Komnas HAM membentuk Tim Pemantau Pilkada 2018 untuk mencegah diskriminasi atau juga pelanggaran HAM. Kelompok yang rentan terintimidasi di antaranya kelompok minoritas. Seperti apa dan sejauh mana tim ini sudah bekerja?
Ini masih berjalan. Fokus pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Karena masih banyak yang mendiskrimasi kelompok tertentu.
Dalam pemilu ini tidak diakomodasi dngan baik. Misal penataan TPS tidak mengandaikan ada orang disabilitas. Ini sedang berjalan.
Dengan KPU, kami sudah ingatkan. Kami juga berdiskusi dengan kepolisian. Ada juga beberapa lembaga ada MoUnya dengan Bawaslu dan KPU.
Baca Juga: Mandek di Polisi, Komnas HAM Bentuk Tim Pantau Kasus Novel
Teknisnya sedang disusun. Tapi Komnas HAM punya keterbatasan. Stafnya sedikit, jadi tidak mungkin bikin di semua tempat. Kami memanfaatkan jaringan dan media.
Di era masa kini, di mana banyaknya kelompok milenial atau generasi baru. Bagaimana Anda menjelaskan isu HAM ke pada mereka? Sebab HAM masih jadi isu elitis untuk kelas menengah ke bawah.
Hari HAM internasional 10 Desember 2917, saya lihat antusiasme tinggi. Kami membuat acara musik. Di alun-alun mereka ikut kegiatan kami untuk menyuarakan HAM. Saya pidato pertama, sudah mikir bakal ditinggal, ternyata mereka mengapresiasi.
Antusiasme anak muda tinggi dibanding generasi kami. Generasi kami dibangun suatu keadaan feodal dan otoriter, sekarang anak muda lebih ekspresif dengan artikulasi yang lebih rileks.
Ini mencerminkan kebebasan individu. Saya berharap pada anak yang harus disadari hidup di generasi yang berbeda dengan dulu. Sekarang lebih bebas, lebih otonom menentukan sikap.
Baca Juga: Miliki Saham Mayoritas, Jokdri Punya Misi Khusus Bersama Persija
Semua beda, tapi sensitivitas tentang HAM tetap tinggi. Misal seperti ketika baca komentar tentang LBGT, anak saya bilang “ngapain tuh orang, rese banget sih.”
Kasus Novel Baswedan juga menjadi perhatian Komnas HAM. Sejauhmana apa Komnas HAM berperan?
Dulu kami berharap ada penyelesaian, ternyaa tidak ada. Istri Novel pernah datang ke Komnas HAM. Dia datang dengan kerabat dan pengacara dan meminta Komnas HAM membuat tim.
Di luar itu sudah banyak yang ke sini. Bikin tim mengingatkan ada jalan keluar tentang Novel. Akhirnya kami membuat tim. Dulu sudah ada, tapi masalah nggak selesai. Maka bikin lagi.
Kami undang tokoh masyarakat yang dianggap kredibel mewakili organ-organ.
Pembentukan tim ini sebenarnya ingin memberikan sinyal kepada kepolisian dan pemerintah, bahwa ada pejuang HAM seperti Novel, yang lain juga masih banyak. Jangan sampai orang ini padam hanya gara-gara ada kelompok yang menakuti dengan tindakan kekerasan.
Baru-baru ini ada larangan mengenakan cadar di UIN Yogyakarta. Alasannya agar menghindari terorisme. Kepala BNPT lama, Ansyaad Mbai pernah menilai HAM memang sebagai salah satu pehalang untuk pemberantasan terorisme. Bagaimana penjelasan Anda soal itu?
Universitas di manapun bikin peraturan. Tetapi apapun peraturan itu, kami tak boleh mengabaikan kemerdekaan setiap orang. Boleh ada sekelompok ulama bilang cadar bukan ajaran Islam. Itu memang budaya.
Tapi apakah masuk akal kalau ada satu kantor yang melarang itu? Itu kan aneh. Jadi, argumen untuk melarang itu nggak masuk akal, apalagi kalau dikaitkan dengan terorisme.
Terorisme dan radikalisme nggak pakai simbol-simbol itu. Tiba-tiba saja meledak.
Kami sebetulnya mempertanyakan apa dasarnya? Alasan pembinaan? Kalau kami menganggap bukan Islam, ya silahkan aja. Kecuali punya alasan tertentu, momen tertentu dilarang, silahkan. Tapi dengan alasan yang masuk akal misalnya mengganggu secara teknis.
Jadi, kalau buat aturan dengan mengajak mahasiswa berdiskusi.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga dianggap belum melakukan apapun untuk penyelesaian HAM masa lalu. Apa masukan Anda untuk presiden?
Saya bertemu di acara Hari HAM, Papua harus mendapat priotitas utama, karena ada juga kampanye internasional soal itu. Kalau tidak disikapi, akan membuat keadaan makin memburuk.
Selain itu hak-hak ekonomi sosial budaya juga harus mendapat perhatian.
Biografi singkat Ahmad Taufan Damanik
Ahmad Taufan Damanik merupakan seorang dosen politik di Fakultas ISIP Dasarnya, lelaki kelahiran Pematang Siantar, 29 Juni 1965 ini adalah aktifis Hak Anak. Dia pernah menjadi wakil Indonesia menjadi komisioner di Komisi Badan Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak ASEAN (ACWC).
ASEAN Commision on The Right of Women and Children merupakan perangkat baru ASEAN di bidang isu hak asasi perempuan dan anak. Komisi ini memberikan batasan anggota yaitu setiap negara berhak mengirimkan dua wakilnya. Anggota komisi ini juga akan merupakan wakil ASEAN di PBB.
Taufan Damanik juga aktif sebagai ketua KKSP Medan, ketua Presidium Koalisi Nasional NGO Pemantau Anak yang sekarang sedang meyiapkan Laporan Komprehensif tentang Pelaksanaan Hak Anak di Indonesia, anggota IFM-SEI, satu organisasi pendidikan anak yang bermarkas di Brussel Belgia.
Dia pernah mendapatkan penghargaan Examplary Humanitarian, Human Rights and Peace Building During Aceh in Conflict and Situation, dalam rangka The 10th Anniversary of Peach in Aceh dari Aceh Peace Forum, Tahun 2015.