Lampung Timur mempunyai jejak kisah pelanggaran HAM masa lalu di Talangsari. Ini belum terselesaikan. Sejauhmana upaya Anda untuk menyelesaikan kasus ini?
Pemerintah daerah tidak mungkin menyelesaikan secara tuntas persoalan Talagsari, karena bukan di ranah Pemda untuk menyelesaikannya. Di Kabupaten, kami bicara tentang ranah kabupaten hari ini dengan memberikan pelayanan yang sama kepada warga Talangsari.
Terutama dalam akses pendidikan dan kesehatan. Paling sering kami nonton bareng flm-film inspiratif. Semisal ‘Laskar Pelangi’. Saya ingin anak-anak mempunyai cita-cita.
Saya sebagai bupati, asli lampung timur dan lahir di desa yang terisolir, bahkan sekolah SMP baru ada di zaman saya, sehingga saya SMP angkatan pertama. Teman-teman 1 kelas saya dari SD sampai SMP adalah mantan TKI dari Timur Tengah. Saya bukan mengecilkan tenaga kerja Indonesia.
Tapi minimnya akses pendidikan membuat banyak warga tidak bisa mengakses. Saya sarjana pertama di kampung. Saya dulu nggak berani bermimpi, karena sudah kuliah saja sudah bersyukur.
Saya hanya menjawab cita-cita hanya ingin sekolah. Jadi dengan menonton film inspiratif itu, anak-anak di kampung berani bermimpi untuk menempatkan bintang di langit, sampai satu saat akan meraihnya.
Bagaimana pelaksanaan nyata HAM di Lampung Timur?
Hak atas kebebasan beragama, secara aktif kami berlaku adil. Bukan hanya membangun Islamic centre, kami juga membangun Pura Segara, karena warga Hindu cukup banyak di Lampung. begitu juga pemberian insentif untuk guru agama. Sejak 2016, kami ubah menjadi insentif untuk guru agama, bukan hanya untuk guru ngaji.
Selain itu hak untuk kesehatan. Ada dua lapis dari pemerintah pusat memberian BPJS. Kami pun memberikan program yang berasal dari dana daerah. Di rumah sakit ada anggaran untuk siapa pun yang sifatnya dana darurat.
Fasilitas itu juga untuk warga dari luar lampung timur. Jadi ada beberapa persen dana dari BLUD yang disisihkan untuk dana darurat.
Sebenarnya kegiatan perwujudan sebagai kabupaten ramah HAM, itu secara langsung memberikan perbaikan keamanan. Karena dengan duduk bersama, sehingga antar warga silahturami dengan cukup kencang.
Tapi Lampung Timur masih mempunyai masalah di infrastruktur yang masih parah. Sehingga investor agak sulit masuk.
Apakah ada dana khusus untuk program HAM?
Kalau program itu kita buat untuk memikirkan rakyat, tidak perlu dana khusus untuk HAM. Jadi kita ini ibaratnya, mengembalikan program itu pada jalan semestinya. Tidak ada dana khusus untuk HAM saja.
Esensi dari pelayanan pemerintah untuk warganya saja perwujudan HAM untuk warganya itu sendiri. Kalau bicara soal kesehatan, tidak perlu ditambahkan dana khusus HAM. Tapi selama dalam kebijakannya tidak boleh ada orang yang tidak punya akses kesehatan. Itu nyambung dengan HAM. Di pendidikan, tidak boleh ada anak-anak yang tidak mempunyai akses sekolah.
Apa yang masih belum ideal dari program yang Anda jalankan?
Belum semua pihak menganggap ini penting. Misal soal intoleransi, belum semua paham ini merupakan hak asasi. Jangan sampai ada pihak yang didorong untuk mengalah karena takut ada keributan. Padahal itu sudah terjadi intoleransi.
Sehingga masih ada 1 sampai 2 kelompok yang dikalahkan dan harus mengalah. Yang paling sensitif berkaitan dengan berkeyakinan dan adat.
Biografi singkat Chusnunia Chalim
Chusnunia Chalim lahir di Karang Anom, Waway Karya, Lampung Timur, 12 Juli 1982. Dia salah satu bupati muda dan berprestasi. Nunik, sapaan akrabnya menjabat sebagai bupati Lampung Timur sejak 17 Februari 2016.
Sebelum menjadi bupati, dia merupakan Anggota DPR-RI periode 2014-2019 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Dapil Lampung II. Nunik merupakan Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB (2009-2014) dan juga mantan Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan juga mantan Bendahara Umum PKB, Erman Soeparno (2007-2008).
Nunik mendapatkan gelar sarjana ilmu syariah di Universitas Islam Negeri (IAIN) Walisongo. Lalu master ilmu politik di Universitas Nasional Jakarta.
Dia sudah tertarik akan isu-isu politik sejak di bangku kuliah. Berawal dari bekerja menjadi Sekretaris di divisi Redaksi Jurnal Justisia di Surakarta (2001-2002) dan menjadi Kepala Divisi Eksternal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Tengah pada Pileg 2004, minat dan semangat politik Chusnunia semakin terbangun.
Di 2004 Chusnunia bergabung menjadi kader dan juga staf dari PKB di Jawa Tengah. Chusnunia dipercaya menjadi Kepala Administrasi dan Keuangan dari Fraksi PKB di DPRD Provinsi Jawa Tengah (2004-2005). Karena kinerjanya yang baik, Chusnunia diminta untuk menjadi Staf di DPP PKB di Jakarta (2005-2008).