirnya, mana yang tulus atau nggak. Jadi diawalnya mereka tak tahu aturan, maaf ini, ngomong sembarangan dan ngomong yang hewan-hewan itu.

Jadi ketika sudah ada di sini mereka masuk harus assalamualaikum, kenapa? Aku kasih tahu, karena kamu akan jadi pemimpin, kalau pemimpin kayak gini ya nggak bakal bisa.

Alhamdulilah merasakan mereka, sudah ada perubahan seperti ketika mereka ngomong umpatan asu (anjing), ya kepenggal ass...

Ada juga ini satu anak mau masuk kuliah, dia saya cover dari SMP saya sekolahkan. Tahun ini masuk kuliah di Unisbank.

Apakah Anda puas dengan capaian itu?

Nggak sih, biasa aja. Ini karena apa yak? Kalau bangga kan, saya pasti ada ungkapan ini lho aku kalau bukan aku kamu tidak bisa, itu sombong. Ini adalah misi sosial misi kemanusiaan, pokoknya kamu sekolah, kuliah dan lulus.

Kisah perjalanan Anda yang beranjak dari kehidupan 'gelap' sampai saat ini sangat inspiratif. Bisa Anda cerita dengan singkat, bagaimana proses belajar Anda dari seorang pemuda jalanan hingga menjadi seorang Pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI)?

Flashback kebelakang? Nggak penting lah, yang penting hidup saya. Anda itu bagi berkat dan rahmatan lilalamain, barokah bagi banyak orang, lepas dari konteks konotasi agama.

Tapi Kisah awal ke sini, karena gini, aku melihat anak-anak di sini butuh sosok. Figur yang mau merangkul mereka, mengentaskan mereka, dan mengusap air mata mereka. Jadi mereka memang butuh disentuh hatinya, makanya saya bilang toh kalau ngomong Tuhan itu gampang, tapi kamu nggak jual baik pada mereka.

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Sebagai pendeta 'unik', apakah ada perbedaan kegiatan Anda dari sisi pelayanan gereja atau sosial?

Selama belajar di sekolah teologi Alkitab, ilmu poin yang disampaikan nggak ada seperti gini, dikampus manapun, sekolah teologi manapun, yang penting mereka itu bagaiman cara khutbah dan konseling. Selama ini nggak ada yang kayak gini. Kamu (pendeta) ke sana ketemu PSK, waria, nggak ada diajarkan begitu.

Mereka hanya ke arah gedung (gereja) saja.

Bisa Anda cerita, apa saja tantangan Anda hadapi selama ini? Apa sudah dengan mudah menjalankan misi kemanusiaan Anda?

Banyak, saya dulu itu pernah dituduh menyebarkan Kristen, menyebarkan agama, kristenisasi. Tapi sampai saat ini coba Anda cek, ada nggak yang masuk kristen? Nggak ada.

Karena bagi aku agama itu soal hati, kamu dengan Tuhan mu, dengan Allah mu, selesai. Apalagi kalau bicara itu (agama) adalah ranah memang zona merah, yang nggak boleh disentuh.

Itu urusan pribadi orang dengan sang pencipta, siapapun namanya. Aku begitu mas.

Dengan teman komunitas gereja sendiri, Apakah ada penentangan?

Ya mereka mungkin melihat aneh dengan saya bergaya begini ya. Kemungkinan dianggap merusak nama organisasi, dengan style begini. Karena pendeta itu, Anda tahulah. Pendeta atau apa pun pemuka agama itu harus yang rapih.

Sudah 4 tahun Anda mendirikan Yayasan Hati Bagi Bangsa. Apa perbedaan mengasuh atau mengajarkan mereka dibanding dengan mengajarkan anak-anak yang beda latar belakang? Apakah ada kiat khusus?

Dengan adanya yayasan di sini untuk peduli, peduli dan mengerti. Jadi tanpa pamrih, entah kamu agama apa, saya nggak mau tahu.

Menolong, sudah selesai.

Maka di sini kegiatan anak-anak juga setelah salat Magrib. Pendidikan semua total, harus sekolah, penting pendidikan. Saya utamakan lingkungan di sini.

Yayasan Hati Bagi Bangsa sengaja dibuat sebagai payung hukum saja. Sekalipun saya punya yayasan saya tidak pernah minta sama Dinas Sosial.

Banyak donatur dan relawan yang mau memberi tanpa bayaran. Tempat ini hanya buat belajar, sharing dan ada jadwal khusus. Dulu saya yang turun langsung mengajar mereka dengan istri, sekarang mereka yang udah besar ngajar adik-adik mereka.

Bicara soal tato, apakah masih ada satu bagian tato Anda yang paling berkesan?

Ini (tato) bukti bahwa siapapun bisa dipakai Tuhan, siapapun, mau dia bekas pelacur, bekas bajingan bekas apapun.

Yang berkesan ada dua, tato Dewi Quanin dan tato Yesus, di kaki di betis. Ini dibuat sudah lama, masa jahiliah, masa saya nggak tahu. Ini sudah saya fokus, pada yang di atas dan di bawah.

Dua tato itu ada artinya ?

Yang Dewi Quanin itu Dewi welas asih, Yesus itu simbol perjuangan dan pengorbanan.

Banyak yang ingin melepas masa lalu maka ingin menghilangkan tatonya, ada niatan membuang tato?

Kalau aku dibuang, Kayaknya nggak, kenapa? Kalau dibuang, misal rambut pendek kayak mas, pakai jas, beda lagi kan?

Ternyata sama (seperti pendeta kebanyakan) ya sudah, kalau aku kan dilabel Pendeta Jalanan, kalau Pendeta Jalanan pakai jas ya beda lagi.

Anda juga suka pakai sepatu boot…

Bukan cuman sekadar lambang perjuangan, tapi simbol perlawanan.Bahwa seorang pendeta tidak harus jujur hati, yang begini lho, bukan cuman bajunya stylenya, tapi dari apa yang diperbuat apa yang dilakukan itu yang penting.

Style ini justru mendekatkan pada mereka…

Iya benar.

Nggak penting bajunya, yang penting ketika kita berbuat sesuatu pada sesama.

Nama Anda sangat dikenal di Semarang, bahkan di komunitas sosial. Di pilkada atau pileg nanti, apakah Anda tidak berniat menjadi pejabat negara seperti bupati, walikota atau anggota DPR/DPRD? Sebab misi sosial Anda akan lebih mudah berjalan. Meski Anda harus melepas status pendeta. Pernah ada partai yang menawarkan?

Wah saya nggak mau bicara politik dan ranah agama. Kalau Dinas Sosial, saya banyak kenal orang, kalau saya minta dana pasti bisa, tapi saya nggak minta. Kalau mau kasih yak harus lillahitala dulu. Saya kenal baik sama Bu menteri sosial Bu Khofifah.

Ada juga pihak partai perhatian atau mengajak jadi wakil rakyat ?

Nggaklah.

Toleransi masih menjadi tantangan dalam bernegara. Masih ada kekerasan atas nama agama, bahkan baru kemarin gereja di Yogyakarta di serang dan isu identitas menguat. Bagaimana usulan Anda, agar masyarakat Indonesia menjadi toleran?

Saya bilang, agama itu ranah sendiri. Karena pasti agama itu tiap orang pasti berkata menganggap benar, mungkin termasuk Anda anggap aku paling benar.

Nggak bisa gitu. Kenapa? Karena kita ini mahluk sosial, kita berinteraksi.

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Bagaimana usaha Anda merawat keberagaman di Indonesia?

Sebagai contoh di kampung saya, saya buat sumur bor, buat warga Cinde demi warga. Semua di sana muslim, saya Kristen. Cinde salatan Dalam RT 6 RW 8, maen kesana kapan ada waktu wawancara pak RT atau warga sana.

Atau kapan - kapan kerumah saya masnya, tanya ke semua orang-orang itu, rumah saya itu unik, saya gambar semuanya ada Budha, Siwa, Yesus, Bunda Maria, Syeh Siti Jenar, semuanya saya lukis.

Kan gini saya punya ide mau buat namanya Kampung Toleransi di Semarang, kalau Kampung Batik kan sudah ada. Nah Kampung Toleransi kan belum ada.

Nanti saya gambar dari ujung ke ujung jalan mulai gambar simbolik agama dan lainnya, nanti bisa buat selfie dan bisa jadi tempat wisata.

Apakah ide ini sudah dijalankan?

Sudah dan tinggal direalisasikan secepatnya, karena bangsa kita memang harus gitu toleran, penting itu toleransi.

Apakah cara-cara Anda saat ini mudah diterapkan di kawasan lain?

Ya harus, karena tidak cukup kita berada ada dalam gedung tempat ibadah, maaf, sepeti dalam gereja. Itu tidak cukup kamu tenteng Alkitab, buka ayat. Kamu khutbah tentang Tuhan, ya benar. Tapi lebih benar lagi kamu berbaur dengan mereka bahwa yang utusan Tuhan itu berwujud pada orang miskin itu.

Kalau cuman diskusi tokoh agama, mereka sukanya malah debat.

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Biografi Singkat Agus Sutikno

Agus Sutikno, sosoknya begitu nyentrik, pria kelahiran Probolinggo 17 Agustus 1975 ini awalnya seorang pemuda jalanan, kehidupan masa kelamnya menghantarkan pada jalan terang menuju cahaya Tuhan. Dalam perjalananya dia memperdalam ilmu agamanya di sekolah teologi di Magelang, sampai singgah di kawasan kumuh Tanggul Indah Kota Semarang.

Sekarang dia menetap di Semarang di Jalan Cinde Selatan Dalam RT 6 RW 8 Candisari, Kota Semarang. Hidup layaknya orang biasa dengan sang istri, Yola, dan kini dianugerahi dua putra.

Pendeta Jalanan' disematkan padanya, lantaran dandanan yang ala anak punk dan rocker, Agus tetap mempertahankan tato di sekujur tubuhnya.

Setiap hari dia berkeliling memberikan palayanan pada anak-anak termarjinalkan di lingkungan kawasan kumuh Tanggul Indah, Banjir Kanal Timur (BKT) Kota Semarang. Tak hanya itu, para gelandangan, PSK, pecandu narkoba, dan korban ODHA menjadi prioritas perjuangan nguwongke mereka.

Perjuangan Agus juga kerap menyentil para pemuka agama, tak terkecuali sejawatnya Pendeta Kristen yang keberatan dengan kegiatannya selama ini. Menjadi pemuka agama baginya tak melulu berkhutbah dan bersolek di dalam gereja. Melainkan harus mampu terjun untuk bersosialisasi dengan masyarakat luas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI