Suara.com - Intoleransi antarumat beragama masih menjadi tantangan Indonesia menuju negara yang damai. Dalam 2 tahun terakhir, agama dengan terang-terangan dimanfaatkan sebagai alat politik. Akhirnya, diskriminasi dan kekerasan atas nama suku, ras, agama dan antargolongan terjadi.
Hal itu juga menjadi renungan Natal di Keuskupan Agung Jakarta tahun ini. Gereja cemas bangsa Indonesia sedang terancam perpecahan.
Suara.com menemui Monsinyur Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo di ruang kerjanya sebagai Uskup Agung Jakarta, di Gereja Katedral pekan lalu. Romo Suharyo merupakan pemuka agama Katolik yang sering dimintai pendapat oleh presiden tentang berbagai hal menyangkut perdamaian.
Hanya saja ancaman perpecahan tidak hanya mengancam Indonesia, namun juga dunia. Baru-baru ini ramai kontroversi pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pengakuan itu tidak hanya memecah umat beragama, tapi pemengancam perdamaian dunia.
Tragedi kemanusiaan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya pun tidak luput dari keresahan dunia, termasuk pimpinan Umat Katolik Sedunia, Paus Fransiskus. Suharyo mengatakan, seluruh umat berbagai agama dan latarbelakang di Indonesia harus bergerak atas nama kemanusiaan.
Dalam suasana Natal kali ini, Mgr Suharyo pun memberikan pesan ke Umat Kristen yang masih belum bisa beribadah dengan bebas. Misalnya saja Jemaat GKI Yasmin di Kota Bogor dan Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, yang terganjal dalam membangun gereja.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Mgr Suharyo:
Apa pesan Natal tahun 2017 di Keuskupan Agung Jakarta?
Dalam natal tahun ini diharapkan kita menjadi manusia baru yang menyatukan. Persatuan kita dalam bahaya.
Saat ini kita sedang cemas. Persatuan kita sebagai bangsa Indonesia sedang terancam perpecahan. Keresahan dan kecemasan itu semakin terasa beberapa tahun belakangan ini. Ada pihak-pihak yang, entah secara samar-samar atau pun secara terang-terangan, tergoda untuk menempuh jalan dan cara yang berbeda dengan konsensus dasar kebangsaan kita, yaitu Pancasila.
Hal itu terlihat dalam banyak aksi dan peristiwa: dalam persaingan politik yang tidak sehat dan yang menghalalkan segala cara, dalam fanatisme yang sempit, bahkan yang tidak sungkan membawa-bawa serta agama dan kepercayaan, dan dalam banyak hal lainnya.
Dengan demikian, hasrat bangsa kita untuk menciptakan damai sejahtera menjadi sulit terwujud.
Cita-cita luhur bangsa Indonesia, sebagaimana diungkapkan dalam Pembukaan UUD 1945, untuk menciptakan persatuan, keadilan sosial dan damai sejahtera, bukan saja di antara kita, tetapi juga di dunia, masih perlu kita perjuangkan terus bersama-sama.
Sistem dan mekanisme demokrasi masih perlu kita tata dan benahi terus agar mampu mewujudkan secara efektif cita-cita bersama kita. Tentu saja hal ini tidaklah mudah.
Sebagai elemen bangsa, yang adalah kawanan kecil, kita, umat Kristiani tidak mampu menyelesaikan semua persoalan yang kita hadapi hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Inilah saatnya bagi kita untuk membiarkan damai Kristus memerintah dalam hati.
Kristen masih menjadi sasaran diskriminasi oleh kelompok intoleran. Mulai dari larangan menggunakan atribut Natal sampai izin pembangunan gereja. Sebenarnya, apa yang perlu dilakukan umat Kristen untuk menanggapi hal itu?
Yang objektif, mengacu pada peraturan 2 menteri. Kalau dari Gereja Katolik, kami ikuti apa pun yang diputuskan pemerintah, itu jalan tengah. Sebab masyarakat Indonesia belum siap dengan pelaksanaan dasar hak asasi manusia yang ditetapkan PBB.
Maka itu, gereja Katolik sederhana saja, ikuti peraturan yang ada, dan berharap pemerintah daerah juga ikuti peraturan yang sama. Nyatanya sering kali Pemda tidak melaukan itu. Itu yang jadi masalah.
Gereja Katolik tidak terlalu melakukan mendesak-desakan pemerintah untuk memberikan izin pembangunn gereja. Kalau harus menunggu 20 tahun, kami akan tunggu.
Ada kasus pembangun gereja di Bekasi yang sempat tidak diizinkan untuk dibangun. Padahal sudah memenuhi semua syarat, izin pun ditanda-tangani Wali Kota, tapi ada sekian banyak orang yang tidak setuju.
Wali Kota pun pasang badan, dan menyatakan mempunyai rumah ibadah dan beribadah adalah hak warga negara dan kota Bekasi yang harus dilindungi. Saya kagum jika pimpinan derah seperti itu. Tapi banyak di tempat lain tidak seperti itu.
Jadi, umat Kristen harus sabar, tidak ada cara lain. Sebab pertimbangannya bukan hanya soal hak, tapi jangan sampai mengorbankan yang lebih besar. Jadi lebih baik sabar menunggu.
Jadi kalau pun pendirian rumah belum diizinkan, kami jangan dilarang beribadah.
Saya berharap pemerintahan kuat berpegang pada konstitusi, bukan berpegang pada landasan agama atau yang lain. Jika konstitusi dijalankan, Indonesia akan maju.
Apakah Keuskupan Agung Jakarta pernah mengungkapkan hal ini dengan presiden atau pihak Istana tentang diskriminasi itu?
Sering, tapi tidak dengan presiden langsung. Tapi dengan pihak-pihak yang terkait, salah satunya ke Forum Kerukunan Umat Beragama.
Saya pernah satu kali datang ke Menteri Agama. Biasanya kalau pimpinan umat lain menyampaikan keluhan ke menteri, saya tidak. Saat itu saya katakan, saya datang tidak untuk menambah bebas pak menteri. Lalu dia lega.
Dengan presiden, ada 2 hal ditanyakan kepada saya. Saya dipanggil sebagai tingkat konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Kedua, dipanggil sebagai pimpinan agama yang lain. Dua hal yang dibicarakan.
Pertama soal Papua. Saya mengatakan tidak tahu apa-apa soal Papua, karena masing-masing Keuskupan Agung itu otonom dan tanggungjawabnya langsung ke Paus Vatikan. Silakan presiden, bertemu dengan Uskup Papua, dia sangat tahu dengan Pupua, dan harus masuk ke pedalaman. Bagaimana kesehatan dan pendidikan sangat keterbelakang. Itu hanya bisa dilihat dengan langsung ke sana.
Selain itu kami bicara soal keagamaan, terutama saat kejadian Tolikara. Ketika ditanya soal isu toleransi dan kekerasan, saya mengatakan percaya bahwa NU dan Muhammadiyah akan memainkan peranannya yang besar di Indonesia untuk menangkal aliran radikal.
Jika NU dan Muhammadiyah menjalankan peranan yang besar itu, masa depan Indonesia akan bagus dan masalah SARA akan diatasi. Kedua, saya yakin TNI dan Polri kompak, Indonesia akan selamat.
Beberapa pekan lalu Paus mengunjungi camp pengungsian Rohingya di Bangladesh. Paus mengatakan urusan Rohingya adalah urusan dunia. Dalam konteks Indonesia, apa yang harus dilakukan negara pada umumnya dan umat Katolik pada khususnya?
Paus mengunjungi Myanmar dan Bangladesh karena menurut beliau, itu adalah negara-negara di Asia yang paling banyak penderitaannya.
Paus selalu memilih tempat yang seperti itu karena mengajak kami-kami ini, “pergilah ke pinggiran”. Artinya tempat yang paling tidak diperhatikan dan menderita.
Waktu di Myanmar, Paus dikritik tidak berani menggunakan kata “Rohingya”. Alasannya karena Vatikan adalah sebuah negara, Paus sebagai pimpinan negara harus menghormati aturan negara setempat. Karena di Mynamar, istilah Rohingya tidak boleh dipakai. Kalau Paus gunakan itu, Paus bisa diusir.
Sementara saat masuk Bangladesh, beliau pakai kata Rohingya.
Gereja di Indonesia, hanya bisa bergerak di bidang kemanusiaan, tidak bisa berpolitik. Soal Rohingya ini bencana kemanusiaan, Keuskupan Jakarta sudah membantu pengungsi Rohingya.
Kami kerjasama dengan Keuskupan di Myanmar. Dikirimkan lewat Keuskupan Agung di sana, dikirimkan ke 4 daerah yang paling parah.
Dunia juga dibuat marah dengan pengakuan Donald Trump Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Bagaimana pandangan Anda?
Pertama, semua anggota PBB musti taat kepada keputusan PBB. Tidak membuat jalan sendiri. Kedua, jika melihat akibat dari keputusan Trump, sama sekali bertentangan dari nama Yerusalem sebagai kota damai. Sementara keputusan Trump membuat ribut di mana-mana. Menimbulkan reaksi dunia.
Keputusan Trump sangat tidak bijaksana. Trump menandatangani keputusan kongres yang keputusan itu tidak ditandatangani presiden sebelumnya.
Itu namanya sok jago.
Sejauh mana peran gereja dalam menanggulangi isu intoleransi dan ancaman disintegrasi bangsa? Termasuk soal isu kelompok radikal yang ingin mengubah dasar negara.
Di Keuskupan Agung Jakarta ada tim Dewan Karya Pastoral. Mereka bersama-sama untuk merumuskan arah dasar gereja, setiap 5 tahun diubah atau juga dimodifikasi. Dasar itu harus diikuti oleh pastoral.
Sementara yang mejadi dasar gereja di Keuskupan Agung Jakarta dari 2016-2020, kata kuncinya ‘Amalkan Pancasila’. Nantinya akan dijadikan sebuah gerakan.
Mengapa memutuskan gereja membuat dasar ‘Amalkan Pancasila’?
Tahun 2003, saya menjadi sekertaris jenderal KWI. Pada waktu itu, kami prihatin soal pancasila. Sebab pancasila tidak pernah disebut-sebut lagi di koran bahkan di jalan-jalan juga tidak ada. Selain itu kondisi soal ekonomi saat itu, khususnya berkaitan dengan sila kelima: kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ternyata hilang dari cita-cita bangsa. Kepentingan kelompok, politik dan segala macam meghapus cita-cita sila kelima.
Maka itu KWI selama 3 tahun berlajar bersama ahli-ahli khusus mengenai sila kelima pancasila. Karena kalau sila kelima itu beres, maka penerapan sila-sila yang lain akan beres juga. Sesuadah 3 tahun belajar dan mengeluarkanpernyataan, buku panduan dan studi.
Tapi setelah tahun 2006, keadaan negara tidak berubah. Sementara intoleransi semakin kelihatan dan semakin jelas.
Indonesia dipuji oleh negara lain soal pancasila, sementara Indonesia tidak berusaha menjadikan pancasila itu sebagai pedoman hidup dan landasan dalam bernegara. Bukan hanya konseptual.
Tahun 2015, saya ikut pertemuan internasional para pemimpin agama. Mulai Yahudi, Kristen, Budha, dan Islam dari berbagaimacam aliran. Setiap pimpinan agama bisa bicara selama 3 menit, saya bicara soal pancasila. Tapi pihak kerajaan Yordania juga bicara soal pancasila, tapi lebih lama selama 15 menit.
Saya terkagum-kagum. Kenapa kerajaan Yordania bicara soal pancasila dan sangat lama, sehingga orang yang belum tahu tentang pancasila dan Indonesia menjadi tahu. Mereka menyebut “Pancasila” atau “five principles of Indonesia”.
Bahkan Duta Besar Vatikan Mgr. Piero Pioppo, juga bicara soal pancasila di konverensi KWI.
Orang asing menghargai pancasila dan sejarah mengakui jika pancasila membuat hidup harmonis seluruh rakyat Indonesia dan menyatukan semua perbedan, mestinya kita sungguh-sungguh mengamalkan pancasila itu. Terutama 500 ribu orang di Keuskupan Jakarta.
Kami ingin mengajak umat untuk menghayati, mengamalkan dan mewujudkan pancasila.
Tahun 2016, kami mempelajari sila pertama. Sekarang tengah mempelajari sila kedua. Nanti tahun-tahan berikutnya, mempelajari sila-sila yang lain.
Pancasila itu ideologi, supanya bisa menjadi realitas hidup, kami menempuh 3 jalan. Konsep itu diterjemahkan jadi gagasan. Misalnya, “kemanusiaan yang adil dan beradab” itu bentuknya tertib lalu lintas. Itu bukti peradaban.
Jika negara-negara yang sudah maju perdabannya, tidak ada orang yang seenaknya berlalu lintas, semua tertib. Tidak ada pemotor lewat trotoar.
Jadi saya mengeluarkan seruan, umat Katolik jangan ikut-ikut tidak tertib lalu lintas. Dengan begitu mereka harus membangun diri yang beradab.
Bagaimana gereja bisa menterjemahkan gerakan sosial ini dalam konteks yang lebih luas, sehingga bisa dicontoh oleh umat beragama lain?
Kalau umat Katolik melakukan gerakan sosial, jangan atas nama gereja. Tapi hubungi RT dan RW, dan mengatakan jika gerakan itu bukan hanya umat Katolik. Sehingga menjadi gerakan masyarakat.
Contohnya, di Gereja Santa Odilia, Cikupa, Tangerang, Banten. Di sana, sebelum misa ada upacara bendera. Yang menjadi komandan upacara, ketua GP Ansor kecematan di sana.
Itulah cara merajut kebangsaan, tidak atas nama agama. Setelah misa, jemaat kembali bertemu dengan GP Ansor dan bicara banyak soal toleransi dan meyakinkan diri jika umat beragama di Indonesia tidak bisa dipecah-pecah.
Gerakan ini jangan hanya sesekali, tapi harus rutin.