Chusnunia Chalim: 'Nekat' Jadikan Lampung Timur Ramah HAM

Senin, 18 Desember 2017 | 07:00 WIB
Chusnunia Chalim: 'Nekat' Jadikan Lampung Timur Ramah HAM
Bupati Lampung Timur Chusnunia Chalim. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Memimpin sebuah kabupaten di Provinsi Lampung di usia muda, membuat publik menyebut Chusnunia Chalim sebagai bupati zaman now. Sejak awal 2016, Nunik memimpin Kabupaten Lampung Timur.

Pastinya tidak banyak yang mengenal kabupaten ini, begitu kata Nunik membuka perbincangan dengan suara.com saat menemuinya di sela-sela pertemuan kabupaten/kota ramah HAM di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan pekan lalu.

Sebagai bupati muda, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mempunyai banyak inovasi di daerahnya. Tidak heran, Nunik disejajarkan dengan beberapa bupati berprestasi lainnya, seperti Bupati Bojonegoro Suyoto dan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo. Mereka membangun kotanya yang ramah HAM.

Ramah HAM, menurut Nunik diukur dari keadilan yang didapatkan warganya. Mulai dari fasilitas kesehatan, pendidikan sampai kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan.

Memimpin daerah kecil dan mempunyai angka kemiskinan tinggi, membuat Nunik harus memutar otak agar pesan HAM dia sampai ke warganya.

“Dengan ketimpangan dan kemiskinan yang tinggi, akan susah bicara keadilan dan HAM,” kata dia.

Nunik pun menghadapi masalah ketika tidak banyak warganya yang sadar dengan pentingnya memahami hak asasi manusia di masa kini. Di sisi lain Lampung Timur mempunyai masa lalu kelam pelanggaran HAM berat, yaitu tragedi Talangsari.

Dengan berbagai kekurangan Lampung Timur, Nunik mengambil langkah ‘nekat’ dengan menerbitkan Peraturan Bupati tentang Kabupaten Ramah HAM. Dengan adanya peraturan itu, Nunik ‘dikunci’ untuk tidak melanggar HAM kepada warganya.

Suara.com menemui Nunik, dan dia banyak cerita tentang terobosan menjadikan Lampung Timur sebagai kawasan ramah HAM dan kabupaten layak anak. Banyak cerita seru cara dia mewujudkan berbagai terobosannya.

Berikut wawancara lengkapnya:

Lampung Timur dipuji karena membuat peraturan kabupaten ramah HAM. Bisa Anda ceritakan?

Pemeritah daerah ingin menerapkan human rights city atau tidak, sebenarnya tanggungjawab pemerintah daerah itu mewujudkan HAM untuk rakyatnya. Ketika pemerintah daerah menjalankan kewajibannya, otomatis mewujudkan HAM. Itu tugasnya, namanya pelayan abdi negara sudah pasti pemerintah daerah harusnya seluruh programnya untuk perwujudan HAM.

Itu titik tekan, apa yang saya lakukan.

Implementasi dari HAM diwujudkan dalam Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Timur 2016-2021. Ini meliputi hak hidup, hak perempuan, hak anak, hak rasa aman, dan kesejahteraan.

Semua itu kami tuangkan ke peraturan-peraturan di daerah. Sebab saya sangat sadar bahwa periodesasi atau jabatan bupati hanya 5 tahun, sementara kalau bupati itu menang kembali bisa sampai 10 tahun.

Tapi apapun bisa terjadi dalam perjalanan itu. Karena dengan keadaan politik di Indonesia, saya bisa siapkan diri, apapun bisa terjadi. Maka itu program HAM ini saya kunci di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Bagaimana dengan pemerintahan sebelumnya?

Pemerintah Kabupaten Lampung Timur sebelumnya belum mengenal kota ramah HAM, tapi sudah banyak membuat aturan yang mengarah ke sana. Semisal Perbup Nomor 9 Tahun 2009 tentang Subsidi Dana Pendidikan, Perbup Nomor 29 Tahun 2012 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah,  Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Lampung Timur, dan Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan dan Perlindungan Tenaga Kerja.

Saya hanya melanjutkan saja, karena banyak aturan yang belum dijalankan. Kedua, banyak aturan yang dibuat tapi masih masih banyak yang bolong. Jadi saya melengkapi agar sistematis dan holistik.

Justru Anda memulai dengan menerbitkan Perda tentang kabupaten layak anak....

Saya mulai dari awal 2016, Perda Nomor 5 Tahun 2016 tentang Kabupaten Layak Anak yang disahkan Febuari 2916. Saat itu awal saya memimpun, saat ini sendang total dijalankan.

Pekan pertama menjadi bupati, saya dihadapkan pada kasus nasional, ada anak-anak terbunuh dan mendapatkan kekerasan fisik. Setelah dibuka datanya, dari 15 kabupaten dan kota di Lampung, tingkat kekerasan pada anak di Lampung Timur paling tinggi.

Karena itu, kami memberanikan diri dengan modal nekat. Dengan keadaan angka kemiskinan melebihi angka kemiskinan provinsi. Usia sekolah hanya 7,2 tahun, artinya baru naik kelas 2 SD, lalu beberapa bulan langsung drop out.

Saat itu Lampung Timur yang subur, tapi miskin dan banyak persoalan. Dengan kondisi itu, kami memberanikan kambupaten Lampung Timur harus menjadi kabupaten layak anak.

Saya mulai dari 24 desa yang kami dampingi secara fokus mejadi desa ramah anak. Terutama desa-desa yang berkasus. Di mana ada 1 desa, dalam waktu 2 pekan ada kasus kekerasan anak sampai meninggal.

Setelah kami teliti, desa rentan kejadian seperti itu karena lokasi bersebelahan dengan hutan. Kemudian, fasilitas dan minim. Kami kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Provinsi Lampung Timur, hampir setiap pekan ada kegiatan di desa-desa. Kami berikan fasilitas dan perlengkapan untuk menjadi desa yang layak anak.

Bagaimana dengan inisiasi kabupaten ramah HAM?

Akhir tahun 2016, kami memberanikan diri, setelah belajar di Bojonegoro khusus tentang kabupaten ramah HAM. Kami juga berdiskusi dan mengadakan FGD, sampai ada berkesimpulan ternyata bukan hanya menjadi kabupaten layak anak, tapi kami ingin Lampung Timur bisa menjadi kabupaten ramah HAM.

Kami masukan dalam peraturan bupati tentang kabupaten ramah HAM, Perbup Nomor 48 Tahun 2016 tentang Kabupaten Ramah HAM. Saya agak memaksanakan ke dinas untuk tidak takut mengarap isu HAM ini.

Bagaimana Anda ‘membumikan’ isu HAM ini ke warga?

Meski pada awalnya ada yang beranggapan HAM ini bukan isu seksi dan nggak penting. Bahkan, dianggap hanya kelas tertentu dan sangat eksklusif. Saya mengubah cara diskusi, cara bicara tentang HAM dan mengajak warga untuk peduli HAM.

Warga diajak untuk praktik dan tidak bicara di dalam ruangan. Seperti apa sih menghormati perbedaan? Seperti apa menghormati keberagaman? Seperti apa menghormati keberagaman dan pluralisme?

Anak-anak di Lampung Timur diajak menari bersama dan kita minta menggunakan baju adat asli keturunan mereka. Lampung Timur ini seperti mininya Indonesia karena warganya berasal dari beragam latar belakang.

Mereka semalaman camping bersama, duduk bersama,  masak bersama, dan makan bersama. Jadi tidak banyak bicara soal HAM. Kami hanya memberikan banyak ilustrasi, semisal lebih asik mana banyak warna atau hanya satu warna? Lalu juga diajak bernyanyi.

Jika generasi millennial diajak bicara HAM di ruangan, begitu selesai akan lupa sendiri. Jadi kami datangkan pembicara yang bisa memberikan pandangan tentang HAM secara mudah.

Di Lampung Timur, tiap pekan diadaan event serupa dengan melibatkan anak-anak dengan ber-camping. Kami siapkan anak-anak yang biasa mendengar suara yang berbeda, melihat warna yang berbeda dan kondisi yang berbeda.

Ketika kebijakan tersebut tidak mengarah pada keadilan, maka potensi intoleransi dan perpecahan akan datang. Begitu juga dengan ketimpangan dan kemiskinan yang tinggi, akan susah bicara keadilan dan HAM.

Birokrasi pemerintahan sering kali menjadi penghambat saat proses implementasi kebijakan. Bagaimana Anda membangun komunikasi antar pemerintah dan warganya?

Sementara Lampung Timur mempunyai angka kemiskinan tinggi dengan berbarengan dengan angka kriminal yang tinggi. Sudah 2 tahun kami berupaya agar kabupaten Lampung Timur menjadi kabupaten yang ramah HAM dan mendobrak penyumbat komunikasi.

Kami membuka jalur komunikasi dengan warga lewat jalur mana pun. Bisa lewat telepon, SMS, WhatsApp, dan kami juga ada pertemuan rutin tiap Kamis. Jadi pemerintah menemui warga, dari pagi sampai pukul 12.00. Ada perwakilan dinas, bahkan saya menemui warga.

Warga bebas menyampaikan keluhan dan masukannya. Kami monitor dan dibuat tindak lanjutnya. Tapi ada hal yang tidak bisa diwujudkan dengan instan, misalnya pembuatan jembatan. Tapi ada yang langgung ditinjak lanjuti.

Sudah 3 bulan, setiap pekan, saya harus mendapatkan laporan dari call centre, hasil menemui warga, bahkan dari medsos. Itu semua kami jadikan bahan rapat, apa saja masukan dari warga.

Setiap sepekan sekali kami evaluasi, SKPD mana yang mendapatkan pengaduan paling banyak dan posisi tindak lanjutnya sudah sampai mana.

Jadi tahapannya, laporan yang masuk, akan dikomunikasikan dan follow up, lalu kami kejar sampai persoalan selesai. Jika klasifikasi ringan, SKPD kami beri waktu 3 hari untuk menyelesaikannya. Misal ada orang miskin sakit, sehari saja harus selesai masalah itu.

Karena kami punya program bantuan untuk warga miskin. Jadi, tidak ada cerita warga Lampung Timur yang tidak punya uang, tidak bisa masuk rumah sakit.

Kami mempunyai prioritas, akses pendidikan, kesehatan, pertanian dan pariwisata. Selama terkait akses itu, dan bisa ditanggung dari dana pemeriharaan dan gotong royong. Sehingga bisa ditindak lanjuti dengan klasifikasi jangka pendek.

Kita kasih waktu maksimal 2 pekan. Jika jangka panjang yang berkaitan dengan dana besar, seperti untuk membangun jalan dan infrastruktur, tidak bisa cepat selesai. Karena dananya tergantung dari pusat. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI