Suara.com - Sepekan terakhir, publik dihebohkan dengan sebuah paparan ilmiah dari ilmuwan tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan TeknologI (BPPT). Dalam paparan itu disebutkan kawasan Pandeglang, Banten berpotensi diterjang tsunami setinggi 57 meter lebih.
Namun media salah kutip, “potensi” itu disebut sebagai “prediksi”. Berbagai lembaga seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan BPPT buru-buru mengklarifikasi.
Potensi tsunami hasil penelitian DR. Widjo Kongko itu dilakukan di Jawa bagian Barat. Termasuk Jakarta dan Banten.
Hasil kajiannya bersifat akademis awal dari simulasi model komputer menggunakan sumber tsunami dari gempa bumi di tiga titik potensi gempa bumi megathrust, Enggano, Selat Sunda, dan Jawa Barat bagian Selatan.
Skenario terburuknya itu (total ada enam skenario), jika gempa terjadi secara bersamaan di tiga titik potensi gempa, dan dengan skala tertinggi, 9 skala richter (SR). Skenario ini apabila dibuat simulasi permodelan, maka akan menimbulkan tsunami yang dahsyat.
Hasil simulasi model komputer dari skenario terburuk ini mengindikasikan ketinggian tsunami di wilayah pantai Utara Jawa bagian Barat maksimum mencapai 25 meter, dan di wilayah pantai barat-selatan maksimum hingga 50m.
Suara.com menemui lelaki yang berdomisili di Yogyakarta itu di Jakarta pekan lalu. Doktor ahli tsunami lulusan Leibniz Universitaet Hannover, Jerman itu menjelaskan dengan rinci hasil penelitiannya. Dia tak ingin publik, termasuk media massa, salah menangkap soal hasil penelitiannya itu.
Berikut hasil wawancara lengkapnya:
Kami ingin mendapatkan penjelasan dan paparan yang konprehesif soal hasil riset Anda. Sebab publik membaca riset sebagai perkiraan tsunami. Bisa Anda ceritakan soal riset kemungkinan terjadi tsunami di pesisir Pandeglang, Banten?
Jadi secara umum di Indonesia ada potensi penambahan pergeseran sodokan dari arah Australia sekitar 7 cm pertahun (menunjukkan peta wilayah berpotensi tsunami). Sekedar background, Indonesia sangat padat sekali dengan gempa 12.000 titik lebih untuk magnitute di atas 5 SR, untuk magnitute 7 SR ada 200-an sekian titik di Indonesia.
Terkait dengan Tsunami, lebih dari 105 di luar 2004, 2005, 2006, dan 2010. Jadi kira-kira sekarang kita punya 110 potensi tsunami.
Peta ini terbit 2017, bisa di download dan dikeluarkan oleh Balitbang PUPR, namanya Peta Sumber Bahaya Gempa Indonesia. Ini terkait dengan potensi gempa bumi di megatrush.
Mega adalah besar, trush itu gundukan dalam dasar laut. Jadi yang menyebabkan tsunami adalah di dalam megatrush ini.
Untuk yang baru, Indonesia punya 13 megatrush. Jika di 2012, Indonesia punya 10 megatrush. Saya fokus yang tiga megatrush baru di Sumatera 8,4 SR, di elat sunda 8,7 SR, dan Jawa bagian Barat 8,7 SR.
Kemudian, tsunami disebabkan oleh gempa besar di atas 7 SR kalau terjadi di laut. Dan ini semuanya diatas 7, artinya memenuhi kaedah umum bahwa tsunami itu sangat mungkin terjadi. Untuk tsunami inilah yang paling besar secara potensi (di tiga megatrush).
Kemudian kalau bicara tentang scenario-skenario, saya berdiskusi dengan banyak orang dengan teman-teman BNPB dan seterusnya, ini memang tidak mudah.
Skenario mana dulu, kami tidak tahu. Tetapi bisa satu, bisa tiga, bisa satu dan dua, dan bisa seluruhnya (di tiga megatrush, Selat Sunda, Jawa bagian barat dan Sumatera). Seluruhnya jumlahnya kira-kira magnitut 9.
Aceh pernah gempa dan tsunami mencapai 9,1 SR, dan Jepang 9,1 SR. Jadi 9 SR itu sangat mungkin.
Kami mengukur ketinggian tsunami sepanjang pantai di Jawa. Mulai dari Bekasi, Jakarta Utara, Tangerang, Pandegelang, seterusnya sampai Ciamis di 10 Kabupaten, 2 kota.
Saya mengambil datanya di pinggir pantai, yang diambil datanya ketinggian tsunami, dan perubahan tinggi naik turunnya.
Saya kasih gambaran yang bisa menjelaskan soal tsunami. Jadi di kedalaman (laut dalam) itu kecil, gelombangnya lebih panjang, tapi lebih cepat.
Berapa ketinggian pasti potensi tsunami yang Anda dapatkan di kota atau kabupaten?
Berdasarkan peta angka maksimum tsunami di Pandegelang 57,1 meter, Serang 12,9 meter, Lebak 39,4 meter, Sukabumi 41,5 meter, Cianjur 32,9 meter, Garut 30,1 meter, Tasikmalaya 28,2 meter, Ciamis 27,3 meter, Bekasi 2,8 meter, Jakarta Utara 2,4 meter, dan Tangerang 4,2 meter.
Ini berdasarkan model komputer. Model komputer itu akan mengeluarkan angka, tetapi angka itu bisa benar, dan bisa tidak benar. Tergantung datanya. tetapi secara kualitatif kalau diubah-ubah datanya itu biasanya ada perubahan. Tetapi berubahnya juga tidak banyak.
Sekarang masalah waktu datangnya tsunami. Di Pandegelang, seperti Ujungkulon 5-7 menit sudah sampai tsunami, kalau pantai utara, Jakarta Utara dan Bekasi itu bisa 3-4 jam sampainya. Tapi rata-rata seluruhnya tingginya (tsunami) 12 m.
Jakarta pun terdampak tsunami dalam simulasi itu…
Sekilas dipaparan saya, saya tunjukkan untuk potensi sepanjang pantai di Jawa bagian barat dari Kabupaten Bekasi, Jakarta, Tangerang, Serang dan sebagainya.
Untuk di DKI Jakarta hasil simulasi dengan data kasar ini tinggi tsunami bisa mencapai 2 sampai 3 meter.
Keadaan itu pada skenario terburuk, dengan waktu tibanya 3 sampai 5 jam setelah gempa. Setiap model mnggunakan data dan skenario sumber yang berbeda tenggat kajian-kajiannya.
Data itu pertama kali disampaikan pada acara seminar di BMKG 3 April 2018 lalu. Yang disampaikan adalah pemahaman resiko bencana berupa data-data kajian masih studi awal sekali.
Tetapi perlu diingat bahwa kalau Indonesia mau menuju kesiapsiagaan bencana semuanya harus disiapkan. Jadi kalau kita mau investasi pengurangan resiko bencana tentunya kita harus punya pemahaman dulu, kita harus punya data, punya kajian.
Jadi itu bukan prediksi tsunami…
Saya perlu klarifikasi, paparan saya saat itu tak pernah berbicara prediksi bencana tsunami, tapi saya berbicara potensi. Saya juga kaget kok berita di media judulnya prediksi, padahal saya bicara potensi.
Prediksi berbeda sekali dengan potensi. Prediksi terkait dengan ukuran-ukuran termasuk waktu. Tetapi kalau potensi adalah potensial, kemampuan yang belum terjadi dan itu banyak hal.
Jadi kami berbicara mengenai potensi ancaman tsunami.
Kesalahan menulis berita isu tsunami 57 meter di Pandeglang oleh jurnalis ini jadi pelajaran. Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan agar hal serupa tidak terjadi kembali?
Sebetulnya untuk produk yang sensitif seperti ini, kami perlu duduk bersama dulu dengan semua pemangku kebijakan sebelum sampai ke masyarakat. Seperti yang dilakukan di Jepang.
Jadi kami perlu melakukan literasi dulu, mendidik wartawan. Karena wartawan nanti yang menyampaikan ke masyarakat.
Jadi dalam mendidik wartawan itu nanti ada pertanyaan. Kalau belum jangan disampaikan ke masyarakat, tetapi kalau faham dan jelas harus disampaikan, karena memang informasi harus disampaikan. Tapi bahasanya yang jelas ke masyarakat.
Ini sebetulnya juga menurut saya pekerjaan rumah bagi jurnalis, meliterasi diri sendiri terkait bencana, karena term-term yang sangat sensitif.
Seberapa pentingnya simulasi bencana ini?
Simulasi ya simulasi, tidak sesunggunya. Tetapi simulasi itu penting karena ingin mendekati yang sesungguhnya. Khusus simulasi gempa bumi dan tsunami ini pun sudah banyak model di dunia ini.
Saya menggunakan yang salah satu model dari Jepang, karena saya belajar dari sana. Saya cocok karena komputernya cepat dan datanya terpercaya.
Terkait prediksi kita lebih banyak bicara tentang waktu yang akan datang, kira-kira kapan pak prediksinya gempa bumi dan tsunami? Biasanya begitu pertanyaannya.
Sampai sekarang kapan terjadinya, kami belum tahu.
Untuk itu kesiapan mitigasi, kami harus pegang angka. Karena kalau kami buat program mitigasi, terus ditanya peta bencananya mana? Simulasi bencana yang dilakukan masyarakat itu dijadikan model, tetapi bukan berarti itu menjadi benar.
Banyak alat pendeteksi tsunami banyak yang rusak...
Ini tolong digarisbawahi, karena petanya tahun 2017 (peta 3 megatrush), pasti yang dulu belum direvisi ini. Saya sampaikan peta itu harus dievaluasi dan dibuatkan yang baru.
Terus terkait dengan tadi early warning system dan lain sebagainya, saya kira itu harus jadi catatan.
Anda berlatarbelakang Teknik Sipil Jurusan Hidrologi Universitas Gadjah Mada. Pernah bekerja di perusahaan BUMN konstruksi, tapi mengundurkan diri. Pernah kuliah di Jepang, dan sampai kini Anda mendalami 'ilmu tsunami'. Apa menariknya tsunami bagi Anda?
Dulu belajar tsunami karena panggilan jiwa saja. Saya berpikir di Indonesia banyak gempa di laut, pasti banyak tsunami. Tapi mengapa orang yang belajar hal tersebut kok masih sedikit meminimalisir tsunami dengan mengurangi ancamannya, misal dengan tanggul laut dan lain-lain. Karena akan sangat mahal.
Yang bisa dilakukan dengan mitigasi adaptif, yaitu untuk daerah-daerah yang rawan tsunami, jauhi pantai. Jika terpaksa harus dilakukan maka, sistem peringatan dini dan evakuasinya harus sangat diutamakan.
Untuk tsunami sedang di bawah 5 meter diminalisir dampaknya dengan gumuk atau tanggul pasir dan vegetasi pantai masih cukup efektif mereduksi gelombang tsunami tetapi untuk tsunami yang besar di atas harus dengan mitigasi.
Biografi singkat Widjo Kongko
Widjo Kongko berlatarbelakang Teknik Sipil Jurusan Hidrologi Universitas Gadjah Mada. Lalu dia meneruskan studi master dan menggeluti bidang tsunami di Iwate University Jepang dari 2002 sampai 2004. Lalu di tahun 2007 dia memperdalam studi gempa-tsunami di Leibniz Universitaet Hannover, Jerman, dan mendapatkan gelar doktor di 2012.
Widjo aktif mengikuti simposium, pelatihan, dan penelitian terkait tsunami. Dia juga ikut dalam ekspedisi penelitian tsunami di Aceh bersama peneliti dari Kent State University. Mereka menemukan lapisan tanah yang diduga terbentuk akibat tsunami raksasa di masa lalu. Tsunami itu diperkirakan terjadi dua kali, yaitu antara tahun 780 dan 990 serta tahun 1290-1400.
Saat ini Widjo menjadi salah satu di antara peneliti tsunami yang berkonsentrasi meneliti tsunami di selatan Pulau Jawa. Saat ini Widji menjadi Peneliti tsunami pada Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan TeknologI (BPPT).