Rektor IPB Arif Satria: Petani di Era Generasi Millennial

Senin, 27 November 2017 | 07:00 WIB
Rektor IPB Arif Satria: Petani di Era Generasi Millennial
Rektor IPB Arif Satria. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Terus yang ingin jadi petani siapa? Ini pertanyaan yang harus dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa,” begitu sindir Presiden Joko Widodo saat Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus Institut Pertanian Bogor, Bogor awal September 2017.

Jokowi bertanya itu setelah mendapatkan data lulusan IPB sebagai kampus petanian yang bekerja di perbankan. Jokowi ingin lulusan IPB terjun langsung ke sektor pertanian dan mengembangkan teknologi pertanian.

Arif Satria, sebagai nahkoda baru IPB menjawab kritik Jokowi itu. Arif Satria terpilih menjadi Rektor IPB Periode 2017-2022 pada 15 November lalu.

Suara.com menemui Arif di Kampus IPB Dramaga pekan lalu. Dia masih berkantor di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB sembari menunggu pelantikan resmi dirinya sebagai Rektor IPB pada 15 Desember mendatang.

Sebagai Rektor IPB, Arif mempunyai tantangan besar mencetak lulusan sarjana pertanian masa kini yang akan mengembangkan sektor pertanian di Indonesia. Bagaimana mendorong generasi millennial untuk menjadi petani atau bekerja di sektor pertanian?

Arif juga bercerita tentang penurunan jumlah petani. Selain itu pengaruhnya terhadap pasokan pangan di masa depan.

Saat ini, lelaki kelahiran Pekalongan, 17 September 1971 itu menjadi penasihat untuk Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dia salah satu pencetus konsep ekonomi hijau dalam kebijakan negara. Seperti apa ekonomi hijau itu?

Simak wawancara suara.com selengkapnya dengan Arif Satria berikut ini:

Dari data BPS per Febuari 2017 mencatat jumlah petani Indonesia tinggal 36 juta orang, turun 1,2 juta sejak Febuari 2014. Sementara di lihat dari target tangkapan ikan sampai oktober lalu baru mencapai target 75-an persen dari target 7,8 juta ton ikan. Bahkan garam saat ini Indonesia sudah impor. Bagaimana Anda memandang data ini?

Penurunan jumlah petani sesuatu yang biasa saja, di mana pun begitu. Dalam transformasi struktur ekonomi secara balance itu adalah kalau jumlah sumber daya manusianya menurun, tapi konstribusi dia terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat.

Jangan sampai share terhadap tenaga kerja itu besar, tapi share terhadap PDB makin lama menurun.

Jadi struktur ekonomi yang bagus, jika tenaga kerja menurun, tapi share PDB-nya meningkat agar satuan persen tenaga kerja menyumbang sekian PDB.

Jadi kalau jumlah petani menurun adalah trend yang biasa saja. Tidak perlu dirisaukan. Kita bisa risau jika petani yang ada tidak produktif, baru akan jadi persoalan. Tidak produktif itu artinya inovasi lemah dan berusia tua. Maka kita harus menyiapkan generasi petani baru.

Apa yang menyebabkan jumlah petani di Indonesia berkurang?

Banyak variable, mungkin karena gengsi, orang lebih suka bekerja di bidang non pertanian. Tapi jika pertanian dikemas lebih modern dan menarik, orang-orang akan tertarik masuk pertanian.

Tapi, pekerjaan sebagai petani dianggap kurang menarik adalah tren di dunia, itu tantangan besar.

Apakah dengan kurangnya petani akan mempengaruhi ketersediaan pangan?

Akan menjadi bahaya jika masalahnya produktivitas rendah.

Tapi lihat saja di Jepang, jumlah petaninya kurang dari 200 ribu orang. Jumlah petani di Jepang tidak ada 10 persen dari jumlah peduduknya. Tapi pertanian di Jepang sudah menggunakan teknologi yang tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah petani yang banyak.

Bagaimana di sektor kelautan?

Jumlah nelayan juga tidak perlu terlalu banyak asal menggunakan teknologi canggih dalam menangkap ikan. Kalau dilihat dari struktur demokrafis nelayan Indonesia tidak terlalu bermasalah. Karena nelayan muda masih banyak.

Sementara di sektor pertanian didominasi petani berusia tua, yang muda hanya 39 persen.

Apakah ada contoh negara maju yang mempunyai generasi muda yang tertarik di sektor pertanian?

Di Australia, teknologi pertanian sudah canggih sekali. Sehingga anak muda tertarik. Di sana semua menggunakan robot. Kalau di Indonesia, belum sampai ke sana.

Sejauhmana tantangan pengelolaan sumber daya pertanian dan perikanan di era saat ini. Terlebih era di mana generasi millenial mulai eksis dan lulus kuliah?

Generasi millenial merupakan orang yang memang digital native, berbeda dengan saya yang digital migration. Generasi digital native sudah berkembang di era digital. Pola pikirnya sangat berbeda, dia lebih cepat, lincah dan lebih terbuka, dan sebagainya.

Mereka melek teknologi, itu lah yang membuat mereka lebih adaptif terhadap perubahan.

Itu lah yang membuat IPB harus bisa menyesuaikan dengan gaya mereka. Teknologi kami juga harus menunjang untuk itu.

Sehingga kuliah online harus semakin banyak, untuk menyikapi tren generasi milenial.

Bagaimana Anda menjawab kritikan Presiden Joko Widodo soal lulusan IPB banyak bekerja di bank?

Sebanyak 73 persen alumni IPB sesuai dengan bidangnya, itu hasil riset kami. Oleh karena itu dari 73 persen itu, yang bergerak di bidang wirausaha pertanian ada 7 persen. Sisanya, bisa menjadi pegawai di perusahaan, profesional, dan pegawai negeri sipil. Tapi itu semua relevan dengan bidangnya.

Tapi yang menjadi pengusaha hanya 7 persen.

Maka tantangan ke depan sebenarnya, bagaimana membuat dan mendorong orang-orang itu menjadi teknopreneur di bidang pertanian. Maka itu saya merancang, ada start up school yang akan menggodok calon entrepreneur baru di bidang pertanian. Ini langkah baru.

Selama ini, mereka yang lulus dan bekerja karena by accident. Sekarang ini kami ingin menyiapkan by desain. Supaya muncul pengusaha-pengusaha baru bidangnya, pertanian khsusnya.

Kami ada kerjasama dengan perusahaan, atau bisa juga dilakukan secara mandiri.

Ilmuan di kampus Indonesia dikritik minim menghasilkan jurnal ilmiah, tapi IPB termasuk yang paling banyak menghasilkan setelah ITB dan UI. Sebagai rektor, bagaimana inovasi Anda untuk mendorong ilmuwan di IPB sering melakukan riset?

Di program saya, ada insentif untuk mereka agar bisa produktif dalam menghasilkan karya-karya dari hasil riset. Karya itu ada yang ke arah memberikan masukan untuk membuat kebijakan publik. Selain itu ada juga untuk kepentingan akademik.

Karena itu penting, karena kami ikut andil dalam mengembangkan keilmuan. Kami juga akan memberikan insentif untuk ilmuan yang berkarir masyarkat dan melakukan riset, selama ini kan belum mendapatkan pengakuan.

Berapa anggaran untuk memfasilitasi riset itu?

Ke depan, ilmuan dalam negeri harus berkolaborasi dengan lembaga di luar negeri untuk mendukung risetnya. Tapi saat ini pemerintah juga mempunyai keinginan besar untuk bisa memberikan dukungan dana. Dengan catatan ilmuan itu harus mempunyai persiapan yang cukup.

Selama ini dana riset dari kementerian sudah besar. Nilai total kerjasama IPB dengan Dikti, 20 persen dari anggaran riset dan kerjasama yang besarny Rp1,2 triliun.

Apakah nilai itu cukup?

Kalau kurang, yah selalu kurang, tapi tergantung apa targetnya.

Sebagai kampus yang banyak melakukan riset seputar pangan, sejauhmana tantangan untuk menjadikan hasil riset menjadi produk komersil, minimal prototype?

Sebenarnya tidak harus langsung menghasilkan sebuah produk dan dinikmati masyarakat. Ada riset dalam kategori akademik yang menghasilkan paper atau jurnal ilmiah.

Ada juga riset yang arahnya menghasilkan produk untuk masyarakat yang bentuknya komersialisasi dan sebagainya. Da ada juga lembaga akademik, riset inovatif dan pusat inkubasi inovasi yang mengarah ke komersial, lalu ada juga yang teknopark yang melahirkan calon pengusaha baru.

Sebagai penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan, apa fokus masukan yang Anda berikan untuk sektor kelautan?

Saya masih jadi penasihat KKP. Sebagai penasihat memberikan masukan terhadap kebijakan dan langkah yang harus diambil.

Anda sebagai sosok di balik pengeluaran kebijakan KKP. Anda juga termasuk pelopor Penyusunan Konsep Ekonomi Biru. Sejauh mana konsep ekonomi biru sudah dijalankan pemerintah?

Ekonomi biru di Indonesia belum jalan, tapi pemikiran Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah menggambarkan ekonomi biru.

Seperti apa konsep ekonomi biru?

Prinsipnya kan zero waste, kemudian ramah lingkungan. Cara berpikirnya berbeda dengan konvensional.

Dalam kelautan, konsep itu misalnya menangkap ikan tanpa menggunakan bahan bakar. Karena kolam yang ada sudah diciptakan alam, ikan tak perlu dikasih makan.

Ekonomi biru di Indonesia sudah berkembang, tapi saat ini tidak tahu persis seperti apa perkembangannya.

Segara Anakan, Jawa Timur sudah ada contoh penerapan ekonomi biru. Ada tambak tanpa menggunakan pakan. Untuk makanan ikan di sana menggunakan daun mangrove. Jadi memanfaatkan dari yang ada di alam. Sebab alam mempunyai sistem kerja sendiri.

Bagaimana Anda memandang reklamasi Teluk Jakarta dan proyek reklamasi di daerah lainnya? Kebanyakan pakar menentang. Bagaimana dengan Anda?

Ini case by case, tidak bisa dikatakan reklamasi setuju atau tidak setuju. Tergantung reklamasi seperti apa?

Di Jepang, semua reklamasi karena lahannya sudah habis. Mereka reklamasi sebagian konteksnya untuk rehabilitasi yang sudah rusak. Sementara reklamasi untuk tujuan investasi jarang sekali di Jepang.

Jadi saya tidak bisa mengatakan reklamasi itu jelek atau bagus. Tergantung reklamasi untuk apa? Bagaimana? Dan tujuannya apa?

Bagaimana untuk konteks reklamasi di Jakarta?

Jakarta saya belum pelajari, saya berkomentar kalau punya hasil risetnya. Kembalikan saja pada regulasi yang ada. Saya yang juga ikut dalam membuat aturan itu juga.

Karena aturan untuk reklamasi tidak mudah. Jika sudah lolos izin, berarti sudah memenuhi tahap-tahap yang sangat rumit.

Reklamasi bisa dilakukan jika daya dukungnya terpenuhi, seperti kajian lingkungan hidup secara strategis. Itu sangat perlu.

Biografi singkat Arif Satria

Arif Satria lahir di Pekalongan, 17 September 1971. Sebelum diangkat sebagai Rektor IPB, dia memimpin Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB. Dia menyandang Dekan termuda di IPB saat itu.

Arif menyelesaikan gelar sarjananya di Institut Pertanian Bogor di bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Di kampus yang sama dia juga menyelesaikan master di bidang Sosiologi Pedesaan. Namun gelar doktornya dia dapat di bidang kebijakan kelautan di Kagoshima University Jepang.

Arif termasuk ilmuwan yang aktif menulis buku. Di antaranya ‘Pengantar Sosiologi Pesisir, Pesisir dan Laut Untuk Rakyat’, ‘Ekologi Politik Nelayan’, ‘Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia’, serta buku internasional ‘Managing Coastal and Inland Waters’ yang diterbitkan Springer Belanda. Penasinat Menteri Perikanan dan Kelautan itu juga terlibat aktif dalam penyusunan berbagai kebijakan kelautan dan perikanan sejak tahun 2002. Penyusunan UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Penyusunan Konsep Ekonomi Biru, dan sejumlah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.

Pada tahun 2009, ia meraih penghargaan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Bidang Ilmu Pengetahuan dari Menteri Pendidikan Nasional. Tahun 2008, Penghargaan Internasional: Yamamoto Award-2008. The First Winner of the JIFRS Yamamoto Prize for the Best Paper, pada International Institute of Fisheries Economics and Trade (IIFET) Conference, Juli 2008, di Nha Trang Vietnam. IIFET adalah organisasi profesi bidang sosial ekonomi perikanan yang sekretariatnya di Oregon State University, USA. Tahun 2013, Penghargaan Akademisi Peduli Penyuluhan dan SDM Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Urusan akademik, tak menjadi persoalan bagi Arif Satria. Di tahun 2017 ini, Arif Satria menjadi dosen yang meraih nilai EPBM tertinggi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI