Suara.com - Tahun 2007 menjadi tahun bersejarah bagi Indonesia dan Gogi Nebulana. Untuk pertama kalinya, atlet Indonesia menjuarai turnamen wushu dunia di World Wushu Championship 2007 di Beijing, Cina dengan menyabet medali emas.
Di tahun 2008, dia menjadi orang terhebat nomor 4 dunia untuk bela diri wushu.
Bukan hal mudah untuk dapat emas karena tidak banyak orang yang menggeluti bela diri wushu saat itu. Wushu baru populer di Indonesia, dan belum ada pelatih tetap untuk lelaki kelahiran Tembagapura, Papua itu.
Sepanjang kariernya sebagai atlet Wushu DKI Jakarta, Gogi termasuk atlet produktif mendapatkan emas. Mulai dari turnamen kelas lokal, nasional dan internasional.
Sejak kecil dia dilatih wushu oleh orangtuanya. Di usia 29 tahun, dia berhenti menjadi atlet wushu. Termasuk istimewa, lelaki berbadan kurus itu mendirikan perguruan dan mengabdikan hidupnya untuk olahraga asli Cina itu di Bogor, Jawa Barat.
Gogi Nebulana (suara.com/Dendi Afriyan)
Di momentum Tahun Baru Cina atau Imlek pekan ini, suara.com mengangkat sosok inspiratif dan berprestasi, Gogi Nebulana. Dia juga dikenal sebagai ‘mesin’ pencetak atlet wushu yang mendulang medali di ajang nasional dan internasional. Salah satu muridnya, Edgar Xavier Marvelo yang merupakan juara dunia junior.
Suara.com menemui Gogi di Harmoni Wushu Indonesia di kawasan Pajajaran, Bogor. Di sana Gogi melatih murid-muridnya yang sampai kini berjumlah ratusan orang.
Gogi banyak cerita tentang eksistensi wushu di Indonesia, mulai dari pertama kali masuk, populer dan menjadi olahraga yang dikenal luas. Termasuk, ‘intrik politik’ di dalamnya.
Namun yang paling penting dari cerita Gogi, sejauhmana wushu mengajarkan toleransi melalui gerakan-gerakan dan filosofi. Dia ingin wushu tak lagi sebatas dicap sebagai olahraga asal Cina, tapi bela diri yang menyatu dengan Indonesia.
Berikut perbincangan lengkapnya:
Wushu, sama seperti pencak silat atau pun karate. Bela diri lokal yang mencari tempat di dunia. Khusus di Indonesia, bagaimana awal sejarah masuknya wushu di Indonesia hingga kemudian popular?
Wushu populer di Indonesia dimulai tahun 1992. Sebelum itu wushu disebut sebagai kungfu. Sebelum 1992, kungfu populer di Indonesia lewat film-film yang dibintangi Bruce Lee. Saat itu olahraga asal Tiongkok sudah mendunia, bahkan film Hollywood sudah menggunakan koreografer kungfu untuk mendukung adegan berkelahi.
Anda tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menyabet medali emas di ajang pertandingan wushu Internasional. Ini menarik, bagaimana awal Anda belajar wushu sampai menjadi juara dunia?
Saya belajar wushu sejak usia 6 tahun dengan belajar wushu tradisional, bukan untuk pertandingan, tapi menggerakkan jurus-jurus dan memainkan alat-alat bela diri. Lalu di usia 13 tahun pindah ke Bogor dari Tembagapura, Papua.
Suatu ketika, di antara tahun 1993-1994, cucu dari Kho Ping Hoo (Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, penulis cerita silat berlatar Cina di Indonesia) menghubungi ayah saya. Dia mengatakan wushu sudah populer dan digemari di Indonesia. Saat itu Cina membangun hubungan dengan Indonesia untuk olahraga wishu, bahkan sudah menerjunkan pelatih wushu langsung dari Cina.
Ayah saya pun punya kemampuan wushu tradisional. Akhirnya dia menerjunkan anak-anaknya untuk menggeluti wushu, termasuk kakak saya.
Setelah itu saya mulai latihan di Jakarta dan mengikuti pertandingan daerah dan nasional.
Bisa Anda cerita saat Anda bertanding di Beijing, Cina?
Itu sebuah kebetulan saja.
Saya selalu mendapatkan emas di tingkat nasional di nomor pedang, tapi tidak pernah dikirim ke ajang internasional. Saya ikut setiap kejuaraan mewakili DKI Jakarta, saat itu memang sangat berebut untuk atlet dikirim ke Internasional.
Di sisi lain saya tidak membawa perguruan mana pun, hanya membawa nama diri saja. jadi ini soal politik saja.
Saya pun langsung ke Gubernur Fauzi Bowo untuk mengatakan ingin ke ajang internasional di International Wushu Federation. Saya menilai, saya berhak untuk dikirim ke Internasional, karena itu hak saya. Akhirnya saya diberangkatkan dengan dana bantuan.
Di sana saya ikut di cabang taolu, yaitu pertandingan gerakan dan jurus, tidak berkelahi.
Saya pun menang, dan saya tak percaya. Saya mengira jurinya salah menilai, karena ini baru pertama kali ikut. Pertandingan itu ketat diikuti 88 negara. Lawan saya ada dari Hong Kong, Makau dan Malaysia.
Setelah itu tahun 2008 saya ikut olimpiade, dan mendapat peringkat 4 dunia.
Tapi setelah itu, saya tidak lagi bisa bertanding di nasional mau pun internasional karena pembatasan usia atlet wushu tak boleh lebih dari 29 tahun. Padahal setelah olimpiade, tengah persiapan ikut juara dunia di Kanada.
Gerakan apa yang menjadi andalan Anda saat di juara dunia 2007?
Gerakan saya original dan tradisional, dan banyak memadukan gerakan lain. Gerakan itu belajar sendiri dengan menonton di Youtube. Mungkin itu dinilai unik.
Sejak kapan Anda mulai serius berlatih wushu untuk olahraga profesional?
Di usia 13 tahun mulai bertanding untuk kejuaraan, tapi selalu kalah. Di Usia 17 tahun mulai serius dan merasa harus mendalami wushu. Sepuluh tahun kemudian, di usia 27 tahun saya mendapatkan juara dunia wushu.
Itu pertama kali Indonesia diakui oleh internasional karena mendapatkan medali emas.
Setelah itu wushu di Eropa mengundang untuk berbagi tips dan trik untuk memenangkan kompetisi internasional. Saya juga orang Indonesia pertama yang dipanggil ke Eropa untuk mengajar wushu.
Selain dorongan keluarga, apa yang membuat Anda sampai kini menekuni olahraga wushu?
Saya semangat karena ingin mengenalkan wushu di Indonesia. Mulai dari terdorong dengan film sampai semakin banyak orang asing yang menekuni wushu. Saya ingin kasih tahu, orang Indonesia yang bermain wushu tidak kalah dengan orang Hong Kong atau juga Singapura.
Sejak usia 17 tahun, atau selama 10 tahun Anda berlatih menuju juara dunia, bagaimana prosesnya?
Orang yang paling berpengaruh selama itu adalah ayah saya, dia mendalami wushu tradisional. Saya banyak mempunyai pelatih di luar Jakarta, bahkan dari Cina. Meski tidak menjadi pelatih secara langsung.
Sebagai atlet asal Jakarta saat itu, saya berlatih di Program Pemusatan Latihan Daerah (Pelatda) DKI Jakarta sejak usia 13 tahun sampai 28 tahun.
Berapa atlet wushu latihan bersama Anda?
Banyak, tidak lebih dari 100 orang. Tapi sejak usia 13 tahun sampai 28 tahun banyak yang keluar. Sampai saya tidak lagi bertanding atau berhenti jadi atlet, mungkin hanya 25 orang yang menekuni wushu.
Sampai kini, berapa jumlah guru yang pernah melatih Anda wushu?
Jumlahnya banyak. Tapi tidak ada guru yang melatih saya secara serius dan dengan waktu lama. Di antaranya datang dari Cina dan melatih selama 2 bulan. Tahun tahun 1993, pelatih pertama saya seorang perempuan berusia 50 tahun dari Cina. Saya dilatih 3 bulan sebanyak 3 kali sepekan.
Jadi rata-rata saya latihan dengan berbagai pelatih hanya 2 sampai 3 bulan. Sejak di Pelatda, saya banyak latihan sendiri.
Apakah kondisi seperti itu masih terjadi saat ini?
Sebenarnya tidak. Tapi di masa saya, wushu di awal-awal berkembang. Bahkan saya menganggap, hanya ‘atlet gila’ yang ingin menghabiskan waktu untuk wushu saja. Kalau saat ini, pelatih wushu melatih sampai 10 tahun.
Selain itu, sejak awal mendalami wushu, saya tidak masuk perguruan mana pun, belajar sendiri saja.
Gogi Nebulana (suara.com/Dendi Afriyan)
Mengapa Anda menyebut hanya ‘atlet gila’ yang menekuni wushu?
Maksudnya, tidak banyak orang yang betul-betul menekuni itu. Seseorag mendalami wushu saat jadi atlet, setelah itu mungkin mencari profesi lain yang lebih menjanjikan dari sisi ekonomi.
Berapa orang yang seperti Anda di Indonesia?
Sekarang makin banyak. Terutama angkatan-angkatan saya. Mungkin sekitar 10 orang yang mendirikan perguruan sendiri dan mengembangkan perguruan wushu sendiri.
Saat ini Anda mendirikan perguruan Wushu. Apa yang membedakan perguruan ini dengan perguruan lain?
Ini sih bukan perguruan, masih terlalu malu kalau Harmoni Wushu Indonesia disebut sebagai perguruan. Saya hanya mengajar les anak-anak yang berlatih wushu saja. Menurut saya, untuk menghasilkan atlet wushu yang baik, harus dipupuk sejak kecil. Tidak bisa sekali jadi dan singkat melatihnya.
Saya memilih menjadi bagian dari orang yang berinvestasi atlet wushu dari usia dini.
Wushu yang saya ajarkan lebih bertujuan memberi ketenangan jiwa, bukan untuk berkelahi.
Meski begitu ada juga murid-murid yang diajarkan untuk bertarung. Kami ajarkan tendangan, pukulan, senjata sampai sabetan.
Tapi kebanyakan yang saya ajarkan adalah anak-anak.
Berapa jumlah murid Anda?
Tidak terlalu banyak. Di Bogor ada 200 orang, begitu juga di Jakarta. Di Pontianak, mungin ada 100-an orang.
Di antara sekian banyak murid Anda, berapa yang ikut pertandingan dan juara?
Tidak banyak juga. Tapi untuk ukuran Wushu, memang terbilang banyak. Edgar Xavier Marvelo (juara SEA Games dan juara dunia senior junior), Erwein Wijayanto (juara dunia senior junior), Kelvin Young (juara dunia junior), Jason Keitaro (juara dunia junior), M. Anandito (juara asia junior), Zoura Nebulani (juara dunia junior), M. Abdul Harist (juara Asia senior), Andrie Mulianto (juara SEA Games), dan Shenna Michele (juara Asia)
Masih banyak lagi. Saya lupa.
Mereka ikut di pertandingan yang diadakan Internasional Wushu Federation.
Wushu dikenal sebagai olahraga dari Cina. Apakah Anda juga mengajarkan warga lokal non keturunan?
Saya tidak memandang pribumi dan non pribumi. Olahraga itu universal, bukan berdasar genetik.
Waktu kecil, saya tidak tahu jika saya keturunan Tionghoa, karena orangtua saya tidak memberi tahu itu. Saya besar di Papua. Di papua, orang yang berkulit putih antara dari Manado atau Batak. Saya pun tidak pernah merayakan imlek.
Begitu ke Bogor, teman-teman bertanya di sekolah tanya, “kamu cina atau Indonesia?”
Saya jawab, Indonesia. Tapi secara pergaulan, saya dibedakan karena mata saya belo dan kulit tidak begitu putih. Lalu orangtua saya bilang, jika di Jawa memang orang membeda-bedakan.
Tapi saya dilarang untuk merasa sebagai Tionghoa, karena memang saya lahir di Indonesia. Tapi emang saya ada keturunan Cina.
Begitu juga saat melatih, calon murid bertanya apakah gurunya orang Tionghoa atau Indonesia. Saya bilang, “yah orang Indonesia.”
Saya mengatakan ke murid-murid untuk tidak memandang SARA dan identitas.
Gogi Nebulana (suara.com/Dendi Afriyan)
Apakah dalam mendirikan perguruan ini Anda pernah mendapatkan diskriminasi dari sisi kebijakan pemerintah?
Tidak ada. Sampai sekarang didukung.
Indonesia mempertandingkan wushu di ASIAN Games 2018. Bagaimana kans Indonesia bisa menang?
Di ASIAN Games, olahraga Wushu sangat sulit dimenangkan.
Sangat sulit atlet wushu Indonesia bisa bersaing di ASIAN Games. Tapi beberapa kali Indonesia berhasil, meski belum emas. Di SEA Games wushu sudah menunjukkan gigi.
Yang perlu dipersiapkan, back up atlet di bawah generasi saat ini. Dan membangun sistem perekrutan dan pelatihan atlet.
Gogi Nebulana (suara.com/Dendi Afriyan)
Mengatapa Anda berpendapat Indonesia sulit memengkan wushu di Asian Games?
Asia itu negara raksasa untuk wushu. Secara postur tubuh orang Asia paling cocok menggeluti wushu. Terlebih Jepang, Cina dan Korea, negara itu sangat punya atlet yang memadai.
Tapi saya yakin, orang Indonesia bisa bertempur.
Apakah murid Anda ada yang ikut di Asian Games?
Ada satu orang. Dia masih muda. Edgar Xavier Marvelo, usianya 19 tahun. Dia di cabang Changquan untuk golok dan toya. Di SEA Games kamarin dia dapat perunggu.
Di Asia, bagaimana peta persaingan atlet wushu?
Negara Cina, Korea dan Jepang masih memimpin. Bahkan Malaysia, Vietnam dan Singapura juga harus diwaspadai. Sementara di Kejuaraan Dunia Wushu Indonesia ada di peringkat kedua. Tahun kemarin di Rusia, Indonesia mendapatkan emas.
Biografi singkat Gogi Nebulana
Gogi lahir 2 Desember 1980 di Tembagapura Papua. Dia adalah atlet wushu Indonesia pertama yang mendapatkan medali emas di World Wushu Championship Beijing 2007 ke-9. Sekarang dia sudah tak lagi jadi atlet, tapi melatih wushu di perguruan miliknya, Harmoni Wushu Indonesia di Bogor. Sejumlah muridnya menjadi juara di kompetisi wushu nasional dan internasional.
Sarjana desain Universitas Binus itu pernah bekerja di industri kreatif sebagai pembuat kartun. Namun dia berhenti bekerja dan mengurus perguruan wushunya dengan serius. Uniknya, Harmoni Wushu Indonesia yang dia kelola mengajarkan nilai-nilai toleransi ke setiap murid yang berlatih. Salah satunya tidak membedakan suku, ras, agama, dan golongan kepada setiap yang berlatih.
Berikut deretan medali yang didapat selama Gogi menjadi atlet:
4th Rank OLYMPIC WUSHU TURNAMENT in combined Sword & Spear, Beijing 2008
GOLD NATIONAL in combined Sword & Spear, Balikpapan 2008
BRONZE ASIAN WUSHU CHAMPIONSHIP in Sword, Macau 2008
GOLD WORLD WUSHU CHAMPIONSHIP in Sword, Beijing 2007
GOLD NATIONAL in Sword Medan 2007
GOLD NATIONAL in Sword & BRONZE in Chang Quan Medan 2007
GOLD NATIONAL in Sword, Surabaya 2006
GOLD NATIONAL in Spear, Surabaya 2006
GOLD NATIONAL in Sword, Medan 2005
GOLD PROVINCE in Sword, Jakarta 2005
GOLD PROVINCE in ChangQuan & SILVER in Spear, Jakarta 2005
GOLD NATIONAL in Sword, SILVER in Spear, Palembang 2004
GOLD NATIONAL in Sword, Medan 2003
GOLD NATIONAL in Spear, Medan 2003
GOLD NATIONAL in Sword, Semarang 2002
GOLD NATIONAL in Spear, Semarang 2002
GOLD NATIONAL in Chang Quan, Semarang 2002
6th RANK SOUTH EAST ASIAN GAMES Kuala Lumpur 2001
GOLD NATIONAL SELECTION in Sword, Yogyakarta 2001
SILVER NATIONAL in Sword & Chang Quan Surabaya 2000
GOLD NATIONAL in Chang Quan, SILVER in Sword, Jakarta 1999
SILVER NATIONAL in Chang Quan, BRONZE in Sword, Jakarta 1998
BRONZE NATIONAL JUNIOR in Chang Quan, Surabaya 1995
BRONZE PROVINCE in Chang Quan, Jakarta 1994