Suara.com - Awal Februari 2018 lalu, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) mengumpulkan ratusan tokoh dari berbagai agama di Jakarta. Mereka merumuskan strategi meredam isu kebencian antar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Ada 7 bahasan dalam pertemuan itu. Salah satunya soal kerukunan umat beragama di tahun politik.
Penggunaan isu SARA rentan di tahun politik. Hal itu juga yang menjadi kekhawatiran Presiden Joko Widodo hingga menunjuk Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban.
Salah satu Asisten Utusan Khusus Presiden itu adalah Jacky Manuputty. Namanya tak asing lagi di kalangan pegiat anti-intoleransi dan HAM. Dia salah satu orang paling berpengaruh dalam proses perdamaian di konflik Maluku.
Suara.com berbincang dengan Jacky belum lama ini tentang gerakan untuk meredam perpecahan antarumat beragama yang belakangan rentan terjadi.
Media sosial, disebut Jacky sebagai sarana menyebarkan kebencian antaragama itu. Termasuk ketika belum lama ini terjadi penyerangan tokoh agama di Gereja Santa Lidwina, Jambon Trihanggo, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta.
Selama ini, kelompok anti-intoleransi hanya melakukan peredaman pengembangan isu kebencian agar konflik tidak terjadi. Namun menurut penerima anugerah internasional Tanembaum Peacemaker in Action Award tahun 2012 itu, harus ada usaha aktif dalam melawan seruan kebencian di media sosial atau pun ruang publik.
Jacky sudah mencoba sebuah gerakan konkrit menumbuhkan jiwa toleransi di kalangan generasi muda pascakonflik berdarah di Ambon, Maluku. Dia mempunyai program "Live In" yang menghilangkan rasa curiga antar kelompok yang berbeda keyakinan.
Di era saat ini, Jacky pun mempunyai strategi membuat generasi milenial menjadi agen toleransi. Apa saja?
Berikut wawancara lengkap Suara.com dengan Jacky: