Tetapi perlu diingat bahwa kalau Indonesia mau menuju kesiapsiagaan bencana semuanya harus disiapkan. Jadi kalau kita mau investasi pengurangan resiko bencana tentunya kita harus punya pemahaman dulu, kita harus punya data, punya kajian.
Jadi itu bukan prediksi tsunami…
Saya perlu klarifikasi, paparan saya saat itu tak pernah berbicara prediksi bencana tsunami, tapi saya berbicara potensi. Saya juga kaget kok berita di media judulnya prediksi, padahal saya bicara potensi.
Prediksi berbeda sekali dengan potensi. Prediksi terkait dengan ukuran-ukuran termasuk waktu. Tetapi kalau potensi adalah potensial, kemampuan yang belum terjadi dan itu banyak hal.
Jadi kami berbicara mengenai potensi ancaman tsunami.
Kesalahan menulis berita isu tsunami 57 meter di Pandeglang oleh jurnalis ini jadi pelajaran. Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan agar hal serupa tidak terjadi kembali?
Sebetulnya untuk produk yang sensitif seperti ini, kami perlu duduk bersama dulu dengan semua pemangku kebijakan sebelum sampai ke masyarakat. Seperti yang dilakukan di Jepang.
Jadi kami perlu melakukan literasi dulu, mendidik wartawan. Karena wartawan nanti yang menyampaikan ke masyarakat.
Jadi dalam mendidik wartawan itu nanti ada pertanyaan. Kalau belum jangan disampaikan ke masyarakat, tetapi kalau faham dan jelas harus disampaikan, karena memang informasi harus disampaikan. Tapi bahasanya yang jelas ke masyarakat.
Ini sebetulnya juga menurut saya pekerjaan rumah bagi jurnalis, meliterasi diri sendiri terkait bencana, karena term-term yang sangat sensitif.