Anda sudah 20 tahun menjadi Uskup. Apa suka dan duka menjadi Uskup? Terutama selama Anda memimpin di Jakarta.
Jangan disalahmengerti jika menjadi Uskup adalah jenjang karier, bukan. Dalam Gereja Katolik, tidak ada jenjang karier. Jika menjadi Uskup dan usianya sudah 75 tahun, dia harus mengundurkan diri. Di Jakarta, saya sudah 8 tahun menjadi Uskup Agung Jakarta.
Sebelumnya Anda memimpin di Semarang, apa perbedaan saat Anda menjadi Uskup Agung Semarang dan Uskup Agung Jakarta?
Masyarakat Jakarta sangat beragam, beda dengan Semarang. Tapi dari sisi pelayanan tidak kesulitan, karena masing-masing jalur pelayanan umat sama di semua Gereja Katolik. Tapi Indonesia khas, masing-masing keuskupan Agung di Indonesia berbeda latar belakang budaya dan sejarah.
Sehingga keadaan umat di Keuskupan Agung Semarang dan Jakarta berbeda. Di Jakarta, tidak daerah yang mempunyai ragam pluralism seperti di Jakarta.
Dalam konteks seperti itu, model gereja bagaimana yang bisa diterapkan? Itu bukan hanya saya saja yang harus pikirkan.
Seperti agama-agama lain, di Kristen pun mempunyai banyak aliran atau mazhab. Namun di Kristen cenderung bisa mengatasi perbedaan itu. Bagaimana cara Kristen mengatasi perbedaan itu? Apa yang bisa dicontoh oleh agama lain?
Kalau di Katolik jelas tidak akan macam-macam, karena pimpinannya hanya 1. Ada Paus, Uskup dan hukum gereja yang harus ditaati. Tapi dalam struktur gereja Katolik, ada juga aliran keras, tapi jumlahnya kecil dan tidak signifikan. Sebab ada pimpinan gereja yang mengatakan aliran itu baik dan tidak baik.
Di gereja Kristen, jika ada aliran-aliran yang baru, mereka tidak mempunyai pimpinan yang menyatukan. Tidak sedikit aliran-aliran Kristen yang keras, jumlahnya sekitar 7 persen. Khusus di Katolik hanya 3 persen. Kami selalu berdialog, tapi tidak bisa mencampuri mereka. Karena ajarannya berbeda.
Orang seperti saya ini, tidak boleh berpolitik praktis. Kalau menjadi anggota DPR pasti dikasih ‘kartu merah’. Pemuka agama Katolik tidak boleh jadi politisi. Karena pastor, pendeta dan sebagainya itu fungsinya mempersatukan umat. Bahkan mereka tidak boleh menjadi pengamat politik, karena sudah pasti berpihak.
Fungsi seorang pastor dalam hal politik adalah memberi inspirasi, memesankan supaya etika dan moral politik dijalankan dalam partai apapun juga. Itu menjadi batasnya. Kata-katanya harus terbatas pada moral politik.
Bagaimana jika seorng pastor ahirnya berpolitik?
Terakhir di Sibolga, dia aktivis dan sangat dihormati sebagai pastor. Saya duga, dia merasa populer tapi tidak sadar jika dia dihormati karen status sebagai pastor. Dia daftar jadi calon bupati, tapi kalah.
Biografi Romo Suharyo
Mgr. Dr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo lahir di Sedayu, Bantul, Yogyakarta, Indonesia, 9 Juli 1950. Dia adalah Uskup Agung Jakarta sejak 29 Juni 2010, menggantikan Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J. Sebelum menduduki jabatan ini, Mgr. Suharyo adalah Uskup Agung Koajutor Jakarta. Saat ini, ia juga menjadi Uskup Ordinariat Militer Indonesia. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Uskup Agung Semarang. Romo Suharyo juga sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia.
Suharyo menjalankan pendidikan di Seminari Kecil Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sejak tahun 1961. Mgr. Suharyo menjalani pendidikan menegah atas di Seminari Menengah Mertoyudan dan lulus pada tahun 1968. Ia kemudian melanjutkan studi di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, dan pada tahun 1971 ia mendapatkan gelar Sarjana Muda bidang Filsafat/Teologi, serta pada 1976 mendapatkan gelar Sarjana Filsafat/Teologi. Kardinal Justinus Darmojuwono kemudian menugaskan Mgr. Suharyo untuk belajar di Roma, Italia. Ia menyelesaikan studi Doktoral Teologi Bibilis di Universitas Urbaniana, Roma, Italia pada tahun 1981.