Mereka harus didukung dan memberikan ruang lebih banyak. Sebab kita tahu narasi keras ini di-backup oleh ideologi yang keras. Kita sulit menghancurkannya, karena mereka tanpa dibayar pun akan melakukan itu sebagai sebuah perang untuk dirinya. Apalagi di-backup dengan dana yang kuat.
Maka dari itu, proses-proses untuk mengembangkan narasi-narasi perdamaian, integrasi sosial, harus mengalami proses ideologisasi untuk menjadi sebuah gerakan. Kita berperang, kita bukan defense, harus ada target yang jelas. Jadi motivasi ini bukan sekadar defensif tapi ofensif.
Kita tahu bahwa cukup banyak pengusaha yang direkrut oleh kelompok-kelompok keras. Gerakan-gerakan itu termasuk untuk mengkapitalisasi media.
Mari kita ajak juga pengusaha-pengusaha dan kita harus bilang, 'Kalau situasi ini hancur maka bisnis kalian juga akan rusak.’
Kalian bertanggung jawab juga lewat apa yang ada pada kalian untuk men-support gerakan teman-teman muda dan militan untuk bekerja menyeimbangkan narasi dan wacana-wacana keras dengan narasi perdamaian dan lain-lain.
Berarti jadi ini akan dilakukan jangka panjang...
Ini persoalan jangka panjang. Untuk jangka pendek, transparansi, kepastian hukum, dan lain-lain, itu harus dilakukan sambil merajut jejaring sosial yang ada untuk menjalin kekuatan.
Anda dinilai berhasil menggagas sebuah gerakan bernama ‘Live In’. Gerakan itu mengurangi ketegangan SARA di masa konflik Poso dan Ambon. Bisa Anda ceritakan, seperti apa gerakan itu?
Kami pertemukan antara anak-anak SD dari muslim dan agama lain. Mereka berkumpul, setelah Magrib, kita break. Yang muslim salat, dilihat oleh yang agama lain.
Setelah selesai, yang melihat salat pada tepuk tangan. Lho, kenapa tepuk tangan? Mereka ini baru melihat hal baru yang tidak bisa dilihat di komunitasnya. Dan itu menyenangkan bagi mereka, namun sesungguhnya membuat miris.