Suara.com - Sejak terbentuk tahun 1999, Komisi Nasonal Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih mempunyai banyak hutang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sekarang, Komnas HAM mempunyai tantangan baru di era para generasi millenial.
Ahmad Taufan Damanik sadar dengan ‘pekerjaan rumah’ itu. Sejak terpilih menjadi Ketua Komnas HAM awal Oktober 2017 lalu, mantan Komisi Badan Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak ASEAN (ACWC) ‘tancap gas’ melanjutkan target penyelesaian kasus HAM.
Suara.com berbincang dengan jebolan University of Essex itu di ruang kerjanya di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Pekan lalu.
Berbincang santai, Taufan banyak cerita nasib pengusutan pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu Komnas HAM pun melakukan terobosan memantau pelanggaran HAM di Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 dan Pemilihan Umum 2019.
Baca Juga: Mandek di Polisi, Komnas HAM Bentuk Tim Pantau Kasus Novel
Tak hanya itu, baru-baru ini Komnas HAM membentuk Tim Pemantau kasus penyerangan Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan. Komnas HAM pun disibukan dengan program penyuluhan HAM untuk generasi muda.
Berikut wawancara lengkapnya:
Sampai kini kasus pelanggaran HAM masa lalu belum terselaikan. Terakhir masih mandek di Kejaksaan Agung. Di era kepemimpinan Anda, bagaimana terobosan penyelesaian kasus ini yang sudah menahun tak selesai?
Sebetulnya tinggal meneruskan karena masa lalu (sebelum tahun 2000), pendidikan sudah selesai. Dulu ada pelanggaran HAM berat di Aceh dan Papua dituntaskan.
Tapi ada pelanggaran HAM berat yang menjadi semacam hutang. Penyelesaiannya seperti apa? Ini harus kami cari terobosannya.
Baca Juga: Miliki Saham Mayoritas, Jokdri Punya Misi Khusus Bersama Persija
Komnas HAM dalam penyelesaian pelanggaran HAM, di satu titik harus melalui tindakan secara yudisial. Bahwa ada kendala untuk masuk ke ranah yudisial. Ranah Komnas HAM tak mungkin ke yudisial. Kami mendorong kebijakan politik dari pemerintah.
Pemerintah bisa saja mengambil langkah non yudisial yang mereka lakukan sebagai kebijakan politik. Komnas HAM tetap pada sikapnya. Kalau pemerintah menyelesaikan non yudisial, kami harus memastikan hak asasi utang dari korban terpenuhi.
Sekali lagi, kenapa kami tidak ngomong non yudisial? Jika presiden menghendaki non yudisial, Komnas HAM juga harus mengikuti keputusan politik dari presiden.
Jika yudisial, kami akan mengawal prosesnya.
Jika pemerintah belum meneruskan proses peradilan, kami tidak bisa memaksa mereka. Terserah mereka, tak ada wewenang mengikat untuk memaksa mereka. Kami berharap itu diteruskan ke proses peradilan.
Kami mengajak elemen masyarakat sipil mendorong pemerintah melakukan penyelesaian kasus.
Bagaimana latar belakang Anda, sehingga terpilih jadi Ketua Komnas HAM?
Dulu sebetulnya aktif di Non-governmental organizations (NGO), tapi lebih pada advokasi hak anak. Di samping itu saya juga membantu teman-teman di isu agraria.
Sejak tahun 2010-2016 jadi wakil Indonesia untuk hak anak di ASEAN. Setelah itu masuk Komnas HAM setelah istirahat selama setahun.
Apa yang mendorong Anda mengurusi HAM di komisi nasional ini?
Sda tantangan, mengenai isu HAM di Indonesia ini selalu naik turun.
Di tataran pemerintahan, satu sisi ada keseriusan. Contohnya diratifikasi atas konvensi HAM internasional, lalu ada beberapa undang-undang diubah lebih ramah daripada HAM.
Tapi di sisi lain, implementasinya masih sangat lemah.
Selama 6 tahun menjadi wakil Indonesia di Asean, saya sangat merasakan dalam tataran perundang-undangan bagus. Tapi dalam implementasi masih lemah.
Belum lagi kendala antara pemerintah pusat dan daerah. Jadi saya melihat ini tantangan.
Sejauhmana tantangan isu HAM di masyarakat?
Di masyarakat ada distorsi mengenai pemahaman HAM. Saya merasa kok orang Islam sendiri mendistorsi HAM, kemudian berhadap-hadapan dengan nilai agama.
Padahal dalam sebuah kesempatan saya di Prancis, seorang profesor bilang, “saya sebagai profesor HAM itu jutru melihat bahwa inspirasi HAM itu dari Piagam Madinah.”
Jadi sebenarnya HAM itu sesuai nilai-nilai ajaran Islam, juga bagaimana hukum perang melahirkan konfensi Jenewa yang mengatur hukum perang. Itu kan dari sejarah Rasulullah, di mana Rasulullah membuat aturan-aturan perang.
Misalnya tidak boleh menyerang masyarakat sipil, tidak boleh menciderai perempuan, anak, dan tidak boleh menyerang rumah ibadah.
Kalau di Eropa, aturan itu tidak dikenal. Bahkan saat perang, itu rumah ibadah dihancurkan. Tapi jaman Rasulullah justru ada ketentuan yang tegas ketika itu. Ini kan menginspirasi Konfensi Jenewa.
Tetapi barat yang belajar dari norma-norma, hukum perang umat Islam itu menginspirasi deklarasi HAM.
Islam tidak berbeda dengan prinsip HAM. Ada isu kontroversi tentang perkawinan misalnya, itu perdebatan di tingkat internasional. Semisal hak reproduksi. Reproduksi hak asasi perempuan sehingga perempuan memiliki hak aborsi, tapi di sisi lain ada yang mengatakan kalau itu diberikan maka menyalahi hak hidup.
Itu sudah perdebatan lama. Itu yang mendorong atau didorong oleh gerakan aktivis, kampus.
Kasus pelanggaran HAM juga terjadi Aceh dan Papua, sejauhmana budaya atau juga kearifan lokal mempengaruhi penyelesaian kasus itu?
Kalau kami mau jujur, dimensi agama itu sendiri. Orang Aceh agamanya kuat, yang muncul nilai positifnya. Sebelumnya mereka memakai dimensi ke-Islaman keras.
Orang jawa dianggap kafir, selain itu masih ada anak 14 tahun yang ikut GAM, ikut jihad. Sekarang, ketika mau berdamai, mereka bisa memaafkan.
Kenapa korban mengusulkan perdamaian? Itu ekspresi budaya orang Aceh.
Bahkan kelompok minoritas pun mendapat pelanggaran HAM...
Korban pelanggatran HAM dari Ahmadiyah dan Syiah menjadi fenomena. Kami tahu itu sudah lama
Hal yang sama dialami kelompok LGBT.
Ada gerakan dibangkitkan karena provokasi medsos dan lain-lain. Tanpa mereka sadari, mereka membangun sikap intoleransi.
Waktu itu teman saya benci LGBT, lalu saya suruh bikin data dari pagi sampai malam. Pertanyaannya, apa yang mengancam dengan adanya LGBT bagi hidupmu?
Dia bingung. Tak ada yang mengancam dari mereka (LGBT).
Komnas HAM membentuk Tim Pemantau Pilkada 2018 untuk mencegah diskriminasi atau juga pelanggaran HAM. Kelompok yang rentan terintimidasi di antaranya kelompok minoritas. Seperti apa dan sejauh mana tim ini sudah bekerja?
Ini masih berjalan. Fokus pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Karena masih banyak yang mendiskrimasi kelompok tertentu.
Dalam pemilu ini tidak diakomodasi dngan baik. Misal penataan TPS tidak mengandaikan ada orang disabilitas. Ini sedang berjalan.
Dengan KPU, kami sudah ingatkan. Kami juga berdiskusi dengan kepolisian. Ada juga beberapa lembaga ada MoUnya dengan Bawaslu dan KPU.
Teknisnya sedang disusun. Tapi Komnas HAM punya keterbatasan. Stafnya sedikit, jadi tidak mungkin bikin di semua tempat. Kami memanfaatkan jaringan dan media.
Di era masa kini, di mana banyaknya kelompok milenial atau generasi baru. Bagaimana Anda menjelaskan isu HAM ke pada mereka? Sebab HAM masih jadi isu elitis untuk kelas menengah ke bawah.
Hari HAM internasional 10 Desember 2917, saya lihat antusiasme tinggi. Kami membuat acara musik. Di alun-alun mereka ikut kegiatan kami untuk menyuarakan HAM. Saya pidato pertama, sudah mikir bakal ditinggal, ternyata mereka mengapresiasi.
Antusiasme anak muda tinggi dibanding generasi kami. Generasi kami dibangun suatu keadaan feodal dan otoriter, sekarang anak muda lebih ekspresif dengan artikulasi yang lebih rileks.
Ini mencerminkan kebebasan individu. Saya berharap pada anak yang harus disadari hidup di generasi yang berbeda dengan dulu. Sekarang lebih bebas, lebih otonom menentukan sikap.
Semua beda, tapi sensitivitas tentang HAM tetap tinggi. Misal seperti ketika baca komentar tentang LBGT, anak saya bilang “ngapain tuh orang, rese banget sih.”
Kasus Novel Baswedan juga menjadi perhatian Komnas HAM. Sejauhmana apa Komnas HAM berperan?
Dulu kami berharap ada penyelesaian, ternyaa tidak ada. Istri Novel pernah datang ke Komnas HAM. Dia datang dengan kerabat dan pengacara dan meminta Komnas HAM membuat tim.
Di luar itu sudah banyak yang ke sini. Bikin tim mengingatkan ada jalan keluar tentang Novel. Akhirnya kami membuat tim. Dulu sudah ada, tapi masalah nggak selesai. Maka bikin lagi.
Kami undang tokoh masyarakat yang dianggap kredibel mewakili organ-organ.
Pembentukan tim ini sebenarnya ingin memberikan sinyal kepada kepolisian dan pemerintah, bahwa ada pejuang HAM seperti Novel, yang lain juga masih banyak. Jangan sampai orang ini padam hanya gara-gara ada kelompok yang menakuti dengan tindakan kekerasan.
Baru-baru ini ada larangan mengenakan cadar di UIN Yogyakarta. Alasannya agar menghindari terorisme. Kepala BNPT lama, Ansyaad Mbai pernah menilai HAM memang sebagai salah satu pehalang untuk pemberantasan terorisme. Bagaimana penjelasan Anda soal itu?
Universitas di manapun bikin peraturan. Tetapi apapun peraturan itu, kami tak boleh mengabaikan kemerdekaan setiap orang. Boleh ada sekelompok ulama bilang cadar bukan ajaran Islam. Itu memang budaya.
Tapi apakah masuk akal kalau ada satu kantor yang melarang itu? Itu kan aneh. Jadi, argumen untuk melarang itu nggak masuk akal, apalagi kalau dikaitkan dengan terorisme.
Terorisme dan radikalisme nggak pakai simbol-simbol itu. Tiba-tiba saja meledak.
Kami sebetulnya mempertanyakan apa dasarnya? Alasan pembinaan? Kalau kami menganggap bukan Islam, ya silahkan aja. Kecuali punya alasan tertentu, momen tertentu dilarang, silahkan. Tapi dengan alasan yang masuk akal misalnya mengganggu secara teknis.
Jadi, kalau buat aturan dengan mengajak mahasiswa berdiskusi.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga dianggap belum melakukan apapun untuk penyelesaian HAM masa lalu. Apa masukan Anda untuk presiden?
Saya bertemu di acara Hari HAM, Papua harus mendapat priotitas utama, karena ada juga kampanye internasional soal itu. Kalau tidak disikapi, akan membuat keadaan makin memburuk.
Selain itu hak-hak ekonomi sosial budaya juga harus mendapat perhatian.
Biografi singkat Ahmad Taufan Damanik
Ahmad Taufan Damanik merupakan seorang dosen politik di Fakultas ISIP Dasarnya, lelaki kelahiran Pematang Siantar, 29 Juni 1965 ini adalah aktifis Hak Anak. Dia pernah menjadi wakil Indonesia menjadi komisioner di Komisi Badan Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak ASEAN (ACWC).
ASEAN Commision on The Right of Women and Children merupakan perangkat baru ASEAN di bidang isu hak asasi perempuan dan anak. Komisi ini memberikan batasan anggota yaitu setiap negara berhak mengirimkan dua wakilnya. Anggota komisi ini juga akan merupakan wakil ASEAN di PBB.
Taufan Damanik juga aktif sebagai ketua KKSP Medan, ketua Presidium Koalisi Nasional NGO Pemantau Anak yang sekarang sedang meyiapkan Laporan Komprehensif tentang Pelaksanaan Hak Anak di Indonesia, anggota IFM-SEI, satu organisasi pendidikan anak yang bermarkas di Brussel Belgia.
Dia pernah mendapatkan penghargaan Examplary Humanitarian, Human Rights and Peace Building During Aceh in Conflict and Situation, dalam rangka The 10th Anniversary of Peach in Aceh dari Aceh Peace Forum, Tahun 2015.