Agus Sutikno: Pendeta Bertato, Bertoleransi dengan Kaum Marginal

Selasa, 01 Mei 2018 | 08:59 WIB
Agus Sutikno: Pendeta Bertato, Bertoleransi dengan Kaum Marginal
Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Anda juga suka pakai sepatu boot…

Bukan cuman sekadar lambang perjuangan, tapi simbol perlawanan.Bahwa seorang pendeta tidak harus jujur hati, yang begini lho, bukan cuman bajunya stylenya, tapi dari apa yang diperbuat apa yang dilakukan itu yang penting.

Style ini justru mendekatkan pada mereka…

Iya benar.

Nggak penting bajunya, yang penting ketika kita berbuat sesuatu pada sesama.

Nama Anda sangat dikenal di Semarang, bahkan di komunitas sosial. Di pilkada atau pileg nanti, apakah Anda tidak berniat menjadi pejabat negara seperti bupati, walikota atau anggota DPR/DPRD? Sebab misi sosial Anda akan lebih mudah berjalan. Meski Anda harus melepas status pendeta. Pernah ada partai yang menawarkan?

Wah saya nggak mau bicara politik dan ranah agama. Kalau Dinas Sosial, saya banyak kenal orang, kalau saya minta dana pasti bisa, tapi saya nggak minta. Kalau mau kasih yak harus lillahitala dulu. Saya kenal baik sama Bu menteri sosial Bu Khofifah.

Ada juga pihak partai perhatian atau mengajak jadi wakil rakyat ?

Nggaklah.

Toleransi masih menjadi tantangan dalam bernegara. Masih ada kekerasan atas nama agama, bahkan baru kemarin gereja di Yogyakarta di serang dan isu identitas menguat. Bagaimana usulan Anda, agar masyarakat Indonesia menjadi toleran?

Saya bilang, agama itu ranah sendiri. Karena pasti agama itu tiap orang pasti berkata menganggap benar, mungkin termasuk Anda anggap aku paling benar.

Nggak bisa gitu. Kenapa? Karena kita ini mahluk sosial, kita berinteraksi.

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Bagaimana usaha Anda merawat keberagaman di Indonesia?

Sebagai contoh di kampung saya, saya buat sumur bor, buat warga Cinde demi warga. Semua di sana muslim, saya Kristen. Cinde salatan Dalam RT 6 RW 8, maen kesana kapan ada waktu wawancara pak RT atau warga sana.

Atau kapan - kapan kerumah saya masnya, tanya ke semua orang-orang itu, rumah saya itu unik, saya gambar semuanya ada Budha, Siwa, Yesus, Bunda Maria, Syeh Siti Jenar, semuanya saya lukis.

Kan gini saya punya ide mau buat namanya Kampung Toleransi di Semarang, kalau Kampung Batik kan sudah ada. Nah Kampung Toleransi kan belum ada.

Nanti saya gambar dari ujung ke ujung jalan mulai gambar simbolik agama dan lainnya, nanti bisa buat selfie dan bisa jadi tempat wisata.

Apakah ide ini sudah dijalankan?

Sudah dan tinggal direalisasikan secepatnya, karena bangsa kita memang harus gitu toleran, penting itu toleransi.

Apakah cara-cara Anda saat ini mudah diterapkan di kawasan lain?

Ya harus, karena tidak cukup kita berada ada dalam gedung tempat ibadah, maaf, sepeti dalam gereja. Itu tidak cukup kamu tenteng Alkitab, buka ayat. Kamu khutbah tentang Tuhan, ya benar. Tapi lebih benar lagi kamu berbaur dengan mereka bahwa yang utusan Tuhan itu berwujud pada orang miskin itu.

Kalau cuman diskusi tokoh agama, mereka sukanya malah debat.

Agus Sutikno. (Suara.com/Adam Iyasa)

Biografi Singkat Agus Sutikno

Agus Sutikno, sosoknya begitu nyentrik, pria kelahiran Probolinggo 17 Agustus 1975 ini awalnya seorang pemuda jalanan, kehidupan masa kelamnya menghantarkan pada jalan terang menuju cahaya Tuhan. Dalam perjalananya dia memperdalam ilmu agamanya di sekolah teologi di Magelang, sampai singgah di kawasan kumuh Tanggul Indah Kota Semarang.

Sekarang dia menetap di Semarang di Jalan Cinde Selatan Dalam RT 6 RW 8 Candisari, Kota Semarang. Hidup layaknya orang biasa dengan sang istri, Yola, dan kini dianugerahi dua putra.

Pendeta Jalanan' disematkan padanya, lantaran dandanan yang ala anak punk dan rocker, Agus tetap mempertahankan tato di sekujur tubuhnya.

Setiap hari dia berkeliling memberikan palayanan pada anak-anak termarjinalkan di lingkungan kawasan kumuh Tanggul Indah, Banjir Kanal Timur (BKT) Kota Semarang. Tak hanya itu, para gelandangan, PSK, pecandu narkoba, dan korban ODHA menjadi prioritas perjuangan nguwongke mereka.

Perjuangan Agus juga kerap menyentil para pemuka agama, tak terkecuali sejawatnya Pendeta Kristen yang keberatan dengan kegiatannya selama ini. Menjadi pemuka agama baginya tak melulu berkhutbah dan bersolek di dalam gereja. Melainkan harus mampu terjun untuk bersosialisasi dengan masyarakat luas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI