Sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Hubungan antar Agama, apakah Anda menganalisa, sebenarnya kelompok-kelompok mana saja yang membuat kegaduhan itu?
Kami baru selesai musyawarah besar pemuka agama seluruh Indonesia. Ada 450 orang yang hadir. Kami merumuskan sikap bersama terhadap isu-isu kebangsaan dan mengeluarkan statement bersama, termasuk enam poin etika kerukunan.
Dalam skala yang lebih luas, sebenarnya pertarungan-pertarungan narasi keras dan narasi damai sedang terjadi. Sayangnya narasi keras ini mendapat tempat yang jauh lebih seksi untuk dipublikasikan di media mainstream atau di media sosial.
Indonesia punya banyak modal sosial terkait kerukunan yang tidak ‘dikapitalisasi’ menjadi narasi-narasi penyeimbang terhadap apa yang sedang terjadi saat ini.
Kami sedang melakukan pertemuan yang intensif untuk membicarakan, bagaimana kami bisa mengelola dan memproduksi narasi-narasi sejuk dan narasi-narasi perdamaian berdasarkan fakta sosial di sekeliling sebagai bentuk peperangan terhadap narasi-narasi keras.
Karena apa yang terjadi terhadap pengelolaan narasi-narasi keras ini sudah dalam bentuk cyberwar sangat intensif, sangat masif dikelola dan saya yakin ini dikelola dengan cara yang terstruktur dengan kekuatan dana yang besar.
Kasus Saracen, salah satu kasus yang mengemuka dan kita tahu persis saat itu. Sayangnya memang teman-teman yang bergerak dalam upaya perdamaian, integrasi sosial, teman-teman yang progresif untuk mengelola narasi-narasi sejuk ini hanya sebagai defense strategy. Mereka hanya mempertahankan diri.
Kami memutuskan supaya lebih masif, itu dikelola secara lebih terstruktur. Kita gerakkan teman-teman muda dan lain-lain.
Saya tekankan kepada teman-teman bahwa apa pun upaya yang kita lakukan selalu ada counter produktif. Itu sesuatu hal yang harus dilihat dengan biasa saja.
Tidak dengan mengadakan pertemuan besar yang dihadiri oleh para pemuka agama, lalu kita bilang bahwa peristiwa seperti di Jogja kemarin bisa selesai.