Suara.com - Di balik predikat “pahlawan devisa”, potret kehidupan kaum perempuan Indonesia yang menjadi buruh migran di negeri asing, masih terbingkai dalam kegetiran.
Mochammad Zaini Misrin, lelaki tua berusia 53 tahun asal Madura, bukan satu-satunya warga Indonesia yang mendapat hukuman mati di negeri orang.
Setelah Misrin dipancung otoritas Arab Saudi pada 18 Maret 2018, terdapat dua buruh migran lain yang menunggu dihadapkan ke depan algojo negeri tersebut.
Kedua buruh migran itu adalah perempuan, yakni Tuty Tursilawati dan Eti binti Toyib. Kedua perempuan asal Jawa Barat itu, menunggu eksekusi mati sejak tahun 2010.
Baca Juga: Dimas Anggara Diperiksa Kasus Penganiayaan Hari Ini?
Sementara TKW Indonesia yang lebih dulu dipancung adalah Siti Zainab. Perempuan asal Bangkalan, Madura, dihukum mati karena kasus pembunuhan pada tahun 1999.
Dalam pekan yang sama, perempuan Indonesia lainnya bernama Karni binti Medi Tarsim, dipancung di dekat kota Madinah.
Kisah pahit perempuan Indonesia di negeri asing juga tak hanya berkutat pada hukuman mati.
Sumiyati contohnya. Warga Dusun Galeh, Desa Kramat, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, itu tewas dibunuh majikannya pada tahu 2010.
Sementara keluarganya di Indonesia baru mendapat kabar Sumiyati sudah tak lagi ada di dunia pada tiga bulan setelah kematiannya.
Baca Juga: DPR: KEK Mandalika Telah Jaga Kearifan Lokal
Sejumlah organisasi buruh migran melancarkan kritik terhadap pemerintah Indonesia, yang dinilai tak memunyai produk hukum mumpuni untuk melindungi mereka.
Komisi Nasional Perempuan, menjadi satu dari sekian banyak pihak yang getol melakukan kritik terhadap pemerintah mengenai perlindungan perempuan buruh migran.
Pekan lalu, Suara.com menyambangi Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, untuk mengetahui sepak terjang lembaganya guna melindungi perempuan TKI.
Berikut perbincangan lengkap Suara.com dengan Yuniyanti:
Setelah eksekusi mati terhadap Zaini Misrin, ada lebih dari 200 TKI di luar negeri yang terancam mengalami nasib serupa menurut data Migran Care. Banyak dari mereka perempuan. Bagamana Anda membaca peta masalah TKI perempuan yang terancam ini?
Menurut saya, langkah pertama yang harus dilakukan oleh negara adalah melakukan pembelaan hukum, itu yang penting. Itu sudah normatif ya. Tetapi, yang juga dilihat adalah, pola-pola hukuman matinya.
Sebenarnya, Komnas Perempuan sedang membikin kajian soal bagaimana hukuman mati dan dampaknya pada keluarga. Tujuannya, ini untuk mengampanyekan agar seluruh negara menghapus peraturan hukuman mati.
Sementara tujuan jangka pendeknya adalah, kami ingin mendorong sistem hukum di semua negara harus menimbang aspek kekerasan berbasis gender.
Anda pernah juga mendampingi TKW, apakah ada cerita salah satu nasib TKI yang pernah Anda tangani?
Aku menangani kasus Marry Jane, Merry Utami. Aku sudah 20 tahun, sejak masih bekerja di lembaga nirlaba, menangani berbagai kasus kekerasan, hukuman mati, anak kecil yang dikirimkan ke luar negeri tahu-tahu dirinya hamil, dipaksa kawin siri dengan majikannya, dan banyak lagi.
TKW juga menjadi korban penjualan manusia. Menurut Anda bagaimana penanganan korban trafficking sekarang, apakah ada perkembangannya? Kita sudah punya Undang-Undang PTPPO dan juga sudah dibentuk P2TP2A di berbagai daerah?
P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) itu dulu lahirnya juga dari Komnas Perempuan. Kami turut mengawal konsepnya. Ide utamanya adalah, kekerasan terhadap perempuan harus ditangani secara komprehensif, baik oleh polisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, ada psikolog, agar korban tidak “disepak sana sepak sini”, di lempar sana, lempar sini.
Komnas perempuan selalu berkoordinasi dengan kawan-kawan yang mendampingi korban. Tetapi kalau ditanya efektif atau tidak, di sejumlah di sejumlah wilayah efektif, ada yang cukup baik.
Di DKI Jakarta sebenarnya lumayan, tapi ada juga di wilayah yang responsnya minim.Terkadang hanya ada bangunan kantornya, anggarannya masih sangat kecil. Tapi ada juga daerah seperti di Semarang yang visum pun bisa gratis. Jadi Komnas perempuan bekerjasama dengan Jateng untuk itu, jadi tergantung wilayah, tidak bisa disamakan.
Tapi memang, P2TP2 kecendrungannya masih menangani isu-isu kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, kekerasan terhadap perempuan itu banyak. Ada kekerasan publik, ada perdagangan perempuan, kekerasan agama terhadap perempuan dan lain sebagainya.
Jumlah TKI diperkirakan mencapai 9 juta orang. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memprediksi 20 persen TKI yang dikirim ke luar negeri adalah korban perdagangan manusia. Korbannya mayoritas perempuan. Bagaimana persoalan ini bisa terjadi?
Untuk data itu saya tidak bisa mengonfirmasi, soalnya Komnas Perempuan tidak mendata itu. Masing-masing negara berbeda. Seperti di Hong Kong itu kerentanannya ada pada masalah kontrak. Setiap TKI kembali ke sana, harus membuat kontrak ulang dan dianggap TKI baru, itu kan juga menyulitkan.
Sementara di Arab Saudi sama seperti Malaysia, karena soal kebijakan moratorium yang sepihak. Jadi, masing-masing negara berbeda persoalannya. Ada perdagangan perempuan yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah.
Pemerintah belum siap sebetulnya, harus ada pemetaan masalah sehingga bisa membuat solusi. Tak hanya itu, pencegahan perdagangan perempuan dan persoalan TKi lainnya seharusnya bisa dicegah sejak di daerah asalnya masing-masing.
Apa yang bisa dilakukan untuk pencegahan? Dan apa yang bisa dilakukan sebagai pendampingan terhadap korban? Apa yang bisa dikerjakan untuk membangkitkan kesadaran perlindungan TKI, khususnya perempuan?
Pertama, yang bertanggung jawab tidak hanya perempuannya. Kaum perempuan harus memunyai kecukupan ilmu pengetahuan, itu pasti. Tapi, persoalan TKI mayoritas adalah isu kemanusiaan, sehingga harus menjadi perhatian publik, baik negara ataupun masyarakat. Tapi yang juga penting adalah, responbilitas para pelaku bisnis TKI.
Tantangan negara terhadap perdagangan perempuan sekarang apa?
Ya sebetulnya soal penegakan hukum. Kasus-kasus perdagangan peremuan harus menjadi isu bersama, agar upaya pencegahannya efektif.
Berbagai regulasi untuk melindungi perempuan dari jejaring perdagangan manusia harus dibuat, dan diimplementasikan sampai ke tingkat daerah.
Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang bagaimana, apa sudah efektif?
Indonesia sudah memunyai UU TPPO, tapi persoalannya sindikat-sindikat kasus ini sudah lintas negara. Karenanya, perlu ditekankan soal kerja sama antarnegara.
Bagaimana memutus rantai perdagangan perempuan dan kekerasan terhadap buruh migran?
Komnas Perempuan sendiri mencoba memutus rantai peragangan perempuan itu sejak sebelum pemerangkatan TKI. Kami memantau bagaimana pemenuhan hak-hak mereka sebelum berangkat, hingga pulang ke Tanah Air.
Selain itu, kami juga mengkaji dan menelusuri apa motif seseorang menjadi TKI. Awam sering menilai semua TKI berangkat ke luar negeri karena perekonomiannya miskin.
Tapi, tak sedikit pula perempuan menjadi TKI karena ditinggal pacar saat hamil, atau menjadi korban kekerasan seksual.
Orang-orang sering menyoroti berbagai aksi pemerkosaan dan kekerasan terhadap TKI perempuan di negeri asing.
Padahal, kekerasan terhadap TKW juga bisa terjadi di lingkungan keluarga sendiri. Seperti kasus seorang TKW, yang ketika pulang dan di atas ranjang, sang suami mempertanyakan “kesuciannya” selama di negeri orang.
Bahkan, ada suami yang melontarkan pertanyaan menyudutkan seperti “kamu tidur dengan siapa di sana?”
Ada kasus TKW di Malaysia. Dia korban perdagangan manusia. Dia baru bisa lolos dari sindikat itu berkat mengalami alat tes kehamilan.
Dia membubuhkan satu garis tambahan memakai lipstik agar dinyatakan hamil dan dilepaskan sindikat.
Tapi, setelah kembali ke rumah, dia justru dipermalukan sang suami di tengah jalan. Dibilang “perempuan mau-mauan” dan sebagainya. Sementara kasus TKI di Hong Kong, yang distigma teroris.
Secara umum, Komnas Perempuan menilai untuk memutus mata rantai perdagangan perempuan dan kekerasan terhadap TKW itu adalah, mendorong reformasi pelayanan di semua lembaga maupun tempat yang berkaitan dengan mereka.