Ujang Koswara: Terangi Desa Gelap Tanpa Teori dengan LIMAR

Senin, 29 Januari 2018 | 07:00 WIB
Ujang Koswara: Terangi Desa Gelap Tanpa Teori dengan LIMAR
Inovator LIMAR (Listrik Mandiri Rakyat), Ujang Koswara.(Suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bermodal situs pencari di internet dan keterdesakan untuk membantu keluarga, membuat Ujang Koswara dikenal sebagai sosok penerang ribuan desa di Indonesia. Dia menciptakan sebuah lampu yang mudah dipakai untuk penduduk desa.

Jebolan Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Bandung itu menciptakan paket lampu LED berdaya baterai dan diberinama Limar (listrik mandiri rakyat). Paket instalasi Limar yang terdiri dari 3 LED dan baterai aki disebar ke seluruh rumah-rumah di desa yang belum mempunyai listrik.

“Saya googling, di Indonesia yang senasib dengan keluarga saya sangat menngejutkan jumlahnya. Saat itu ada 30 juta kepala keluarga yang tidak menikmati listrik. Bahkan di Jawa Barat, yang mempunyai sumber listrik untuk Jawa-Bali, Waduk Jatiluhur, dan geotermal, masih ada 2,4 juta rumah yang tidak punya listrik,” kata Ujang.

Ujang Koswara pada kunjungan Presiden Jokowi ke Eksebisi bersama di peresmian sekretariat Bandung Creative City Forum. (dok UKO)

Inovasi UKO, sapaan akrab Ujang, tak memerlukan banyak teori meski latar belakangnya sebagai dosen. Dia merancang Limar dengan bahan baku impor. Lampu rancangannya diklaim bisa menyala 10 tahun, tapi dia garansi seumur hidup.

Instalasi rancangannya dipuji berbagai pihak, termasuk dari Presiden Joko Widodo.

Limar sebagai penerangan sementara, sembari menunggu perusahaan listrik negara (PLN) menerangi puluhan juta desa.

Tidak hanya merancang lampu, UKO pun menciptakan rancangan kompor tungku yang bisa menghasilkan listrik. Kompor itu sudah diproduksi massal, tapi tidak diperjualbelikan.

Kegiatan pemasangan dan pelatihan Limar dan Kompor Sakti di kampung Cipacet, Cidaun, Cianjur Selatan bersama Badan Amil Zakat Nasional dan UPZ TNI-AD (dok UKO)

Suara.com menemui UKO saat dia datang ke Depok, Jawa Barat pekan lalu. Lelaki 40-an tahun itu banyak bercerita soal inovasi dan gerakannya.

Berikut wawancara lengkapnya:

Darimana ide Anda membuat Limar atau listrik mandiri rakyat?

Awalnya dampak dari kepedulian bukan kepada publik, tapi untuk menolong ibu sendiri.

Tahun 2008, saya ada di puncak karier sebagai pengusaha, tapi ada kontradiktif dengan kehidupan keluarga di kampung, di Pakenjeng, Garut Selatan. Dari Bandung ke Garut hanya 2 jam, tapi dari Garut ke kampung halaman ibu saya menempuh waktu 5 jam.

Saat itu ibu tanya, “Jang, kenapa harga minyak tanah yang sebelumnya Rp4.000 jadi Rp15.000 perliter? Tapi susah didapat.”

Di tahun itu ada program konversi dari minyak tanah ke gas di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kata negara, minyak tanah sudah tidak dibuat karena mahal ongkos produksinya. Kata ibu, untuk masak tidak pakai gas, tapi kayu bakar. Lalu untuk apa minyak tanah? Ternyata untuk bahan bakar lampu tempel. Karena di sana belum ada sambungan listrik.

Sejauh mana kepentingan minyak tanah di kampung itu? Penerangan dari minyak tanah itu untuk belajar anak-anak sekolah di sana. Ada keponakan saya kelas 6 SD yang ujian nasional, nilainya harus sama seperti anak SD di kota. Jika nilainya tidak sebanding dengan standar nasional, dinyatakan gagal.

Mereka belajar dengan menggunakan sumber penerangan lampu tempel yang pakai minyak tanah itu. Bagaimana jika minyak tanah sudah tak diproduksi? Ini ada ketidakadilan.

Sila kelima Pancasila tidak dijalankan oleh negara, keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.

Ujian nasional SD saat itu menurut saya seperti Persib lawan Barcelona, ini zolim. Meski itu gerakan nasional, tapi infrastruktur tidak merata.

Untuk keluarga saya, listrik bukan untuk TV atau kulkas. Tapi untuk cahaya, menerangi rumah. Bahkan slogan PLN pun “menerangi negeri”, bukan “men-TV-kan negeri”.

Saat itu saya berpikir, apa yang harus diperbuat dengan konsidi begitu?

Saya googling, di Indonesia yang senasib dengan keluarga saya sangat menngejutkan jumlahnya. Saat itu ada 30 juta kepala keluarga yang tidak menikmati listrik. Bahkan di Jawa Barat, yang mempunyai sumber listrik untuk Jawa-Bali, Waduk Jatiluhur, dan geotermal, masih ada 2,4 juta rumah yang tidak punya listrik.

Ini aneh sekali, mungkin masalahnya krisis energi dan sebagainya.

Di sisi lain, pemerintah saat itu tengah menggenjot program energi terbarukan, salah satunya panel surya.

Akhirnya, saya membeli panel surya di Jakarta seharga Rp10 juta yang mempunyai 50 SHS, dan hanya 1 panel. Panel itu bisa menghidupkan hanya 3 lampu.

Panel surya itu pun dipasang di kampung, dan awalnya menyala. Tapi kelamaan tidak bisa menyala. Karena solar panel tidak bisa menyala saat mendung, selain itu panelnya kotor karena debu dan lumut. Sehingga tidak bisa menangkap cahaya.

Ibu saya bilang, orang di kampung tidak butuh teknologi canggih, yang penting bisa dipakai awet.

Sementara saya sudah diracuni isu energi terbarukan, yang katanya bebas perawatan. Ternyata itu bohong, karena panel surya butuh perawatan.

Kemudian saya juga membangun pembangkit listrik tenaga air, microhidro di kampung. Saya membangunnya sendiri dengan hanya bermodal mencari tahu di internet. Saya bubut dan las peralatannya.

Setelah mesinnya jadi, menghasilkan listrik kurang lebih 4 ribu watt untuk 1 rumah. Tapi, kembali lagi tenaga listrik microhidro ini tergantung dengan alam. Jika musim kemarau, air akan kering dan tidak bisa menjalankan turbin. Sementara saat musim hujan, rawan banjir.

Saya memperhatikan teknologi microhidro program pemerintah tidak semua berjalan. Bahkan banyak timbul masalah baru, salah satunya realita listrik yang dihasilkan tidak sama dengan teorinya. Mungkin hanya setengah dari desa yang berhasil diterangi.

Akhirnya saya mempunyai solusi, memberikan penerangan dengan baterai tempat menyimpan energi, tapi lampu yang dibuat harus berjenis DC, arus listrik searah. Saat itu, lampu tersebut tidak ada. Kebanyakan untuk penerangan rumah memakai jenis lampu AC, arus bolak balik.

Saya pun membeli ponsel yang mempunyai lampu senter, lampunya menyala terang sekali. Saya bongkar ponsel itu, dan ditemukan teknologi jenis lampu LED. Hasil pencarian di google, cara merancang senter berlampu LED dengan tenaga baterai itu. Saya pun membeli lampu LED jenis DC, dan saya pelajari. Lampu LED DC buatan Amerika dan dibeli di Hong Kong.

Saya mencari tahu pembuatan LED DC itu sampai ke Hong Kong, ternyata lampu itu dibuat di skala industri rumahan

Saya membawa ide pembuatan LED DC itu ke kampus. Tapi tidak jadi-jadi, karena jika dikerjakan di kampus hanya banyak diskusi saja dan teori, tidak jadi barang.

Akhirnya ide pembuatan lampu itu saya bawa ke seorang teman yang mempunyai toko reparasi elektronik. Di sana, pembuatan dimulai, belajar sambil merancang lampu. Setelah 6 bulan, lampu itu jadi. Lampu DC berdaya 1 watt setara 10 watt dengan ketahanan menyala 10 tahun. Sementara voltasenya 5-12 volt, dan bisa dihidupkan dengan powerbank.

Lampu itu diuji coba di rumah orangtua, ada 5 lampu yang dipasang. Lampu itu dinyalakan dengan aki basah mobil berdaya 35 amper. Satu aki bisa menyalakan lampu selama 1 bulan.

Lalu bagaimana jika aki-nya habis? Khusus desa yang mempunyai microhidro yang dulunya saya buat, akhirnya microhidro itu dijadikan pusat pengisian aki. Listrik aki itu diisi selama 3 jam secara bergantian. Begitu juga solar panel dipakai untuk pengisian daya listrik.

Jika menggunakan aki, maka akan menciptakan limbah. Dan ini menjadi persoalan baru di lingkungan hidup. Bagaimana solusi Anda untuk ini?

Teknologi baterai saat ini sangat berkembang, bahkan bisa mengisi dengan cepat. Saya optimis dengan teknologi penyimpanan listrik ini, tapi bukan tidak berarti memikirkan limbahnya.

Saya meminimalisir terbuangnya aki dengan perawatan. Masyarakat selalu ditekankan untuk mengisi air aki tepat waktu, jangan sampai kering. Maka aki akan bertahan lama sampai 10 tahun lebih. Makanya kami tidak pakai aki kering untuk Limar ini.

Bagaimana Anda memodifikasi lampu LED itu?

LED yang saya beli berdaya rendah, berbeda dengan lampu LED yang beredar di pasaran saat ini. Pembungkus lampu Limar pun hanya berbahan plastik. Karena lampu tidak menghasilkan panas saat menyala. Sehingga awet dipakai, karena itu yang dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan.

Sehingga Limar ini, lampu rancangan saya. Saya tidak menciptakan LEDnya. Hanya menggabungkan komponen untuk pembuatan lampu, bedanya lebih efisien. Semua komponen saya impor dari Cina, sebab di sana kawasan industri dunia.

Produk Eropa dan Amerika banyak dibuat di sana, termasuk LED yang saya pesan.

Berapa modal yang dikeluarkan untuk membuat sepaket lampu Limar?

Limar bergaransi seumur hidup, sebab kebanyakan yang memakai adalah orang miskin yang tidak terakses listrik. Jika rusak, akan langsung diganti. Serumah, kami jual Rp2,5 juta. Itu sudah jauh lebih murah, karena kami berkerjasama dengan produsen aki yang bagus.

Lalu garansi selamanya, meski di atas kertas garansi 10 tahun.

Anda menjalankan pembuatan Limar ini dengan membentuk perusahaan bisnis. Tapi kebanyakan Limar itu mejadi sumbangan untuk menerangi banyak desa. Bagaimana pola bisnis yang Anda jalankan?

Saya menempatkan posisi yang tidak bisa dikerjakan masyarakat umum.

Sejak awal, saya berpikir agar teknologi ini sampai ke rakyat, maka tidak boleh dikomersialkan. Sehingga, Limar diproduksi di pesantren, SMK, dan lembaga pemasyarakatan (LP).

Ujang Koswara melatih pendidikan kilat inovasi tenaga listrik di SMK Negeri 1 Lubuk Pakam untuk para guru dan siswa SMK se-kabupaten Deli Serdang.(dok UKO)

Sebab saya tidak mempunyai pabrik, komunitas-komunitas itu yang membuat Limar. Bahkan komunitas mantan geng motor pun ikut membuat lampu itu untuk dipasarkan. Bahkan, produk ini tidak ada yang pernah gagal. Perakitan lampu itu dikerjakan dengan teliti, karena mereka berpikir kalau lampu itu gagal menyala, maka warga desa tidak bisa menikmati cahaya.

Pembelian lampu itu akan langsung ke komunitas itu, mereka yang menjual. Sementara saya tinggal menyediakan bahan baku. Nanti ada hitung-hitungan uang hasil penjualan yang mereka dapat dan uang yang harus dibayarkan ke kami sebagai penyedia bahan baku. Mereka dapat 30 persen dari harga jual Limar,

Pelatihan Limar untuk masyarakat Pulau Arbore, Raja Ampat (dok UKO)

Mereka dibayar perhari atau juga perbulan.

Nantinya lampu-lampu itu dibeli oleh dana-dana CSR perusahaan-perusahaan yang ingin membantu warga desa. Bahkan juga banyak dari perseorangan.

Anda melatih mereka untuk membuat lampu itu...

Saya melatih mereka untuk ahli. Rata-rata dalam sepekan pelatihan, mereka sudah bisa merancang lampu Limar.

Pelatihan Limar untuk masyarakat Pulau Arbore, Raja Ampat. (dok UKO)

Berapa jumlah karyawan di perusahaan Anda?

Tidak banyak, karena perusahaan saya hanya mendatangkan bahan baku dan membagikan ke kelompok-kelompok untuk dirakit menjadi lampu. Kami pun tidak punya pabrik atau gudang. Perusahaan ini membagikan komponen ke SMK-SMK, pondok pesantren, bahkan lembaga pemasyarakatan.

Berapa jumlah komunitas yang Anda gandeng?

Banyak, saya lupa jumlahnya. Ribuan mungkin.

Berapa desa yang pernah Anda berikan lampu Limar itu?

Banyak sekali, ratusan ribu. Saya tidak tahu persis sejak taun 2008 jumlah desa yang sudah diterangi Limar. Itu di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Di Pulau Sumatera kebanyakan sudah diterangi Limar, begitu juga Jawa dan Sulawesi.

Saya menyasar 30 juta KK yang tidak menikmati listrik.

Awal merintis Limar, Anda mendapatkan dana dari mana?

Pakai uang sendiri, kan dulu saya juga pengusaha. Saya mempunyai modal Rp5 miliar untuk membangun perusahaan ini. Sementara untuk kehidupan rumah tangga, saya jual rumah. Hasil penjualan rumah Rp2 miliar diberikan ke istri.

Uang itu harus cukup untuk 2 tahun. Saya minta selama itu istri tidak meminta uang belanja.

Dari seorang pengusaha yang mencari untung, saya ganti baju ke pengusaha yang bergerak di bidang sosial.

Berapa jumlah produksi lampu Anda?

Setahun, rata-rata ada 1 juta paket yang dibuat.

Bagaimana Anda mendistribusikan Limar ini ke pelosok?

Kami bekerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya TNI. Mereka membantu untuk mendistribusikan. Sebab menerangi negeri ini tugas negara, bukan saya sendiri.

Sekarang, saya merasa sendiri menjalankan ini. Saya mencari pihak perseorangan dan lembaga untuk jadi donatur dan membeli lampu ini, lalu diberikan ke warga miskin.

Saya juga tidak menerima dana APBD dan APBN, karena rumit berhubungan dengan uang negara.

Dulu Anda PNS...

Iya, dosen. Mengajar di Politeknik ITB-Swiss (Politeknik Manufaktur Negeri Bandung) selama 10 tahun.

Kenapa Anda memutuskan untuk keluar dari PNS dan membangun perusahaan sendiri?

Saya merasa selama menjadi praktisi tidak pernah menghasilkan sesuatu. Karena ilmuan di Indonesia berbeda dengan di luar yang banyak riset dan menghasilkan penemuan.

Dengan keluar, saya ingin menciptakan sesuatu tanpa banyak teori, jadilah Limar.

Anda juga pernah mempunyai perusahaan. Bidang perusahaan apa itu?

Perusahaan penyuplai botol oli, ada pabrik botol oli. Menyediakan kemasan untuk oli yang beredar di Indonesia. Perusahaan itu menguntungkan, karena kebutuhan oli di Indonesia tinggi untuk kendaraan bermotor. Sementara botol oli plastik itu dibuang jika sudah tak terpakai.

Tapi selama itu saya merasa bertentangan dengan lingkungan hidup.

Mengapa Anda memilih menggeluti profesi sebagai social entrepreneurship?

Saat saya menjadi PNS dan digaji orang, saya merasa biasa saja dan nggak berinovasi. Sekarang, mendirikan perusahaan berbentuk PT, dengan kegiatan hanya suplai kompoten.

Selain menjual, saya juga sisihkan penghasilan untuk diberikan ke orang lain dalam bentuk Limar.

Anda juga menciptakan inovasi kompor menghasilkan listrik. Bagaimana ceritanya?

Itu baru setahun terakhir.

Latar belakangnya, saya prihatin lihat kelangkaan gas dan banyaknya penebangan pohon yang dilakukan masyarakat pedesaan.

Satu hari, seorang teman yang menjual kompoten elektronik komputer. Dia bangkrut, lalu menjual banyak blower (kipas angin) komputer senilai Rp2 juga untuk biaya berobat ibunya. Saya pun membelinya, tapi sempat bingung fungsi blower ini.

Saya punya ide, blower itu dipasang di kompor untuk mempercepat pembakaran. Sehingga menghemat kayu dan waktu memasak di pedesaan. Kompor rancangan itu dibuat massal oleh masyarakat.

Kegiatan pemasangan dan pelatihan Limar dan Kompor Sakti di Dusun Adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi. (Dok UKO)

Saya siapkan pola atau rancangannya, kelompok masyarakat yang buat berbahan dasar kaleng biskuit bekas. Inovasi kompor ini sudah dipakai di Sumatera dalam pengelolaan kelapa sawit skala kecil.

Lalu, satu ketika anak saya bertanya soal teori energi panas menjadi listrik. Saya pun mencarinya di google, dan mendapat istilah termo elektrik dan pertier. Peltier adalah komponen elektronika yang menggunakan efek Peltier untuk membuat aliran panas pada sambungan antara dua jenis material yang berbeda.

Komponen ini bekerja sebagai pompa panas aktif dalam bentuk padat yang memindahkan panas dari satu sisi ke sisi permukaan lainnya yang berseberangan, dengan konsumsi energi elektris tergantung pada arah aliran arus listrik.

Dalam teori peltier itu menyebutkan perbedaan permukaan panas dan dingin dalam plat bisa menghasilkan listrik. Teknologi ini diterapkan di dispenser rumah tangga. Saya pun mencoba membuatnya dengan membongkar plat besi dispenser punya istri di rumah.

Dalam percobaan itu berhasil menghasilkan listrik 5 watt dengan menggunakan 2 peltier. Akhirnya saya uji coba di kompor tungku dengan menempelkan peltier di kompor itu. Saat ini kompor itu diberinama Hawuko, kompor listrik koswara.

Panas yang dihasilkan bisa dari kompor tungku atau juga tungku untuk membakar sampah. Listrik yang dihasilkan untuk disimpan di aki atau baterai. Tidak bisa langsung dipasang lampu.

Kompor itu tidak diperjual belikan, tapi hanya dibuat oleh kelompok masyarakat di pedesaan. Sebab peltier mudah didapatkan di toko elektronik dengan harga Rp30 ribuan.

Anda dikenal saat memasang baliho “bukan calon wali kota” di Bandung. Mengapa Anda melakukan itu?

Saya gregetan banyak orang yang pasang iklan di jalan dan mengaku calon wali kota, padahal belum tentu dan belum pasti. Hanya mengotori ruang publik.

Sebelumnya saya cenderung senyap saja, bantu orang saja, cukup. Bahkan punya Facebook atau media sosial lain, baru setahun belakangan. Itu pun anak saya yang mengelola.

Biografi singkat

Ujang Koswara lahir di Garut, Jawa Barat, 15 Oktober 1968. Dia wirausahawan sosial dan pegiat pemberdayaan masyarakat.

Ujang pernah kuliah jurusan kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB) selama 1 tahun. Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke Politeknik Manufaktur Swiss - ITB di Kanayakan, Bandung. Dia ikut program ikatan dinas sebagai staf pengajar di sana dengan status PNS. Ujang menyelesaikan program sarjana di Jurusan Teknik Industri Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI).

Tahun 2003 dia mengundurkan diri sebagai PNS. Ujang membangun usaha di bidang manufaktur dan engineering, PT. Buatan Guna Indonesia, bersama temannya. Begitu menjual aset perusahaannya, Ujang pun membangun perusahaan berbasis pemberdayaan masyarakat, PT. Catur Reka Pilarindo.

Ujang juga mendirikan Yayasan Pilar Peradaban sejak 2009. Yayasan Pilar Peradaban didirikan bertujuan untuk membantu pemerintah dalam mengatasi permasalahan mendasar di daerah – daerah terpencil, tertinggal dan di perbatasan dengan memberikan berbagai solusi dalam menghadapi berbagai macam kendala yang biasa dihadapi masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat lewat pelatihan – pelatihan dan membantu secara langsung lewat pendistribusian bantuan dari pihak ketiga.

Dengan berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pilar Peradaban, maka diharapkan masyarakat menjadi produktif sehingga dapat meningkatkan tingkat perekonomian di masyarakat terpencil, tertinggal dan diperbatasan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI