Bantaeng juga dipuji menurunkan ibu melahirkan sampai nol. Karena itu juga Anda mendapatkan penghargaan sebagai tokoh perubahan. Bisa Anda cerita?
Bantaeng pernah menjadi daerah yang cukup tinggi, angka kematian akibat penyakit lingkungan juga cukup tinggi.
Itu memang menjadi pemberitaan besar soal kematian ibu melahirkan. Dengan kehadiran Brigade Siaga Bencana (BSB ), kami bisa lakukan itu.
Tahun 2013, angka kematian ibu melahirkan menjadi nol, sebelumnya 12/100.000 kematian per tahun.
Kami punya layanan kesehatan ambulans mobile. Cukup telepon 119, mereka bekerja 24 jam. Respon dilakukan dalam 20 menit, dokter dan perawat pun sampai. Kapan pun bisa dilayani, asal telepon dan warga punya telepon untuk menghubungi. Layanannya cepat.
BSB ini siaga 24 jam dengan 20 dokter, 16 perawat dan 8 unit mobil ambulans berfasilitas emergency. BSB Bantaeng juga menyiagakan 11 unit mobil pemadam kebakaran berstandar Internasional.
Kami sudah membuat di 5 kecamatan untuk menjaga survival rate tinggi sehingga AKI menjadi nol.
Masa tugas Anda berakhir pada 2018, bagaimana cara membuat sistem yang Anda bangun akan terus dipakai oleh bupati selanjutnya?
Saya di awal membangun Bantaeng, selalu mengatakan ke teman-teman dan pejabat lainnya, Bantaeng ini tidak dibangun “by actor”, tapi “by system”. Masyarakat mengkhawatirkan jika kebiasaan-kebiasaan yang kami bangun sebelumnya dan saat ini, akan hilang setelah ada pemimpin baru.
Seperti misalnya, tiap pagi jam 6 rumah saya terbuka untuk masyarakat untuk mengadukan berbagai hal.
Ada yang datang kasih masukan dan kritikan. Ini tidak semua pemimpin daerah bisa melakukan.
Jadi nggak perlu meminta waktu. Kami jadwalkan pukul 08.00 WITA, tapi pukul 06.00 WITA mereka sudah datang. Masyarakat berat jika ini dihilangkan.
Selain itu, masyarakat sudah terasa dari atas sampai bawah sama. Pelayanan bertemu lurah sampai saya, sama. Makanya mereka khawatir kalau pengganti saya berubah. Doa masyarakat, cukup pertahankan program yang sudah ada, tidak perlu ditambah juga tidak apa-apa.
Saya kemarin mendorong wakil dan sekertaris daerah untuk maju pilkada. Karena saya anggap, mereka pasangan yang bisa melanjutkan. Tapi setelah disurvei, paling tinggi hanya 6 persen.
Saya sama sekali tidak pernah mendorong istri dan anak untuk maju. Tapi ternyata survei istri saya sampai 70 persen.
Saya tidak ingin mendorong istri untuk maju, karena ini untuk demokrasi yang baik. Kalau pun ada keluarga yang melanjutkan, belum tentu cara kerjanya sama. Itu pun, masyarakat minta.
Saya cuma bilang, “saya masih sayang sama istri, kalau saya mendorong istri untuk maju, saya sudah tidak sayang.”
Cukup saya yang merasakan merasakan susahnya menjadi pemimpin kepala daerah. Karena saya yakin, Bantaeng tidak hanya berubah dari sisi fisik, tapi pola pikir masyarakat akan berubah.
Jadi siapa pun yang memimpin Bantaeng, jika belum siap maka masyarakat akan ribut.
Seperti layanan kesehatan, masyarakat sudah merasa nyaman. Jika mereka sakit, maka banyak pilihan. Bahkan bisa dilayani di rumah. Begitu juga untuk pegawai, tidak ada yang mengurus soal kenaikan pangkat.
Sebab sistem sudah terbangun, otomatis akan naik pangkat kalau berprestasi. Mereka sudah tidak mengumpulkan dokumen.
Begitu juga di perizinan, satu bulan sebelum masa berakhir, maka sudah dikirimkan perpanjangannya.
Semua calon bupati datang ke saya semua, saya pun berpesan jika kelemahan bangsa ini adalah jika ganti pemimpin, pasti seleranya beda-beda.
Anda mencalonkan diri jadi gubernur Sulawesi Selatan, apakah program yang Anda bangun bisa diterapkan di tingkat provinsi?
Bantaeng kabupaten kecil, tapi yang lain harus dikembangkan. Sulsel, mungkin bisa lebih bagus lagi sistemnya. Sistem harus diperkuat.
Menjalankan program-program Kabupaten Bantaeng akan lebih mudah di Sulsel. Tugas saya, bagaimana mensinergikan daerah.
Biografi singkat Nurdin Abdullah
Nurdin Abdullah lahir di Pare – Pare, 7 Februari 1963. Dia menamatkan sarjana di Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS Tahun 1986. Lalu memperdalam ilmu pertanian dengan mengambil S1 dan S3 di Universitas Kyushu, Jepang.
Sebelum menjadi bupati, Nurdin merupakan seorang pengusaha dan menjabat sebagai presiden direktur di beberapa perusahaan Jepang. Di antaranya Presiden Direktur PT. Maruki Internasional Indonesia, President Director of Global Seafood Japan, dan Director of Kyushu Medical Co. Ltd. Japan.
Nurdin pun menjadi pengajar di universitas tempat dia belajar, Universitas Hasanuddin Sekarang Nudin tercatat sebagai guru besar ilmu pertanian di sana.
Inovasinya di Bantaeng, Nurdin banyak mendapatkan banyak penghargaan. Di antara Penghargaan Agro Inovasi 2009, Peniti Emas dari KTNA Provinsi Sulawesi Selatan terhadap Pengembangan Produksi Hasil Pertanian, Tokoh Perubahan Republika, dan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2017. Jumlah penghargaan pribadi dan daerah sejak dia pimpin Bantaeng, lebih dari 50 penghargaan.