Wayan Suparta: Ancaman Perubahan Iklim Tenggelamkan Indonesia

Senin, 11 Desember 2017 | 07:00 WIB
Wayan Suparta: Ancaman Perubahan Iklim Tenggelamkan Indonesia
Ilmuwan Fisika dan Perubahan Iklim yang menjelajah Antartika, Wayan Suparta. (dok Pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wayan Suparta, termasuk ilmuwan ‘langka’ yang menggeluti fisika. Dia ilmuwan pertama Indonesia yang membawa penemuannya ke Antartika, sebuah kawasan misterius di muka bumi.

Profesor fisika elektro itu menemukan sebuah alat yang bisa memprediksi perubahan iklim di kawasan katulistiwa, termasuk Indonesia dan Asia Tenggara. Alat itu, parameter cuaca yang lebih sensitif. Alatnya itu diuji di Antartika.

Terakhir, Wayan ke Antartika Awal tahun 2017 saat usianya 49 tahun. Itu bukan yang pertama, Wayan sudah menjelajah Antartika sejak 2008. Sudah 5 kali Wayan ke sana. Bahkan ekspedisinya diabadikan dalam sebuah perangko oleh Kerajaan Malaysia.

Perango Wayan Suparta di Antartika. (dok pribadi)

Memorial kesuksesan penelitian Antartika dalam perangko oleh Kerajaan Malaysia (dok pribadi)

Dia fokus ke riset soal meteorologi ruang angkasa, hal baru untuk Indonesia. Lelaki yang saat ini menetap di Yogyakarta itu adalah bagian dari Space Science Centre (ANGKASA) Universitas Kebangsaan Malaysia.

Isu perubahan iklim bagi Indonesia masih ‘elitis’, bahkan tidak menjadi isu pertama di media massa mainstrem atau arus utama. Padahal, Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi kawasan yang paling pertama terdampak perubahan iklim. Sederhananya, jika bumi semakin  panas, es Antartikadi Kutub Selatan akan mencair dan membuat permukaan laut naik. Salah satu yang akan tenggelam adalah Indonesia. Namun prosesnya tentu tidak sesederhana itu.

Menurut Wayan, Indonesia perlu serius menanggapi perubahan iklim. “Perubahan iklim, menurut saya sudah terjadi. Lihat saja, cuaca sudah tidak menentu,” kata Wayan.

Timbulnya berbagai badai atau juga siklon tropis menunjukan ada gejala tak biasa di iklim dunia. Karena itu juga, Wayan konsisten menggeluti isu perubahan iklim.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

 Kedatangan Wayan di Carlini Base, Antartic Peninsula, Januari 2017. (dok pribadi)

Lewat temuannya itu, Wayan ingin warga dunia bisa mengantisipasi dampak perubahan iklim lewat prakiraan. Temuan terbesarnya adalah Troposheric Water Vapour. Apa itu?

Suara.com berbincang dengan Wayan pekan lalu. Dia banyak cerita tentang pengalaman risetnya di Antartika. Selain itu, dia menganalisa soal dampak perubahan iklim untuk Indonesia.

Berikut wawancara lengkapnya:

Tak banyak Ilmuwan Indonesia mempunyai kesempatan untuk melakukan penelitian sampai Antartika. Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi ilmuwan iklim dan apa menariknya meneliti hal ini?

Latar belakang saya ilmu fisika elektro. Di Antartika, saya membangun sistem yang bisa mengkaji cuaca dan iklim atau mengukur parameter cuaca dan iklim. Mengapa iklim yang jadi prioritas? Karena saat ini sudah terlihat banyak perubahan cuaca ekstrem.

Misal, seharusnya sudah hujan di September-Oktober, tapi mundur. Itu khusus iklim di Indonesia.

Sementara iklim di negara lain juga mengalami perubahan, yang seharusnya maju menjadi mundur dan sebaliknya. Itu namanya perubahan iklim global. Perubahan iklim mudah diamati lewat fenomena di kutub selatan.

Cuaca ekstrem di Antartika mungkin 1.000 kali lebih tinggi daripada di kawasan beriklim normal.

Iklim di Antartika berubah setiap menit dan hampir tidak bisa diprediksi dengan mudah. Menariknya, belum ada model dengan tepat untuk memprediksi cuaca di Antartika.

Jadi model yang untuk memprediksi cuaca di kawasan katulistiwa, harus diuji ke Antartika untuk mengetahui model itu bagus atau tidak.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Bus angkutan dari Airport McMurdo ke stasiun Scott Base, Antartika Desember 2009. (dok pribadi)

Anda orang Indonesia pertama yang ke Antartika?

Saya rasa, iya. Tapi tidak tahu pasti. Tapi saya ilmuan Indonesia pertama yang membawa riset ke Antartika. Saya pertama kali ke Antartika tahun 2008, lalu yang kelima kali tahun 2017 ini. Tahun 2017 ini, saya ekspedisi ke Antartika lewat Argentina. Sebelumnya 2008 dari New Zealand.

Riset itu dibiayai oleh Kerajaan Malaysia lewat dana hibah. Dana hibah pertama diberikan tahun 2003 sebesar Rp2 miliar dan tahun 2014 sebesar Rp30 miliar. Jadi beberapa tahun kemudian setelah dapat dana pertama itu, baru bisa ke Antartika.

Sebab tidak mudah ke Antarika, harus lewat banyak prosedur dan kerjasama antarnegara yang kami lewati. Bahkan harus berkolaborasi dengan ilmuwan negara lain. Sebab harus ada stasiun yang menampung saya selama riset di Antartika.

Bagaimana untuk mendapatkan dana hibah itu? Sementara Anda ilmuwan Indonesia?

Saya mempunyai penemuan saat menempuh program doktor di Fakultas Teknik Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Penemuan itu berupa sebuah model pengukuran cuaca yang sebenarnya dibuat untuk peluncuran satelit. Saya menggunakan teknik GPS (Global Positioning System).

Saya gunakan GPS untuk mengukur cuaca, itu lah penemuan saya untuk S3 dulu.

Lewat penelitian itu, saya mendapatkan dana hibah dari Kerajaan Malaysia untuk ke Antartika. Dana itu tidak diberikan begitu saja, melainkan lewat persaingan ketat dengan ilmuan lain, terutama dari Malaysia.

Sehingga bisa dikatakan, saya mewakili Malaysia ke Antartika, tidak membawa bendera Indonesia.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Pergantian antena GPS di Scott Base, Antartika, Desember 2008. (dok pribadi)

Apa tantangan yang Anda hadapi saat di Antartika?

Jika tantangan fisik, tidak ada. Sebab sebelum ke Antartika, sudah menjalani berbagai tes kesehatan yang ketat. Karena di sana menghadapi cuaca yang ganas, jika kedinginan akan lari ke otak dan kita akan mati.

Dengan berkolaborasi dengan negara lain, pakaian dan kebutuhan saya sudah disiapkan di sana.

di Antartika, saya riset selama 2 minggu, itu pun tergolong waktu yang lama sekali. Karena saya datang ke sana tinggal memasang alat dan mengukur untuk mendapatkan data. Alatnya sudah dirancang di Malaysia.

Secara ringkas, bagaimana hasil riset Anda di Antartika?

Bagaimana saya membangun sistem yang bisa mengukur cuaca di Antartika. Saya menciptakan parameter baru atau parameter cuaca yang mengukur uap air atmosfer di Antartika. Sebab uap air atmosfer merupakan salah satu parameter penting dalam teknik peramalan cuaca modern.

Pengukuran ini menggunakan GPS atau sistem pemosisi global (Global Positioning System). Serta menggabungkan pendekatan remote sensing (perolehan informasi tentang suatu objek atau fenomena tanpa melakukan kontak fisik dengan objek) dan ilmu alam dengan teknik telekomunikasi.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Pemasangan sensor petir di Carlini Base, Antarctic Peninsula, Febuari 2017. (dok pribadi)

Kandungan uap air atmosfer berhasil ditentukan dan diukur. Sistem yang saya buat bernama TroWav atau Troposheric Water Vapour. Ini adalah penemuan terbesar saya. Baru bisa diaplikasikan setelah beberapa kali diuji coba untuk melihat perubahan iklim.

Saya juga menemukan model, bagaimana menghubungkan iklim di kutub dengan di katulistiwa, misal di Malaysia dan Indonesia melalui matahari. Saya meneliti lapisan ionosfer yang dipengaruhi oleh aktivitas surya dengan lapisan bawah atau troposfer yang mempengaruhi cuaca di Bumi.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Pemasangan antena GPS di Carlini Base, Antartika, Febuari 2017 untuk kajian ionosfer. (dok pribadi)

Sehingga ini bisa menjelaskan bagaimana perubahan radiasi matahari bisa mempengaruhi suhu di Bumi. Serta bagaimana matahari dapat mempengaruhi iklim di Bumi. Hasilnya, meningkatkan ketepatan ramalan cuaca.

Jadi apa goal dari riset itu?

Saya bisa memprediksi perubahan iklim di kawasan kutub. Lewat riset itu, bisa menciptakan sebuah parameter cuaca yang lebih sensitif untuk meneliti perubahan iklim global.

Mengapa Anda lebih memilih berkarier di Malaysia?

Selepas menyelesaikan master di ITB, saya tidak muluk-muluk, mau jadi dosen saja. Tahun 2000, lebih dari 50 lamaran disebar, tapi universitas di Indonesia tidak ada yang memanggil.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Wayan mendarat di Rio Gallegos, Argentina dari Antartika, Febuari 2017. (dok pribadi)

Sementara ada lowongan di Malaysia dan lulus tes, saya ambil saja. Sudah hampir 20 tahun saya di sana sejak tahun 2000, empat bulan lalu saya pulang. Status saya secara de facto di Malaysia adalah profesor, tapi surat keputusannya (SK) belum keluar karena Malaysia mengalami masalah ekonomi dan saya memilih mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.

Lajutkan ke halaman 2...

Perubahan iklim masih menjadi istilah elitis untuk publik Indonesia. Isu lingkungan pun masih ditempatkan di prioritas paling bawah dalam pemberitaan. Anda bisa jelaskan, seberapa penting perubahan iklim berpengaruh untuk Indonesia?

Masalahnya, kalau es Antartika mencair karena pemanasan global. Jika suhu bumi naik 0,1 derajat celcius pertahun. Jika es Antartika mencair, mungkin akan menenggelamkan Asia, itu risiko yang paling besar.

Apalagi Antartika saat ini banyak didatangi orang dan menciptakan jejak karbon. Sama seperti es di Arctic yang sudah mencair karena banyak orang ke sana.

Adakah data hasil penelitian Anda yang menyebut waktu ancaman banjir di Indonesia karena perubahan iklim?

Secara langsung, tidak ada. Pengaruh di kutub, tidak dirasakan langsung di Indonesia. Tapi secara tidak langsung dirasakan. Pemanasan yang terjadi di Antartika membawa gelombang panas melalui New Zealand, pergi ke Australia dan ke Indonesia. Pergerakan musim itu dari kutub ke Indonesia-Filipina dan Cina.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Setting pengukuran petir dengan GPS di Scott Base, Antartika, Desember 2011. (dok pribadi)

Orang mengira di Antartika itu dingin, padahal panas. Radiasi matahari di sana sangat tinggi dan berangin. Kulit manusia bisa terbakar di sana, karena UV sangat tinggi.

Bagaimana dengan ancaman banjir di Indonesia jika es Antartika mencair?

Itu akan terjadi secara tidak langsung, artinya banjir tidak akan terjadi begitu saja. Sebab air lelehan es akan melewati banyak proses. Selama itu akan dipengaruhi iklim setempat di mana air itu mengalir.

Presiden Donald Trump sudah mengumumkan Amerikat Serikat mundur dari kesepakatan iklim Paris 2015. Artinya Amerika tidak ingin menjaga kenaikan temperatur global jauh di bawah 2'C (3,6'F) dan berupaya membatasi pada 1,5'C. Sebagai ilmuwan, bagaimana Anda memandang ini?

Pemanasan global harus diantisipasi, harus ada upaya untuk mengurangi produksi karbon. Secara science upaya penurunan temperatur global itu, betul. Negara di Eropa sudah bagus dari sisi mengendalikan produksi karbon, di sana sudah menurun. Tapi Indonesia banyak memproduksi karbon karena di sini sedang membangun.

Jalan keluarnya, perlu didorong penciptaan teknologi ramah lingkungan atau green technology agar produksi karbon tidak banyak terlepas ke udara. Di sisi lain pembangunan terus berjalan.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Pemasangan meteorologi sensor di medan yang kritis di Ross Island, Desember 2008. (dok pribadi)

Jika bicara soal dampak perubahan Iklim, apakah negara Asia Tenggara merasakan dampak pertama atau paling akhir?

Sebetulnya akan menerima dampak perubahan iklim lebih awal. Karena menerima panas lebih banyak. Kawasan negara di Asia Tenggara yang terletak di katulistiwa banyak menerima panas, penguapan dan angin, dan belum lagi dihitung dengan fenomana bumi lainnya seperti gempa bumi.

Gunung berapi meletus, itu juga mempengaruhi perubahan iklim.

Aktivitas Wayan Suparta di Antartika. (Dok pribadi)

Wayan pertama kali menginjakkan kaki di bumi es Antartika, Januari 2008. (dok pribadi)

Biografi singkat Wayan Suparta

Wayan Suparta lahir di Klungkung, Bali. Sejak 2012 dia menjadi Associate Professor di Space Science Centre (ANGKASA) Universiti Kebangsaan Malaysia. Sejak 4 April 2017 sampai 16 Juni 2017 dia diangkat sebagai profesor penuh de facto di sana.

Wayan merupakan tokoh sentral dalam pengembangan konferensi IconSpace dan Konferensi Internasional Teknologi Sains dan Teknologi 2016 tentang Perubahan Iklim (STACLIM) sepanjang karirnya di UKM.

Mantan guru fisika di Malang dan Bandung itu menyelesaikan program diploma pendidikan fisika di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta tahun 1991, lalu meneruskan program sarjananya di kampus yang sama. Tahun 2000, Wayan mendapatkan gelar master of science di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan minat yang sama, fisika. Sembari berkarier sebagai ilmuwan, Wayan menyelesaikan gelar doctoral (PhD) di Universiti Kebangsaan Malaysia. Kariernya sebagai ilmuan fisika elekto moncer di sana.

Wayan merupakan ilmuan di bidang aplikasi penginderaan satelit jarak jauh untuk studi cuaca antariksa dan iklim, bencana alam, fisika terestrial, dan pemodelan gangguan satelit. Dia adalah ilmuwan Indonesia pertama yang melakukan penelitian tentang Meteorologi Ruang Angkasa di Benua Kutub (Antartika dan Artik).

Wayan merupakan anggota profesional internasional dari Lembaga Geospasial dan Penginderaan Jauh Malaysia (IGRSM), Program Antartika Nasional di Program Riset Antartika Malaysia (MARP), Asosiasi Internasional Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (IACSIT), Institut Teknik Elektro dan Elektronika (IEEE), serta Anggota Senior Masyarakat Teknik Kimia, Biologi & Lingkungan Asia-Pasifik (APCBEES). 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI