Rektor IPB Arif Satria: Petani di Era Generasi Millennial

Senin, 27 November 2017 | 07:00 WIB
Rektor IPB Arif Satria: Petani di Era Generasi Millennial
Rektor IPB Arif Satria. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Berapa anggaran untuk memfasilitasi riset itu?

Ke depan, ilmuan dalam negeri harus berkolaborasi dengan lembaga di luar negeri untuk mendukung risetnya. Tapi saat ini pemerintah juga mempunyai keinginan besar untuk bisa memberikan dukungan dana. Dengan catatan ilmuan itu harus mempunyai persiapan yang cukup.

Selama ini dana riset dari kementerian sudah besar. Nilai total kerjasama IPB dengan Dikti, 20 persen dari anggaran riset dan kerjasama yang besarny Rp1,2 triliun.

Apakah nilai itu cukup?

Kalau kurang, yah selalu kurang, tapi tergantung apa targetnya.

Sebagai kampus yang banyak melakukan riset seputar pangan, sejauhmana tantangan untuk menjadikan hasil riset menjadi produk komersil, minimal prototype?

Sebenarnya tidak harus langsung menghasilkan sebuah produk dan dinikmati masyarakat. Ada riset dalam kategori akademik yang menghasilkan paper atau jurnal ilmiah.

Ada juga riset yang arahnya menghasilkan produk untuk masyarakat yang bentuknya komersialisasi dan sebagainya. Da ada juga lembaga akademik, riset inovatif dan pusat inkubasi inovasi yang mengarah ke komersial, lalu ada juga yang teknopark yang melahirkan calon pengusaha baru.

Sebagai penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan, apa fokus masukan yang Anda berikan untuk sektor kelautan?

Saya masih jadi penasihat KKP. Sebagai penasihat memberikan masukan terhadap kebijakan dan langkah yang harus diambil.

Anda sebagai sosok di balik pengeluaran kebijakan KKP. Anda juga termasuk pelopor Penyusunan Konsep Ekonomi Biru. Sejauh mana konsep ekonomi biru sudah dijalankan pemerintah?

Ekonomi biru di Indonesia belum jalan, tapi pemikiran Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah menggambarkan ekonomi biru.

Seperti apa konsep ekonomi biru?

Prinsipnya kan zero waste, kemudian ramah lingkungan. Cara berpikirnya berbeda dengan konvensional.

Dalam kelautan, konsep itu misalnya menangkap ikan tanpa menggunakan bahan bakar. Karena kolam yang ada sudah diciptakan alam, ikan tak perlu dikasih makan.

Ekonomi biru di Indonesia sudah berkembang, tapi saat ini tidak tahu persis seperti apa perkembangannya.

Segara Anakan, Jawa Timur sudah ada contoh penerapan ekonomi biru. Ada tambak tanpa menggunakan pakan. Untuk makanan ikan di sana menggunakan daun mangrove. Jadi memanfaatkan dari yang ada di alam. Sebab alam mempunyai sistem kerja sendiri.

Bagaimana Anda memandang reklamasi Teluk Jakarta dan proyek reklamasi di daerah lainnya? Kebanyakan pakar menentang. Bagaimana dengan Anda?

Ini case by case, tidak bisa dikatakan reklamasi setuju atau tidak setuju. Tergantung reklamasi seperti apa?

Di Jepang, semua reklamasi karena lahannya sudah habis. Mereka reklamasi sebagian konteksnya untuk rehabilitasi yang sudah rusak. Sementara reklamasi untuk tujuan investasi jarang sekali di Jepang.

Jadi saya tidak bisa mengatakan reklamasi itu jelek atau bagus. Tergantung reklamasi untuk apa? Bagaimana? Dan tujuannya apa?

Bagaimana untuk konteks reklamasi di Jakarta?

Jakarta saya belum pelajari, saya berkomentar kalau punya hasil risetnya. Kembalikan saja pada regulasi yang ada. Saya yang juga ikut dalam membuat aturan itu juga.

Karena aturan untuk reklamasi tidak mudah. Jika sudah lolos izin, berarti sudah memenuhi tahap-tahap yang sangat rumit.

Reklamasi bisa dilakukan jika daya dukungnya terpenuhi, seperti kajian lingkungan hidup secara strategis. Itu sangat perlu.

Biografi singkat Arif Satria

Arif Satria lahir di Pekalongan, 17 September 1971. Sebelum diangkat sebagai Rektor IPB, dia memimpin Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB. Dia menyandang Dekan termuda di IPB saat itu.

Arif menyelesaikan gelar sarjananya di Institut Pertanian Bogor di bidang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Di kampus yang sama dia juga menyelesaikan master di bidang Sosiologi Pedesaan. Namun gelar doktornya dia dapat di bidang kebijakan kelautan di Kagoshima University Jepang.

Arif termasuk ilmuwan yang aktif menulis buku. Di antaranya ‘Pengantar Sosiologi Pesisir, Pesisir dan Laut Untuk Rakyat’, ‘Ekologi Politik Nelayan’, ‘Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia’, serta buku internasional ‘Managing Coastal and Inland Waters’ yang diterbitkan Springer Belanda. Penasinat Menteri Perikanan dan Kelautan itu juga terlibat aktif dalam penyusunan berbagai kebijakan kelautan dan perikanan sejak tahun 2002. Penyusunan UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Penyusunan Konsep Ekonomi Biru, dan sejumlah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.

Pada tahun 2009, ia meraih penghargaan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Bidang Ilmu Pengetahuan dari Menteri Pendidikan Nasional. Tahun 2008, Penghargaan Internasional: Yamamoto Award-2008. The First Winner of the JIFRS Yamamoto Prize for the Best Paper, pada International Institute of Fisheries Economics and Trade (IIFET) Conference, Juli 2008, di Nha Trang Vietnam. IIFET adalah organisasi profesi bidang sosial ekonomi perikanan yang sekretariatnya di Oregon State University, USA. Tahun 2013, Penghargaan Akademisi Peduli Penyuluhan dan SDM Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Urusan akademik, tak menjadi persoalan bagi Arif Satria. Di tahun 2017 ini, Arif Satria menjadi dosen yang meraih nilai EPBM tertinggi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI