Survei yang dilakukan Wahid Institute dan UN Woman belum lama ini menyebutkan perempuan muslim berperan dalam membangun nilai toleransi dan perdamaian. Sehingga bisa menjadi agen perdamaian di Indonesia. Bagaimana analisa Anda membaca hasil survei ini?
Hasil survei ini sangat penting. Sebab perempuan memang menjadi agen perdamaian sejak lama. Dalam konflik di Poso, perempuan menginisiasi perdamaian. Begtu juga di Aceh dan Ambon.
Selain itu peran ibu untuk mendorong perdamaian yang membangun nilai-nilai baik di rumah.
Kedua, komunitas keagamaan perempuan sangat banyak dan bisa jadi tempat kampanye perdamaian. Ruang komunitas sosial perempuan, seperti arisan juga bisa jadi peluang untuk mengisi kampanye nilai-nilai perdamaian.
Tetapi data BNPT, saat ini justru perempuan jadi pelaku terorisme?
Makanya perlu memasukan isu gender dalam UU terorisme, termasuk penanganannya. Dalam testimoni perempuan yang dituduh teroris mengaku dia tidak tahu apa-apa soal ekstremisme. Mereka juga shock.
Ketika suami mereka jadi pelaku, perempuan menjadi korban. Distigma, dituduh, dan diperlakukan tidak baik.
Dengan adanya kejadian bom panci, saat ini publik melihat perempuan bukan lagi korban, tapi pelaku.
Jika dipetakan masalah-masalah perempuan terkait pemenuhan hak dan lain-lain, apa tantangannya untuk Perempuan Indonesia?
Tantangan eksternal, soal kebijakan. Banyak perda diskriminatif, ada 400 buah se-Indonesia. Jumlah ini terus meningkat. Selain itu penegak hukum tidak punya perspektif perlindungan terhadap perempuan. Budaya global membuat perempuan tidak siap menerima informasi tanpa batas. Mereka tidak bisa memilih infomasi.
Akses pendidikan untuk perempuan juga masih kurang. Sehingga perempuan tidak mendapatkan pengetahuan sebanyak lelaki.
Biografi singkat Suraiya Kamaruzzaman
Suraiya Kamaruzzaman lahir 3 Juni 1968) di Kabupaten Aceh Besar. Suraiya menyelesaikan pendidikan tingginya sebagai mahasiswa Teknik jurusan Kimia pada tahun 1994 di Unsyiah, kemuadian dengan bantuan beasiswa dari The Asia Foundation, ia mendapat gelar Master of Laws (LL.M) atau Lex Legibus Master bidang Hak Asasi Manusia di The University of Hong Kong tahun 2003. Dalam tesisnya, Aiya membahas peristiwa perkosaan massal selama darurat militer di Aceh.
Lalu, gelar master kedua dia dapat di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh sebagai master teknik kimia.
Suraiya dianugerahi penghargaan perdamaian UNDP N-Peace Award karena melakukan peningkatan kapasitas dan advokasi pemenuhan hak perempuan Aceh, terutama perempuan yang terpinggirkan dari akses ekonomi dan korban kekerasan seksual yang terperangkap dalam konflik bersenjata.
Suraiya aktif mengkampanyekan pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh di berbagai wilayah di Indonesia dan berbicara di berbagai negara melalui konferensi dan mengikuti sidang-sidang PBB di Geneva. Dia terlibat aktif dalam mendorong Indonesia ikut menandatangani Konvensi CEDAW tentang tindakan yang akan diambil untuk memastikan kepatuhan dengan kewajibannya untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak asasi perempuan selama masa konflik bersenjata dan dalam semua proses pembangunan perdamaian, yang meliputi segera setelah konflik dan rekonstruksi paska-konflik jangka panjang.
Sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang Ia aktif di Pusat Study HAM Unsyiah (PUSHAM) sebagai Sekretaris; Menjadi Koordinator Community Development di Pusat Study Atsiry Research Center sejak 2016 dan mulai 2017 menjadi Direktur Pusat Study Perubahan Iklim Aceh atau Aceh Climate Change Initiative (ACCI).
Selama menjadi aktivis HAM dan perempuan, Suraiya menerima berbagai penghargaan. Di antaranya penghargaan Yap Thiam Hien Award bersama Esther Jusuf Purba. Dua perempuan ini dianggap berhasil meneruskan perjuangan Yap Thiam Hien dalam menegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Selain itu Penghargaan sebagai Tokoh Peduli Perempuan dari Walikota Banda Aceh pada Perayaan Hari Ibu. Dia menjadi satu dari 72 Ikon Prestasi Indonesia 2017 oleh Unit Kerja Presiden UKP (Agustus 2017).