Jadi saat ini kelompok toleran bukan lagi bertahan dari serangan intoleransi, tapi melawan. Bagaimana teknisnya?
Pada semua segmen kita harus memakai cara yang dikelola oleh setiap segmen masyarakat. Tokoh-tokoh agama misalnya, kita tahu mereka akan memakai mimbar, memakai ceramah, memberikan pengajaran dan lain-lain.
Itu kita dorong mereka untuk lebih turun ke bawah, ke tengah ruang publik, dan bisa mengkapitalisasi apa yang ada pada mereka sebagai kekuatan terkait dengan hal itu. Tetapi untuk teman-teman muda yang sangat paham mengelola media sosial, bagaimana mereka bergerak untuk mengelola isu dan tantangan bersama, termasuk masa depan bangsa ini.
Itu proses untuk menggerakkan teman-teman muda untuk bekerja dengan media, baik media online atau media alternatif lainnya. Bukan hanya media online, tapi juga media offline. Semisal lewat musik, sastra, dan lain-lain. Sehingga membuat orang terhubung satu sama lain dan melakukan selebrasi atas itu, kemudian itu harus dipublikasi secara luas.
Kita harus bisa membanjiri ruang publik dengan narasi seperti itu untuk mengirim pesan bahwa modal sosial kita masih cukup kuat untuk melakukan itu. Harus dirumuskan ulang dan dikerjakan bersama-sama di berbagai segmen masyarakat.
Anda akan menggunakan cara yang dulu, Bung, seperti untuk perdamaian di Ambon dan Poso?
Iya, saya mengemukakan itu sebagai salah satu alternatif.
Banyak teman di daerah-daerah telah melakukan berbagai hal, tapi ini epicentrum pemberitaan dari mainstream media ada di Jakarta dan sekitarnya. Jadi dengan adanya media-media sosial, kita punya media untuk menawarkan narasi-narasi pinggiran.
Kita ajak teman-teman muda bergerak dalam satu barisan dan melakukan selebrasi terhadap keragaman, tentang integrasi sosial, budaya, dan lainnya. Secara tidak langsung kita melawan produksi narasi-narasi yang kita tahu cukup meresahkan belakangan ini.
Bagaimana membumikan agar pesan-pesan yang selama ini dikelola oleh teman-teman yang toleran agar tidak dianggap sebagai gerakan yang elitis?