Suara.com - Berlatarbelakang sebagai mahasiswi jurusan kimia, Suraiya Kamaruzzaman muda mendirikan sebuah organisasi perempuan pertama yang mengungkap banyaknya kasus perkosaaan di Negeri Serambi Mekah, Aceh. Dia menjadi aktivis HAM dan perempuan sejak Aceh dilanda konflik bersenjata antara tentara dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Awalnya dia tidak tahu ada konflik, penetapan daerah operasi militer (DOM), sampai korban perkosaan. Berbekal jaringannya sebagai aktivis perempuan, semua dia buka. Aiya, begitu sapaan akrab perempuan berkerudung itu, pun melatih perempuan-perempuan di Aceh untuk sadar HAM. Tentu saat itu, pelatihan dilakukan diam-diam.
Lama-lama ‘alumni’ didikan Aiya dan lawan-kawannya di Flower Aceh melipatgandakan organisasi perempuan.
Belasan tahun bergelut sebagai aktivis, Aiya ikut aktif dalam perdamaian di Aceh. Mulai dari Kongres Perempuan Aceh, sampai melobi Presiden Abdurrahman Wahid untuk memulai membangun Aceh dengan perspektif damai.
Singkat cerita, konflik bersenjata di Aceh sudah selesai. Namun Aiya masih aktif di kancah lokal sampai internasional wara-wiri membahas resolusi damai. Dia masih aktif mengkritik diskriminasi perempuan di Indonesia.
Pekan lalu, Aiya datang ke Jakarta dalam sebuah konferensi yang diadakan Wahid Institute dan UN Woman tentang keadaan perempuan muslim di Indonesia. Hasil surveinya, perempuan berpotensi menjadi agen perdamaian. Dalam konferensi itu, Aiya menjadi salah satu narasumber kunci.
Suara.com banyak berbincang dengan salah satu tokoh perempuan Aceh yang vokal menentang berbagai aturan diskriminasi itu di sebuah hotel di Jakarta. Termasuk soal kiprahnya di awal konflik bersenjata sampai isu-isu perempuan lainnya.
Berikut wawancara lengkapnya:
13 tahun lalu Indonesia-GAM sepakat untuk berdamai. Kelompok perempuan ikut andil bersar dalam perdamaian itu. Anda, salah satu perempuan yang berperan dalam perdamaian di Aceh. Bisa Anda cerita, apa yang Anda lakukan saat itu?
Tidak secara langsung.
Tapi memang benar, saya adalah ketua steering committee Kongres Perempuan Aceh yang pertama kali mendorong dialog damai. Kongres ini juga disebut Duek Pakat Inong Aceh.
Lalu bertemu Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberikan rekomendasi penyelesaian konflik. Selain itu saya ke sidang-sidang PBB untuk meminta membantu mendesak Indonesia menghentikan pelanggaran HAM dan pelecehan seksual di Aceh.
Jadi tidak bisa dibilang peran saya sangat besar dalam dialog damai itu. Karena saya bukan negosiator, jadi harus clear.
Anda membentuk LSM Flower di Aceh yang mendampingi perempuan-perempuan korban DOM…
Tahun 1989, saya membentuk Flower Aceh saat kuliah semester 5 di Jurusan Kimia, Fakultas Teknik di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Flower Aceh jadi organisasi perempuan pertama di Aceh yang independen dan punya afiliasi dengan jaringan nasional.
Flower Aceh saat itu bekerja di desa-desa dekat kampus selama 7 tahun. Kami menjadi relawan untuk memperkuat perempuan-perempuan di desa dekat kampus.
Kami tidak tahu jika Aceh mengalami konflik karena informasi konflik di Aceh tertutup. Ada 3 kabupaten yang menjadi kawasan operasi militer (DOM) di Aceh, yaitu di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Informasi yang beredar di media, DOM itu karena ada gerakan pengacau keamanan (GPK). GPK merampok bank dan lain-lain. Isunya untuk membiayai gerakan Aceh merdeka (GAM), tapi saat itu saya tidak tahu persis kebenaran itu.
Sementara orang-orang di Banda Aceh tidak tahu ada GAM dan status DOM.
Dalam proses menjadi aktivis, saya bergabungan dengan organisasi lain. Lalu ada teman yang bercerita, ada banyak orang mati dan terbunuh. Selain itu setiap dalam perjalanan pulang dari daerah lain ke Banda Aceh, saya mendengar sopir bergumam, minta semua orang tenang dan mengatakan ada korban kembali.
Sehingga saat sata kembali ke Banda Aceh, baru mencari tahu.
Ada informasi beberapa kawan lelaki tidak pulang jika sudah larut malam. Mereka berpotensi ditangkap dan dituduh datang dari Malaysia dan dituduh anggota GAM, lalu ditangkap tentara dan disiksa.
Setelah 7 tahun berjalan, kami mulai merumuskan untuk membantu perempuan-perempuan di Pidie. Organisasi ini sudah banyak yang menawarkan bantuan lewat dukungan dana. Tapi kami menolak, kami takut kehilangan independensi.
Dari mana Anda dapat uang untuk menjalankan roda organisasi dan membantu perempuan-perempuan di sana?
Flower Aceh dibiayai dengan uang sendiri. Kami menyisihkan uang untuk roda organisasi. Semisal dengan menyisihkan uang beasiswa dan hasil kerja. Lalu mengirit pengeluaran sewa kost dengan menyewa rumah, kami pakai untuk tempat tinggal dan sekretariat.
Bahkan kami meminjam telepon tetangga sebagai “contact person”. Jika ada telepon, kami dipanggil.
Kami tidak punya kemampuan yang memadai dalam membuat proposal pengajuan dana ke lembaga donor. Selain itu banyak aturan yang dipatok, misalnya harus bisa mengakses sampai 10 kampung dalam menjalankan program.
Tapi akhirnya Asia Foundation mendukung pendanaan kami. Kami menjalankan program pemberdayaan perempuan di kampung basis GAM. Banyak perempuan yang menjadi korban di sana. Program itu berbalut pemberdayaan ekonomi seperti ternak kambing dan sebagainya.
Kambing betina dan jantan dikembangbiakan secara bergilir di sebuah keluarga. Jika satu keluarga sudah bisa kembang biakan anak kambing, maka induk kambing diberikan ke keluarga lain. Begitu seterusnya.
Kami mengundang camat dan pejabat setempat di awal mulainya program.
Setelah itu secara diam-diam, saat bertemu dengan perempuan dan ibu-ibu, kami memasukan materi pengetahuan HAM dasar, inverstigasi dan pemantauan.
Hanya saja kepala desa setempat meminta kami tidak melanjutkan program di desa itu. Kami dilarang kembali ke desa itu. Si kepala desa takut diinterogasi oleh tentara. Tapi si kepala desa, berterimakasi warganya sudah dibantu.
Akhirnya kami keluar dari desa itu dan memilih menjalankan program serupa di desa terdekat yang tidak terjadi konflik tentara-GAM.
Tapi kami tetap memantau perempuan yang ada di kampung-kampung konflik. Sebab dampak dari konflik itu, banyak perempuan yang menjadi miskin dan hidupnya sengsara.
Saat itu, bagaimana dukungan organisasi perempuan level nasional yang berbasis di Jakarta?
Mereka tidak tahu ada persoalan di Aceh dan tidak memantau dengan alasan keamanan. Begitu saya ceritakan ada kekerasan seksual di sana, mereka shock mendengarnya.
Jadi betapa keadaan di Aceh itu sangat tertutup saat itu.
Para aktivis di Flower Aceh belajar sambil berjalan memahami berbagai persoalan. Bahkan kami tidak punya ilmu psikologi untuk mendampingi korban pemerkosaan.
Satu kali ada korban 10 kali pemerkosaan selama 7 tahun. Selama 7 tahun, perempuan itu memendam cerita pemerkosaan yang dia alami, Dia tak tahu harus bercerita dengan siapa. Begitu kami datang, dia baru bercerita soal pemerkosaan itu.
Sebagai pendengar, saya tidak siap untuk mengetahui kenyataan ada manusia sejahat itu dengan perempuan. Selama DOM di Aceh, kejahatan kemanusiaan begitu banyak dan dahsyat.
Kejahatan seksual saat itu menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Bahkan sampai menimbulkan halusinasi berat.
Satu kali, ada bunyi truk berhenti saat saya bersama ibu-ibu korban perkosaan di Aceh. Mendengar bunyi truk itu, mereka gemetar, histeris dan berhalusinasi ada tentara turun dan ingin masuk ke rumah.
Bahkan saya ikut membayangkan hal yang sama karena selama seharian mendengar cerita kronologi perkosaan dari para perempuan.
Sejak mendengar kesaksian-kesaksian dari perempuan korban perkosaan, kami pun mulai mempelajari cara memberikan trauma healing dari pakar yang lama bekerja di Mindanao, Filipina.
Pelatihan penghilangan trauma itu digelar di desa-desa Pidie, Bireun, Aceh Besar, dan Melaboh. Itu pun dilakukan sembunyi-sembunyi dengan kedok training ternak bebek dan penguatan ekonomi.
Para koban juga diberikan pengetahuan tentang HAM dasar sampai membangun organisasi. Akhirnya dari konsolidasi itu, mereka membuat perkumpulan organisasi-organisasi perempuan di banyak tempat. Dari sana awal gerakan perempuan di Aceh semakin banyak dan kuat.
Tahun 2000 ada Kongres Perempuan Aceh. Sejauhmana kongres itu mendorong perdamaian di Aceh?
Diakui atau tidak, perempuan berperan penting dalam mendorong perdamaian di Aceh.
Tahun 1999 Flower Aceh, organisasi perempuan di Aceh pertama yang hadir dalam sidang perempuan PBB untuk menyuarakan persoalan kekerasan di Aceh, dan mendorong PBB meminta Indonesia menghentikan kekerasan di Aceh.
Saat ada suara keinginan referendum di Aceh, Kongres Perempuan mengangkat isu dialog damai, dan banyak pertentangan. Kami berpikir hasil referendum menimbulkan potensi kekerasan dan korban.
Di referendum pilihannya lepas dari NKRI atau otonomi khusus. Kongres Perempuan itu menghasilkan 22 rekomendasi besar.
Lalu kami bertemu dengan Presiden Gus Dur untuk menyampaikan rekomendasi itu.
Gus Dur bilang, “saya ini setiap hari bertemu orang Aceh dari berbagai komunitas dan latarbelakang. Bagaimana ibu-ibu ini meyakinkan saya bahwa permintaan ibu-ibu ini paling tepat dan menjadi permintaan sebagian besar masyarakat Aceh.”
Kami mengatakan rekomendasi dari hasil Kongres Perempuan Aceh yang dilaksanakan selama 3 hari. Di hari ketiga sampai pukul 04.00 WIB. Yang dihadiri, hampir 500 perempuan dari 18 kabupaten/kota dengan berbagai latar belakang organisasi.
Setelah itu mulai dialog perdamaian dengan GAM. Tapi di masa Megawati Soekarno Putri, Aceh kembali diberi status darurat militer. Dampaknya wartawan asing tidak bisa masuk dan NGO asing harus keluar dari Aceh.
Di masa itu, saya kuliah di Hong Kong dan banyak menghadiri sidang-sidang HAM PBB. Saya juga empat terlibat lobi agar pemerintah membolehkan wartawan asing masuk Aceh, dan akhirnya diperbolehkan.
Aceh masih banyak disorot sebagai kawasan yang mendiskriminasi perempuan. Terakhir soal kewajiban pramugari mengenakan jilbab. Ini bukan pertama kali, lainnya seperti larangan naik motor dan dibonceng. Selain masalah dogma agama, apa yang Anda lihat dalam persoalan diskriminasi perempuan ini?
Pertama, perlu saya katakan jika perempuan Aceh itu tahan terpaan berbagai tantangan. Mulai dari konflik masa lalu sampai tsunami, mereka tangguh dan bertahan. Mereka luar biasa.
Perempuan selalu menjadi objek aturan di Aceh. Mulai dari kewajiban mengenakan rok dan larangan berboncengan. Padahal sejarah Aceh menunjukan pakaian tradisional perempuan Aceh itu celana, bukan rok.
Sebab perempuan Aceh dahulu juga bekerja di ladang. Jika pakai rok, mereka tidak bisa bergerak bebas.
Budaya patriarki di Aceh semakin menguat. Ditambah penggunaan tafsir agama untuk membuat peraturan daerah.
Ditambah adanya qanun yang sangat diskriminasi perempuan. Salah satunya pasal mengenai perkosaan, di mana perempuan yang tidak bisa membuktikan perkosaan, maka dia berpotensi untuk dikriminalkan. Dia bisa dicambuk karena dituduh mencemarkan nama baik.
Qanun merupakan produk politik. Tapi kami tidak menolak qanun, kami ingin aturan di qanun tidak diskriminasi ke perempuan dan adil pada semua orang.
Apakah Anda juga mendapat pertentangan dari pihak lain karena keras dengan qanun dan aturan diskriminasi itu?
Iya, sampai saya dituding antek Amerika, Yahudi, dan anti Islam.