Amir Hamidy: Cerita Cicak Lincah 'Ahok' dan Penemuan Spesies Baru

Senin, 15 Januari 2018 | 07:00 WIB
Amir Hamidy: Cerita Cicak Lincah 'Ahok' dan Penemuan Spesies Baru
Taksonom Hepertologi, DR Amir Hamidy (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Beberapa bulan lalu, ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan cicak batu yang menjadi spesies baru di Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Cicak batu itu diberi nama Cnemaspis Purnamai.

Nama belakang “Purnamai” diambil dari nama mantan Bupati Belitung Timur sekaligus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Salah satu ilmuwan yang menemukan cicak spesies baru itu adalah Amir Hamidy. Doktor jebolan Jepang itu salah satu taksonom hepertologi paling produktif di Indonesia.

Penemuan ‘cicak Ahok’ itu salah satu puluhan penemuan penting Hamidy. Dia pernah menemukan katak bermata biru di hutan Lampung.

Cnemaspis Purnamai. (dok LIPI/Awal Rianto)

Cnemaspis Purnamai. (dok LIPI/Awal Rianto)

Ilmuwan yang menggolongkan sistem tata nama binomial reptilia dan amfibia di Indonesia masih jarang. Paling tidak sekitar 10 ilmuwan yang fokus mendalami taksonom hepertologi.

Selain Hamidy, taksonom hepertologi lain yang pernah diwawancara suara.com adalah Djoko Tjahjono Iskandar. Profesor Institut Teknologi Bandung itu penemu katak melahirkan. Namanya sudah mendunia.

Indonesia pernah dinyatakan krisis taksonom. Padahal ilmuwan ini penting untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Sebagai salah satu negara kaya, Indonesia punya ‘rahasia’ sumber daya alam.

Masalahnya, banyak hewan yang belum dikenal mengalami kepunahan. Kepunahan itu disebabkan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia, termasuk perdagangan hewan berlebih.

Hamidy, salah satu dari sedikit ilmuwan yang tergabung dalam the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau sebuah perkumpulan ilmuwan internasional khusus memperhatikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar spesies terancam di seluruh dunia. Organisasi ilmuwan ini memberikan masukan ke negara-negara terkait perdagangan hewan di seluruh dunia.

Suara.com menemui Hamidy di Laboratorium Herpitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI pekan lalu. Dia banyak cerita tentang penemuan-penemuan spesies baru. Termasuk ‘cicak Ahok’ yang dia temukan di Belitung Timur beberapa bulan lalu.

Berikut wawancara lengkapnya:

Bagaimana cerita Anda menemukan cicak spesies baru di Bangka Belitung dan akhirnya diberikan nama yang terinspirasi nama Basuki Tjahaja Purnama?

Cicak baru itu diberinama Cnemaspis purnamai.

Maret 2017, saya sedang jalan-jalan di Belitung. Ada sebuah pantai yang bagus di Belitung Timur, bagian bukitnya dekat pantai dan ada hutan tropis, serta sifatnya dataran rendah. Hutannya masih asli.

Saat malam hari, saya keluar ke sana dengan Irvan Sidik (peneliti LIPI). Karena kami hipertolog, kami pun malam itu hanya insting ingin mengetahui hiperto fauna di sana, ada apa saja? Kami berjalan membawa senter kepala, di sebuah bongkahan batu granit besar ada cicak yang lincah. Ini menarik perhatian.

Cnemaspis Purnamai. (dok LIPI/Awal Rianto)

Cnemaspis Purnamai. (dok LIPI/Awal Rianto)

Kami mengambil beberapa spesimen untuk dikoleksi. Saat itu kami tak menduga itu jenis baru. Jadi hanya dikoleksi saja, begitu juga saya foto ulang.

Saat itu saya konsultasikan dengan Awal Rianto, yang memang pakar di bidang cicak. Dia mengatakan sepertinya ini menarik. Lalu kami kaji lagi dengan spesimen yang sudah ada.

Cicak itu masuk dalam marga Cnemaspis atau cicak yang berukuran kecil, mempunyai moncong lebar seperti bebek. Saat ditemukan, cicak ini aktif dan lincah. Cicak ini berbeda dari jenis lainnya.

Taksonom Hepertologi, DR Amir Hamidy (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Spesies baru ini tergolong cicak batu yang berukuran sedang dengan panjang dari moncong hingga membuka kloaka mencapai 5 cm. Dari kerabatnya, spesies ini dapat dibedakan berdasarkan kombinasi karakter morfologi yang meliputi adanya 5 atau 6 sisik postmental.

Terdapat sisik besar submetakarpal pada jari pertama tungkai depan, hadirnya sisik besar submetatarsal pada jari pertama tungkai bawah, sisik perut berlunas, tidak terdapat lubang prekloakal, tidak terdapat sisik besar pada paha, tidak terdapat sisik subtibial, struktur tuberkular mengelilingi ekor membentuk formasi cincin, sisi samping ekor terdapat alur yang jelas, barisan sisik besar tengah subkaudal tidak dalam rentengan, jumlah lamela pada jari ke-empat tungkai belakang berkisara 22–24, dan hadirnya dua struktur tuberkular belakang kloaka di masing-masing dinding pangkal ekor.

Taksonom Hepertologi, DR Amir Hamidy (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Akhirnya kami bersepakat untuk menuliskan spesies baru ini dalam jurnal ilmiah publikasi internasional. Jurnal ilmiah ini ditulis selama 3 bulanan.

Akhirnya pada 30 November 2017, hasil kajian ini dikukuhkan sebagai spesies baru yang diterbitkan pada jurnal ilmiah Zootaxa nomor 4358 volume 3. Zootaxa termasuk jurnal ilmiah terpopuler dan ‘leader’ dalam penelitian bidang ini.

Apa pentingnya penemuan cicak ini?

Yang paling dasar, mengungkap potensi keanekaragaman hayati kawasan Belitung. Banyak yang belum diketahui fungsi ekologi. Ketika menemukan potensi dari sebuah spesies, mungkin 100 tahun selanjutnya setelah ditemukan.

Contohnya Komodo yang ditemukan tahun 1912, dunia baru mengetahui potensi komodo memiliki potensi antibiotik lewat darah pada tahun 2016 ini.

Selain itu, sebuah spesies pasti mempunyai peran dalam ekosistem di sana, jika tidak punya peran ekosistem pasti spesies itu tidak akan eksis.

Cnemaspis Purnamai. (dok LIPI/Awal Rianto)

Cnemaspis Purnamai. (dok LIPI/Awal Rianto)

Bisa jadi cicak ini berperan dalam mengendalikan serangka di sana karena dia memakan serangga, mungkin saja. Tapi ini belum diteliti lebih lanjut. Apakah ada potensi obat-obatan? Itu juga belum diketahui. Mungkin saja cicak itu spesies endemik yang hanya ditemukan di Belitung, tapi ini belum dipastikan.

Sebaran geografis cicak batu meliputi Afrika, India subkontinen hingga Asia Tenggara.  Di Asia Tenggara, marga ini tersebar dari selatan hingga utara Laos, ke selatan meliputi Vietnam, Camboja, Thailand, Semenanjung Malaysia, ke timur meliputi Kalimantan, kepulauan Seribuat, Anambas, Natuna, Bangka Belitung, Sumatera hingga pulau-pulau kecil di selatan-barat Sumatera. 

Dengan temuan spesies baru ini, maka Marga Cnemaspis menjadi beranggotakan 132 spesies, 18 di antaranya atau sekitar 13.6 persen terdapat di Indonesia.

Cicak itu diberinama yang terinspirasi dari nama Basuki Tjahaja Purnama, mengapa harus diberi nama dari Ahok?

Dalam The International Code of Zoological Nomenclature (ICZN), pemberian nama sebuah spesien baru yang ditemukan adalah hak preogatif dari seorang taksonom. Dalam hal ini pemberi nama Cnemaspis Purnamai ini adalah 4 orang peneliti itu, Awal Riyanto, Amir Hamidy, Irvan Sidik, dan Danny Gunalen.

Tapi dengan catatan, tidak boleh menggunakan nama si penemu.

Pemberian nama, dalam ilmu ini adalah untuk memberikan penghormatan terhadap seseorang. Bahkan dalam jurnal ilmiah itu, kami harus memberikan penjelaskan etimologi penamaan spesies itu, sehingga tidak asal.

Sehingga pemberian nama yang terinspirasi Basuki Tjahaja Purnama ini karena kami menghormati salah satu tokoh di Belitung Timur, dia pernah menjadi bupati dan sangat dihormati di sana. Tidak ada kaitannya dengan politik.

Anda termasuk peneliti yang aktif dan produktif mengadakan ekspedisi dan penelitian sumber daya hayati. Sepanjang karier Anda, sudah berapa spesies yang Anda temukan?

Sekitar 21-an species. Dalam setahun diusahakan menemukan lebih dari 1 spesies.

Dari 20 lebih spesies yang Anda temukan, apakah ada temuan yang Anda anggap paling menarik dan penting?

Ada dua penemuan, keduanya penemuan katak.

Tahun 2008, saya menemukan Leptobrachium Waysepuntiense masih sebagai mahasiswa master di Universitas Kyoto. Saya diperlihatkan foto seekor katak. Katak ini unik, mempunyai warna mata biru, dan ini karakter satu-satunya mempunyai warna mata biru.

Saya konsultasikan ke profesor di Kyoto, lalu saya diminta kembali ke Indonesia untuk menemukan jenis baru ini. Jika saya tidak temukan katak itu, sekolah master saya tidak lulus.

Leptobrachium Waysepuntiense. (dok Amir Hamidy)

Leptobrachium Waysepuntiense. (dok Amir Hamidy)

Maka, setelah setahun di Jepang, saya kembali ke Indonesia untuk mencari katak itu di sebuah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung. Berbekal informasi, katak itu ada di kawasan Wai Seputih. Sementara petugas taman nasional menjelaskan jika Way Seputih ada di luar kawasan taman nasional.

Akhirnya saya masuk kawasan hutan, karena yakin katak ini jenisnya ada di hutan. Saat itu kami tersesat hampir 2 hari dan tidak menemukan lokasi itu. Saya membuat semacam janji, kalau lokasi itu ditemukan, saya akan berikan nama katak itu dengan nama daerah dia berada.

Ternyata, informasi yang betul, katak itu ada di kawasan Way Sepunti. Ternyata itu nama sebuah sungai kecil di sebuah desa di sana. Akhirnya dapat juga. Saya bawa beberapa spesimen.

Setelah dipublish, banyak yang mengatakan penemuan katak berwarna mata biru ini satu-satunya dalam grup ini. Sehingga menarik sekali mempelajari evolusi karakter jenis mata dalam kelompok katak.

Penemuan kedua yang saya anggap menarik juga katak, Rhacophorus Indonesiensis. Dalam penelitian ini, saya menenrima spesimen dan divalidasi. Saya tidak terjun ke lapangan.

Rhacophorus Indonesiensis. (dok Amir Hamidy)

Rhacophorus Indonesiensis. (dok Amir Hamidy)

Jenis katak ini mempunyai bintik atau totol yang unik. Jenis ini satu-satunya di Indonesia. Tahun 2014, saya pergi ke Amerika, London, dan Leiden Belanda. Saya melihat tipe-tipe spesimen yang dulu kala dikoleksi oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris.

Saat itu spesimen itu dibawa ke Leiden. Saya cocokan kembali dengan semua spesimen yang ada. Lalu saya cocokan dengan tipe dengan Asia. Tapi tidak ada yang cocok, saat itu saya yakin ini jenis baru.

Setelah dites DNA, hasilnya menunjukan bahwa katak ini masuk ke dalam jenis tersendiri. Katak ini belum ada kelompoknya. Akhirnya saya namakan Rhacophorus Indonesiensis. Karena katak itu hanya endemik di Indonesia.

 

Sebagai herpetofauna, apakah ada kesulitan dalam penemuan spesien baru?

Riset, itu yang paling penting. Ini adalah sebuah skill, semakin banyak melakukan riset, makin banyak menghasilkan karya.

Selain persiapan di lapangan untuk mengambil spesimen, menuliskan hasilnya juga paling berat. Sebanyak 60 persen energi yang dihabiskan dari riset itu adalah penulisan.

Seberapa banyak taksonom hepertologi di Indonesia?

Kalau bidangnya, memang jarang. Taksonom hepertologi di Indonesia tak akan lebih dari 10 orang peneliti. Sebab amphibi dan reptil adalah takson yang dihindari manusia, dan hewan itu menjijikan. Pandangan itu masih ada.

Kurangnya ketertarikan banyak orang untuk menjadi taksonom ini berefek ke studi. Dalam taksonom atau penamaan, sebenarnya dalam veterbrata (hewan bertulang belanang) penemuannya masih stabil. Begitu juga penemuan-penemuan mamalia, dalam setahun banyak penemuan.

Taksonom Hepertologi, DR Amir Hamidy (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Dengan pemanfaatan ilmu biologi molekuler, penemuan-penemuan reptil semakin banyak. Ini juga kesempatan untuk ilmuwan muda.

Berapa besar potensi pertambahan jumlah amphibi di Indonesia?

Jumlahnya jenis amphibi sampai 400-an jenis, sementara reptil ada 700 jenis. Itu yang sudah terdeskripsi. Belum lagi yang belum terdeskripsi.

Hampir semua ampibi di wilayah Sumatera, endemik.

Tapi jumlah taksonom Indonesia harus ditambah. Dengan jumlah 700 jenis itu, tapi hanya diteliti kurang dari 10 orang yang kerja sebagai taksonom, maka akan kurang.

Salah satu spesies di Laboratorium Herpitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Sebagai negara tropis, keanekaragaman hayati Indonesia paling besar setelah Brazil. Khusus reptil dan amphibi, sebanyak apa di Indonesia?

Indonesia ada di tingkat 10 besar mega biodiversity country. Termasuk untuk ampibi dan reptil, paling banyak di dunia. Brazil pun demikian.

Tahun 2012, Cina masih memimpin penemuan-penemuan amphibi dan repril terbaru dengan jumlah 410 jenis. Sekarang, Indonesia memimpin penemuan-penemuan amphibi dan reptil. Terlebih 50 persen kawasan Papua belum terjamah untuk penemuan amphibi. Bahkan di laboratorium ini, masih banyak yang belum teridentifikasi.

Hepertolog Amir Hamidy di Laboratorium Herpitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Sejauhmana ancaman kepunahan amphibi?

Ada sebuah paper yang mengatakan laju penemuan amphibi lebih rendah dari laju kepunahan. Jenis-jenis yang belum ditemukan bisa punah sebelum dideskripsi. Ini karena faktor manusia.

Misalnya, jenis rhacophorus banyak ada di hutan Sumatera. Sementara jika hutan Sumatera dikonversi jadi kelapa sawit, apakah tidak punah jenis itu?

Secara alami, hewan bisa menjadi penanda alam. Bagaimana dengan keluarga reptil dan amphibi? Apakah mereka bisa menandakan keadaan sebuah lingkungan?

Anda pernah dengar booming kasus hama tikus? Di beberapa wilayah gagal panen karena banyak hama tikus. Itu sangat terkait sekali, besarnya eksploitasi terhadap predator tikus, khususnya ular. Ular bukan hanya dibunuh, tapi dijual untuk kebutuhan konsumsi. Bahkan diekspor untuk industri kulit, diekspor dalam jumlah besar ke Cina.

Beberapa jenis ular pemakan tikus dan  efektif sekali untuk mengontrol hama.

Kasus lain soal kawasan demam berdarah dan malaria. Apakah tidak sadar apa  fungsi keberadaan katak di sana? Katak-katak, baik berudu dan katak mempunyai peran penting di ekologi. Berudu bisa memakan jentik nyamuk, kataknya juga memakan nyambuk. Pemerintah menggelontorkan miliaran uang untuk menanggulangi hama dan demam berdarah di satu kawasan.

Sementara Indonesia masih menjadi produsen eksportir paha katak terbesar di dunia. Dengan nilai 4.000 ton pertahun atau 80 jutaan ekor dipanen tiap tahun. Jenis katak yang diekspor berjenis katak sawah. Ekspor itu memberikan devisa ke negara.

Sayangnya Indonesia tak sadar dengan fungsi ekologinya.

Negara mana yang bisa dicontoh karena sadar dengan fungsi ekologi?

Sebelumnya India dan Bangladesh jadi produsen paha katak terbesar di dunia. Tapi sejak tahun 1980, mereka stop. Sebab mereka menghitung anggaran untuk mengatasi malaria, demam berdarah, hama pertanian dan gangguan hama lain.

Salah satu spesies di Laboratorium Herpitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Akhirnya mereka menghentikan ekspor paha katak. Sehingga fungsi ekologi itu dikembalikan.

Indonesia masih melihat fungsi ekonomi lebih tinggi dibanding fungsi ekologi.

Perdagangan dan pemeliharaan hewan langka masih sering terjadi di Indonesia. Apakah bisa hewan langka dipelihara, meski pemilik mengklaim hewan itu akan dipelihara dengan baik?

Pets itu tren. Ini adalah industri karena ada nilai ekonomi. Saya memelihara hewan untuk riset. Tanpa memelihara tidak tahu sifat biologinya.

Sementara sekarang tren pemeliharaan hewan reptil tengah meningkat, karena ada harganya. Misalnya memelihara biawak.

Anda bagian dari ilmuwan-ilmuwan di konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam. Sejauhmana Indonesia mengikuti kebijakan CITES itu?

Saya ilmuwan perwakilan dari Indonesia khusus hewan. Beberapa ilmuwan Indonesia di bidang lain juga jadi anggota.

Hewan-hewan dan tumbuhan yang terancam yang masuk dalam volume perdagangan tinggi dan di diekspor akan masuk data CITES. Negara yang mengekspor jenis-jenis itu, wajib melaporkan volume ekspor dan impornya. Tiap tahun dievaluasi, apakah pengambilan dengan jumlah tertentu mengancam populasi hewan dan tumbuhan itu.

Indonesia pernah menjadi sorotan internasional karena mengekspor 100 king cobra. Saat itu saya menjelaskan dari sisi ilmuwan dan mengatakan jika ekspor 100 king cobra masih dalam jumlah yang aman. Sebab wilayah Indonesia luas mempunyai penyebaran king cobra dari Sumatera sampai Maluku. Sehingga panen 100 king cobra tidak membahayakan populasi di alam.

Penjelasan detail seperti itu hanya bisa dijelaskan oleh ilmuwan, karena dia tidak perpaut kepentingan politik dan ekonomi. Sementara perdagangan itu sangat erat kaitannya dengan kepentingan politik di suatu negara.

Biografi singkat Amir Hamidy

Amir Hamidy Lahir di Pacitan, 14 Oktober 1978. Dia merupakan doktor lulusan School of Human Environmental Studies, Kyoto University. Gelar masternya juga didapat di kampus yang sama Sementara gelar sarjana dia tempuh di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada.

Saat ini Hamidy merupakan ilmuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi, Biosistematika vertebrata. Dia salah satu di antara sedikit herpetolog Indonesia yang paling produktif.

Hamidy saat ini menjadi Kepala Laboratorium Herpitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI dan sering memimpin ekspedisi pencarian spesies baru di Indonesia. Di dunia hepertologi, Hamidy merupakan Presiden Perhimpunan Herpetologi Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI