Suara.com - Bermodal situs pencari di internet dan keterdesakan untuk membantu keluarga, membuat Ujang Koswara dikenal sebagai sosok penerang ribuan desa di Indonesia. Dia menciptakan sebuah lampu yang mudah dipakai untuk penduduk desa.
Jebolan Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Bandung itu menciptakan paket lampu LED berdaya baterai dan diberinama Limar (listrik mandiri rakyat). Paket instalasi Limar yang terdiri dari 3 LED dan baterai aki disebar ke seluruh rumah-rumah di desa yang belum mempunyai listrik.
“Saya googling, di Indonesia yang senasib dengan keluarga saya sangat menngejutkan jumlahnya. Saat itu ada 30 juta kepala keluarga yang tidak menikmati listrik. Bahkan di Jawa Barat, yang mempunyai sumber listrik untuk Jawa-Bali, Waduk Jatiluhur, dan geotermal, masih ada 2,4 juta rumah yang tidak punya listrik,” kata Ujang.
Inovasi UKO, sapaan akrab Ujang, tak memerlukan banyak teori meski latar belakangnya sebagai dosen. Dia merancang Limar dengan bahan baku impor. Lampu rancangannya diklaim bisa menyala 10 tahun, tapi dia garansi seumur hidup.
Instalasi rancangannya dipuji berbagai pihak, termasuk dari Presiden Joko Widodo.
Limar sebagai penerangan sementara, sembari menunggu perusahaan listrik negara (PLN) menerangi puluhan juta desa.
Tidak hanya merancang lampu, UKO pun menciptakan rancangan kompor tungku yang bisa menghasilkan listrik. Kompor itu sudah diproduksi massal, tapi tidak diperjualbelikan.
Suara.com menemui UKO saat dia datang ke Depok, Jawa Barat pekan lalu. Lelaki 40-an tahun itu banyak bercerita soal inovasi dan gerakannya.
Berikut wawancara lengkapnya:
Darimana ide Anda membuat Limar atau listrik mandiri rakyat?
Awalnya dampak dari kepedulian bukan kepada publik, tapi untuk menolong ibu sendiri.
Tahun 2008, saya ada di puncak karier sebagai pengusaha, tapi ada kontradiktif dengan kehidupan keluarga di kampung, di Pakenjeng, Garut Selatan. Dari Bandung ke Garut hanya 2 jam, tapi dari Garut ke kampung halaman ibu saya menempuh waktu 5 jam.
Saat itu ibu tanya, “Jang, kenapa harga minyak tanah yang sebelumnya Rp4.000 jadi Rp15.000 perliter? Tapi susah didapat.”
Di tahun itu ada program konversi dari minyak tanah ke gas di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kata negara, minyak tanah sudah tidak dibuat karena mahal ongkos produksinya. Kata ibu, untuk masak tidak pakai gas, tapi kayu bakar. Lalu untuk apa minyak tanah? Ternyata untuk bahan bakar lampu tempel. Karena di sana belum ada sambungan listrik.
Sejauh mana kepentingan minyak tanah di kampung itu? Penerangan dari minyak tanah itu untuk belajar anak-anak sekolah di sana. Ada keponakan saya kelas 6 SD yang ujian nasional, nilainya harus sama seperti anak SD di kota. Jika nilainya tidak sebanding dengan standar nasional, dinyatakan gagal.
Mereka belajar dengan menggunakan sumber penerangan lampu tempel yang pakai minyak tanah itu. Bagaimana jika minyak tanah sudah tak diproduksi? Ini ada ketidakadilan.
Sila kelima Pancasila tidak dijalankan oleh negara, keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.
Ujian nasional SD saat itu menurut saya seperti Persib lawan Barcelona, ini zolim. Meski itu gerakan nasional, tapi infrastruktur tidak merata.
Untuk keluarga saya, listrik bukan untuk TV atau kulkas. Tapi untuk cahaya, menerangi rumah. Bahkan slogan PLN pun “menerangi negeri”, bukan “men-TV-kan negeri”.
Saat itu saya berpikir, apa yang harus diperbuat dengan konsidi begitu?
Saya googling, di Indonesia yang senasib dengan keluarga saya sangat menngejutkan jumlahnya. Saat itu ada 30 juta kepala keluarga yang tidak menikmati listrik. Bahkan di Jawa Barat, yang mempunyai sumber listrik untuk Jawa-Bali, Waduk Jatiluhur, dan geotermal, masih ada 2,4 juta rumah yang tidak punya listrik.
Ini aneh sekali, mungkin masalahnya krisis energi dan sebagainya.
Di sisi lain, pemerintah saat itu tengah menggenjot program energi terbarukan, salah satunya panel surya.
Akhirnya, saya membeli panel surya di Jakarta seharga Rp10 juta yang mempunyai 50 SHS, dan hanya 1 panel. Panel itu bisa menghidupkan hanya 3 lampu.
Panel surya itu pun dipasang di kampung, dan awalnya menyala. Tapi kelamaan tidak bisa menyala. Karena solar panel tidak bisa menyala saat mendung, selain itu panelnya kotor karena debu dan lumut. Sehingga tidak bisa menangkap cahaya.
Ibu saya bilang, orang di kampung tidak butuh teknologi canggih, yang penting bisa dipakai awet.
Sementara saya sudah diracuni isu energi terbarukan, yang katanya bebas perawatan. Ternyata itu bohong, karena panel surya butuh perawatan.
Kemudian saya juga membangun pembangkit listrik tenaga air, microhidro di kampung. Saya membangunnya sendiri dengan hanya bermodal mencari tahu di internet. Saya bubut dan las peralatannya.
Setelah mesinnya jadi, menghasilkan listrik kurang lebih 4 ribu watt untuk 1 rumah. Tapi, kembali lagi tenaga listrik microhidro ini tergantung dengan alam. Jika musim kemarau, air akan kering dan tidak bisa menjalankan turbin. Sementara saat musim hujan, rawan banjir.
Saya memperhatikan teknologi microhidro program pemerintah tidak semua berjalan. Bahkan banyak timbul masalah baru, salah satunya realita listrik yang dihasilkan tidak sama dengan teorinya. Mungkin hanya setengah dari desa yang berhasil diterangi.
Akhirnya saya mempunyai solusi, memberikan penerangan dengan baterai tempat menyimpan energi, tapi lampu yang dibuat harus berjenis DC, arus listrik searah. Saat itu, lampu tersebut tidak ada. Kebanyakan untuk penerangan rumah memakai jenis lampu AC, arus bolak balik.
Saya pun membeli ponsel yang mempunyai lampu senter, lampunya menyala terang sekali. Saya bongkar ponsel itu, dan ditemukan teknologi jenis lampu LED. Hasil pencarian di google, cara merancang senter berlampu LED dengan tenaga baterai itu. Saya pun membeli lampu LED jenis DC, dan saya pelajari. Lampu LED DC buatan Amerika dan dibeli di Hong Kong.
Saya mencari tahu pembuatan LED DC itu sampai ke Hong Kong, ternyata lampu itu dibuat di skala industri rumahan
Saya membawa ide pembuatan LED DC itu ke kampus. Tapi tidak jadi-jadi, karena jika dikerjakan di kampus hanya banyak diskusi saja dan teori, tidak jadi barang.
Akhirnya ide pembuatan lampu itu saya bawa ke seorang teman yang mempunyai toko reparasi elektronik. Di sana, pembuatan dimulai, belajar sambil merancang lampu. Setelah 6 bulan, lampu itu jadi. Lampu DC berdaya 1 watt setara 10 watt dengan ketahanan menyala 10 tahun. Sementara voltasenya 5-12 volt, dan bisa dihidupkan dengan powerbank.
Lampu itu diuji coba di rumah orangtua, ada 5 lampu yang dipasang. Lampu itu dinyalakan dengan aki basah mobil berdaya 35 amper. Satu aki bisa menyalakan lampu selama 1 bulan.
Lalu bagaimana jika aki-nya habis? Khusus desa yang mempunyai microhidro yang dulunya saya buat, akhirnya microhidro itu dijadikan pusat pengisian aki. Listrik aki itu diisi selama 3 jam secara bergantian. Begitu juga solar panel dipakai untuk pengisian daya listrik.
Jika menggunakan aki, maka akan menciptakan limbah. Dan ini menjadi persoalan baru di lingkungan hidup. Bagaimana solusi Anda untuk ini?
Teknologi baterai saat ini sangat berkembang, bahkan bisa mengisi dengan cepat. Saya optimis dengan teknologi penyimpanan listrik ini, tapi bukan tidak berarti memikirkan limbahnya.
Saya meminimalisir terbuangnya aki dengan perawatan. Masyarakat selalu ditekankan untuk mengisi air aki tepat waktu, jangan sampai kering. Maka aki akan bertahan lama sampai 10 tahun lebih. Makanya kami tidak pakai aki kering untuk Limar ini.
Bagaimana Anda memodifikasi lampu LED itu?
LED yang saya beli berdaya rendah, berbeda dengan lampu LED yang beredar di pasaran saat ini. Pembungkus lampu Limar pun hanya berbahan plastik. Karena lampu tidak menghasilkan panas saat menyala. Sehingga awet dipakai, karena itu yang dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan.
Sehingga Limar ini, lampu rancangan saya. Saya tidak menciptakan LEDnya. Hanya menggabungkan komponen untuk pembuatan lampu, bedanya lebih efisien. Semua komponen saya impor dari Cina, sebab di sana kawasan industri dunia.
Produk Eropa dan Amerika banyak dibuat di sana, termasuk LED yang saya pesan.
Berapa modal yang dikeluarkan untuk membuat sepaket lampu Limar?
Limar bergaransi seumur hidup, sebab kebanyakan yang memakai adalah orang miskin yang tidak terakses listrik. Jika rusak, akan langsung diganti. Serumah, kami jual Rp2,5 juta. Itu sudah jauh lebih murah, karena kami berkerjasama dengan produsen aki yang bagus.
Lalu garansi selamanya, meski di atas kertas garansi 10 tahun.
Anda menjalankan pembuatan Limar ini dengan membentuk perusahaan bisnis. Tapi kebanyakan Limar itu mejadi sumbangan untuk menerangi banyak desa. Bagaimana pola bisnis yang Anda jalankan?
Saya menempatkan posisi yang tidak bisa dikerjakan masyarakat umum.
Sejak awal, saya berpikir agar teknologi ini sampai ke rakyat, maka tidak boleh dikomersialkan. Sehingga, Limar diproduksi di pesantren, SMK, dan lembaga pemasyarakatan (LP).
Sebab saya tidak mempunyai pabrik, komunitas-komunitas itu yang membuat Limar. Bahkan komunitas mantan geng motor pun ikut membuat lampu itu untuk dipasarkan. Bahkan, produk ini tidak ada yang pernah gagal. Perakitan lampu itu dikerjakan dengan teliti, karena mereka berpikir kalau lampu itu gagal menyala, maka warga desa tidak bisa menikmati cahaya.
Pembelian lampu itu akan langsung ke komunitas itu, mereka yang menjual. Sementara saya tinggal menyediakan bahan baku. Nanti ada hitung-hitungan uang hasil penjualan yang mereka dapat dan uang yang harus dibayarkan ke kami sebagai penyedia bahan baku. Mereka dapat 30 persen dari harga jual Limar,
Mereka dibayar perhari atau juga perbulan.
Nantinya lampu-lampu itu dibeli oleh dana-dana CSR perusahaan-perusahaan yang ingin membantu warga desa. Bahkan juga banyak dari perseorangan.
Anda melatih mereka untuk membuat lampu itu...
Saya melatih mereka untuk ahli. Rata-rata dalam sepekan pelatihan, mereka sudah bisa merancang lampu Limar.
Berapa jumlah karyawan di perusahaan Anda?
Tidak banyak, karena perusahaan saya hanya mendatangkan bahan baku dan membagikan ke kelompok-kelompok untuk dirakit menjadi lampu. Kami pun tidak punya pabrik atau gudang. Perusahaan ini membagikan komponen ke SMK-SMK, pondok pesantren, bahkan lembaga pemasyarakatan.