Seno Gumira Ajidarma: Puisi Sukmawati Harus Dibalas Puisi

Senin, 16 April 2018 | 17:22 WIB
Seno Gumira Ajidarma: Puisi Sukmawati Harus Dibalas Puisi
Rektor Institut Kesenian Jakarta yang juga sastrawan, Seno Gumira Ajidarma. (suara.com/Erick Tanjung)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah Anda bisa ceritakan sejarah sastra dalam agama, baik pada tradisi Abrahamik maupun non-Abrahamik? Apa selalu selaras, ataukah sastra bisa mengkritik penerapan agama oleh penganutnya?

Saya bukan ahli sastra. Saya tidak tahu, tapi saya kira ada. Rendra itu mengkritik juga, tetapi dia tidak mengkritik agama, dia mengkritik ahli agama yang tidak peduli keadilan sosial.

Siapa yang mengkritik agama? Kecuali Nietzsche. Dan yang dikritik bukan agama toh, yang dikritik adalah bagaimana agama diperlakukan. Agama itu spiritual, tapi jadi politik di sini, untuk “kamu agama itu, lain dengan agama saya, itu kan politis”. 

Jadi puisi Sukwa bisa ‘dibantai’, tapi secara kritis secara sastra. Itu menarik, ketimbang menuduh menghina agama.

Bisa Anda cerita soal Darmogandul, Gatoloco, cerpen Ki Panji Kusmin, yang sama-sama dinilai mengkritik agama, dan diklaim melecehkan Islam di Indonesia?

Saya tidak ahli soal itu, tetapi yang saja baca reaksi atau tanggapan terhadap Islam yang mulai mendominasi tradisi spiritual rakyat setempat, orang Jawa lah gitu. Ya nggak apa-apa.

Apakah puisi Sukma sama posisinya dengan kesemua karya sastra itu dalam konteksnya?

Oh tidak, beda sekali.

Jadi itu masalah kekuasaan sebetulnya, mungkin merasa begitu, bisa. Tapi saya kira tidak terbandingkan ya. Dia mungkin merasa gitu, mungkin ada miripnya juga ya.

Tapi saya kira perlu lebih banyak argumen untuk membandingkannya. Tapi saya kira kritik sosial lah itu, ketimbang kritik agama. Kritik sosial iya. Artinya kenapa sih orang merasa dirinya paling benar. Bukan kritik agama.

Yang bisa kritik agama ya orang agama sendiri, Gus Dus, bisa itu. Kalau bukan orang agama kayak saya ini apa haknya kritik agama? Paham agama juga tidak. Beragama nggak cukup ya, harus mengerti ilmu agama.

Itu disebut politik identitas, mencari korban-korban untuk memunculkan dirinya. Jadi bukan soal puisi, bukan soal kartun, bukan soal drama, film, bukan, soal dia sendiri.

Bagaimana Anda menilai kesadaran kesusateraan publik maupun kaum elite di Indonesia?

Katakan lah sudah berkembang, gitu aja. Buktinya, dulu nggak ada klub buku, sekarang banyak. Klub buku yang isinya diskusi buku, kemudian buku atau membaca itu bagian dari lifestyle kan, orang bawa buku itu senang.

Kalau belum baca buku apa malu? Buku sudah jadi fashion, itu perkembangan bagus. Bergaya kalau pakai buku, bergaya baca, itu perkembangan. Perkara apa buku yang diomongin, cuma lucu doang itu soal lain.

Kan di situ dulu, dari itu orang akan jenuh dengan hiburan dan akan mencari yang lebih bermakna. Dan sekarang diskusi intelektual dan masalah kritik sosial sudah jauh lebih bagus.

Buktinya, penerbitan dulu kan cuma ada Gramedia, Sinar Harapan, Gunung Agung, Tiga, Grafiti. Sekarang terbitan indie jumlahnya beratus-ratus, ditiap kota berpuluh-puluh, perkembangan bagus.

Jadi tak perlu dikhawatirkan buku digital?

Sama sekali tidak. Loh di digital isinya apa? Semua buku yang ada didigital. Malah gratis, kan nggak usah tebang pohon. Buku kan lertasnya dari pohon, kulit kayu, bagus.

Bagaimana perkembangan kebudayaan di tanah air sekarang menurut Anda? Apakah dalam perubahan budaya selalu ada perlawanan?

Kebudayaan semua. Pajak juga kebudayaan, ekonomi juga kebudayaan, perang juga kebudayaan. Ya dia akan tumbuh dengan rumus seperti itu.

Misalnya aku anggap dangdut murahan, dia akan melawan. Pejabat dangdut, semua dangdut, melawan. Nggak selalu makin lama, makin naik, nggak gitu. Tapi selalu ada, apa istilahnya itu ya, ada suatu griliya semiotik. Ini lawan ini, ini lawan itu.

Jadi sekarang ini orang yang nggak ngerti sastra mau menggulingkan kuasa sastra dengan ancaman-ancaman? Ya nggak bisa.

Ya itu perlawanan orang-orang yang nggak tahu, kalau sastra kan nggak ngerti dia, kan ditertawai orang. Demo saja.

Biografi Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Dia adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah ‘Atas Nama Malam, Wisanggeni’, ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’, ‘Biola tak Berdawai’, ‘Kitab Omong Kosong’, ‘Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi’, dan ‘Negeri Senja’.

Seno menyelesaikan gelar sarjananya di Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta, lalu Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia, dan gelar Doktor Ilmu Sastra di kampus yang sama.

Sekarang Seno menjadi Rektor di Institut Kesenian Jakarta sejak 2016 dan tetap menjadi dosen di Fakultas Film dan Televisi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI