Suara.com - Selama hampir 10 tahun, Nurdin Abdullah menjadi Bupati Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan. Tidak banyak yang kenal dengan daerah ini memang.
Kabupaten Bantaeng tertetak di sebelah selatan Pulau Sulawesi atau di sebelah timur berjarak 150 km dari Kota Makassar. Baru 9 tahun terakhir kawasan itu menjadi daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Selama 9 tahun digarap seorang profesor pertanian, Bantaeng melakukan banyak berbagai terobosan. Di antaranya menurunkan angka kematian ibu melahirkan, membangun sektor pertanian dan pembangunan infrastruktur yang masif berwawasan lingkungan.
Keberhasilan Nurdin tidak lepas dari latar belakang dirinya sebagai jebolan doktor Universitas Kyushu, Jepang. Ilmunya di bidang teknologi dan pertanian dipakai untuk bangun daerah sekecil 395,83 kilometer persegi itu.
APBD Bantaeng naik menjadi 3 kali lipat, pendapatan asli daerah naik 4 kali lipat, Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita penduduk naik 5 kali lipat, dan jumlah penduduk miskin di sana pun merosot dari 12 persen ke 5 persen sampai tahun 2016.
Saat ini sektor pertanian menjadi tulang punggung pendapatan Bantaeng karena kawasan ini menjadi penghasil benih.
Beberapa pekan lalu, Prof Nurdin ke Jakarta untuk menerima penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2017. Dia dianggap sosok yang anti korupsi dengan menerapkan sistem anti korupsi di Bantaeng.
Suara.com menemui dan berbincang dengan Nurdin di sela-sela pemberian penghargaan itu.
Anda dinilai berhasil membangun Kabupaten Bantaeng yang saat ini menjadi salah satu daerah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi pesat. Bisa ceritakan, bagaimana keadaan Bantaeng saat pertama kali Anda memimpin di tahun 2008?
9 tahun lalu, Bantaeng belum dikenal. Saat baru dilantik jadi bupati, saya diundang ke Jakarta untuk rapat koordinasi dengan pemerintah pusat. Saat itu kepala daerah lain juga datang.
Hampir seluruh bupati tidak tahu di mana Bantaeng. Padahal Bantaeng itu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seharusnya orang-orang dulu kenal Bantaeng.
Bantaeng itu kota atau kabupaten tertua di Sulawesi Selatan. Dulu pernah menjadi pusat pemerintahan, pendidikan dan perdagangan di era Belanda.
Sejak tahun 2000 sampai 2008, Bantaeng masuk jajaran 199 daerah tertinggal. Saat awal menjabat jadi bupati, saya sangat merasakan masyarakat jenuh. Sehingga rata-rata penduduknya merantau ke Kalimantan dan Malaysia untuk bekerja dan hidup di sana.
Infrastruktur di sana memprihatinkan. Bantaeng pun rawan bencana karena terletak di kawasan pegunungan dan pantai.
Dulu, setiap tahun Bantaeng dilanda banjir.
Layanan publik sangat buruk, kalau kami mau jalan pagi saja, tidak tahu harus jalan ke mana. Saya pun setiap pagi harus rutin olahraga.
Apa yang pertama kali Anda lakukan saat itu?
Setelah melihat masalah ini, saya membedah APBD. APBD Bantaeng hanya Rp280 miliar, sementara belanja pegawai 70 persen dan belanja modal hanya 30 persen.
Belanja modal sangat kecil. Sehingga saya harus mencoba ajak teman-teman pegawai untuk memecahkan masalah itu.
Langkah awal saya setelah dilantik, bukan 100 hari balas dendam dan balas budi setelah Pilkada. Tapi saya mencoba mengajak semua elemen pemerintahan, bagaimana solusi untuk mengatasi persoalan yang ada ini?
Kami benar-benar memikirkan, berapa besar sumber daya manusia yang dimiliki? Kedua, mencoba mengembalikan kepercayaan publik ke pemerintah.
Karena kalau tidak ada kepercayaan publik, semua sistem akan sulit diubah. Ketiga, bagaimana kita orientasi pada ke perubahan.
Saya sangat merasakan pada tahun 2008. Saat itu pola pikir biroktatifnya harus diperbaiki. Karena mungkin sudah warisan lama, melihat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk dihabiskan, bukan untuk menghasilkan.
Selain itu perlu diubah pola pikir menjadi, “apa yang mereka dapat dari penggunaan APBD itu?”
Padahal birokrat ini, harus menjadi birokrat yang melayani.
Singkat cerita kami meminta bimbingan dari Universitas Hasanuddin dan Universitas Indonesia tentang tata kelola pemerintahan. Kami juga melakukan kerjasama.
Kami pun sudah mulai memetakan saat itu.
Kami mulai dengan menata aparatur negara di tahun 2009. Saat itu kami sudah melakukan lelang jabatan. Kami membuka peluang ke seluruh aparatur yang punya kemampuan dan memenuhi syarat untuk memimpin instansi tertentu.
Jadi bukan menempatkan orang karena dislike, bukan juga karena kedekatan dan tim sukses.
Itu yang kami coba di awal-awal jabatan, sehingga Bantaeng dalam kurun 9 tahun berubah total. Anda bisa lihat ke sana.
Sebelumnya Bantaeng sebagai kota yang sunyi dan pertumbuhan ekonomi rendah. Tapi saat ini bisa disebut Bantaeng jadi pertumbuhan pusat ekonomi di Sulawesi Selatan.
Kami ingin masyarakat ini sehat, banyak sport centre dan ruang publik yang dibangun.
Yang paling terasa, dulu Bantaeng kota yang panas. Tapi kami membuat program ‘Jumat Bersih, Sabtu Menanam’ sejak 2009. Saat ini bisa dilihat hasilnya setelah 9 tahun. Kota Bantaeng jadi hijau. Kami terus mendapatkan Piala Adipura, dan tak pernah putus sejak 2009.
Satu kali ada Direksi Pertamina pernah ke Bantaeng, bertemu kami. Kata dia, “Pak Nurdin, kami masuk Bantaeng, terasa bukan di Indonesia. Setelah keluar Bantaeng baru terasa Indonesia.”
Karena begitu keluar dari jalan di luar yang rusak, masuk Bantaeng langsung mulus. Jadi sangat bisa dirasakan naik mobil dari Bantaeng, lalu tertidur. Jika terbangun, artinya sudah di luar Bantaeng. Karena di luar Bantaeng jalannya ada yang rusak.
Di Bantaeng sudah tidak ada daerah yang terisolir. Jalan-jalan sudah sampai ke pelosok, semua terakses.
Anda termasuk pemimpin yang sangat sering menggonta-ganti pejabat daerah. Mengapa Anda lakukan itu?
Saya ganti kepala dinas 3 sampai 6 bulan sekali sebagai pencegahan korupsi. Warga ikut melaporkannya.
Saya selesainya di Jepang. Jepang itu pantang berbohong, dan mereka itu rasa malu tinggi. Jadi apa yang kau katakan, katakan apa yang kau lakukan. Dan lakukan apa yang kau katakan.
Anggaran APBD pun sangat hati-hati dicegah kebocorannya. Makanya setelah APBD disahkan, akan dilaporkan ke Kejaksaan dan Kepolisian untuk dianalisa dan diawasi. Pengawasan juga dilakukan Inspektorat dan sering melakukan rapat-rapat koordinasi dengan Kejaksaan dan Kepolisian.
Bantaeng termasuk kawasan rawan bencana. Tapi sejak 2011 lalu, Bantaeng sudah bebas banjir. Apa yang Anda lakukan?
Kami membuat pengendali banjir. Itu kajian dari pakar-pakar. Kami membangun dam di hulu dan ternyata berhasil. Awalnya kami berpikir cukup membuang air atau mengalihkannya, tapi itu kurang efektif.
Makanya kami membangun tanggul pengaman dan sungai buatan untuk menahan dan menampung air ketika curah hujan cukup tinggi. Di saat musim kemarau, air ini tidak kering.