Suara.com - Seorang perempuan muda asal Blitar, Livi Zheng berkarier sebagai sutradara dan produser di Hollywood, Amerika Serikat. Besar di sana, Livi tak melupakan Indonesia.
Selama 10 tahun berkarir, perempuan kelahiran 3 April 1989 ini diam-diam menjadi budaya dan ciri khas Indonesia nyawa di film-filmnya. Rupanya, Livi melihat peluag dari kebudayaan dan ciri khas Indonesia.
Salah satunya keberagaman yang dimiliki negara Pimpinan Joko Widodo ini. Livi mengungkapkan, publik Amerika Serikat sagat kagum degan keberagaman di Indonesia. Salah satunya tentang semboyan Bhineka Tunggal Ika.
“Ini serius, itu potensi besar lho,” kata Livi yang tengah ada di Jakarta pekan lalu.
Salah satu film tersuksesnya, ‘Brush with Danger’, dia menyisipkan lukisan-lukisan Indonesia. Film ini masuk menjadi salah satu seleksi nominasi Oscar 2015 lalu.
Tahun ini, Livi banyak ke Indonesia untuk menggarap film-film tentang budaya negaranya. Ini pertama kali dia lakukan sejak lama berkarir di Amerika. Menurut dia, menggarap film tentang Indonesia adalah impiannya.
Suara.com menemui Livi di tengah kesibukannya di Jakarta. Livi banyak cerita pengalamannya dalam menggarap film-film ‘bernafas’ keberagaman Indonesia.
Berikut petikan wawancaranya:
Sebagai sutradara asal Indonesia yang berkarier di Hollywood, apa alasan Anda ingin mengenalkana Indonesia di mata dunia?
Sebagai orang Indonesia yang lama di luar negeri dan setiap kali datang ke Indonesia, saya merasa takjub. Orang Indonesia disatukan dengan Bhineka Tunggal Ika, ini adalah kekuatan yang sangat dahsyat. Orang-orang di luar negeri, terutama sineas di sana sangat jeli melihat kekuatan ini.
Contohnya film ‘Avatar’. Saya sering bertanya ke orang-orang Amerika dan Indonesia. Orang Amerika semua mengaku sudah pernah nonton Avatar. Tapi saat ditanya, “apakah tahu kalau musik gamelan Bali menjadi latar musik di film itu?” Mereka jawab belum tahu. Masih banyak orang yang belum tahu.
Sebenarnya, banyak hal-hal yang menginspirasi dari Indonesia ke film-film di luar negeri. Tiap kali pulang ke Indonesia, saya belajar banyak dari negara ini.
Makanya, sebelum jadi sutradara, ada keinginan syuting di Indonesia. Baru di tahun ini terwujud syuting di Indonesia.
Sejak jadi sutradara, saya sering memasukan unsur budaya Indonesia dalam film pendek atau pun film panjang. Salah satunya di film ‘Brush with Danger’. Banyak lukisan-lukisan asal Indonesia saya bawa syuting. Bahkan saya juga mengkombinasikan musik barat dengan gamelan.
Begitu juga di film ‘Insight’, saya meminta Yayan Ruhiyan untuk menjadi koreografer bela diri.
‘Insight’, ini film pempromosikan Indonesia, kita launching di Los Angeles, mengundang konsul-konsul, dosen-dosen dan anak-anak, sekalian konser gamelan.
Setelah itu, kami melengkapi film ‘Life is Full of Surprises’. Yang sudah jadi tiser pendeknya, kami sudah share lewat sosmed. Yang layar lebarnya belum selesai. Baru selesai syuting agustus kemarin masih diedit. Mau launching Annual Meetings of the International Monetary Fund and the World Bank Group.
Film apa saja yang Anda kerjakan di Indonesia?
Baru-baru saya dipercaya untuk syuting 4 proyek di Indonesia dengan kolaborasi bersama kru dari Indonesia. Pertama, film ‘Life is Full of Surprises’ yang mengambil latar Bali. Syutingnya pun sepenuhnya di Bali.
‘Life is Full of Surprises’ film pendek yang bercerita tentang sepasang suami istri di Los Angeles yang sukses. Suaminya pemain gamelan yang mengajar di LA dan pentas di mana-mana. Istrinya seorang penari dan koreografer yang pernah berduet dengan Ricky Martin.
Dalam syuting film itu, kami berkolaborasi dengan kampus-kampus. Hasilnya bagus banget, di luar ekspetasi. Makanya aku pikir sayang sekali kalau nggak dibuat film layar lebarnya. Nanti bisa didistribusikan lewat distributor Amerika seperti saat saya menggarap film ‘Brush with Danger’ yang sudah didistribusikan sampai Afrika.
Makanya saya mengajak eksekutif produser untuk mencari distributor yang bisa mendistribusikan film itu ke bioskop di Amerika. Begitu kita dapat sponsor langsung ke Bali untuk syuting.
Selain itu, sempat syuting juga di Blitar untuk mengangkat sejarah Indonesia. Banyak sejarah di Blitar, bahkan Bung Karno pun dari sana dan dimakamkan di Blitar. Makanya saya mengangkat Blitar.
Ini salah satu film tentang keberagaman, Blitar itu kan banyak umat beragama, dan mengangkat potensi Blitar. Ide itu dari Bupati Blitar Rijanto, semua syuting itu. Itu bukan bukan film komersil, hanya film untuk profil Blitar.
Setelah itu saya juga ke Sukabumi, di sana mengangkat soal bola api yang digabungkan dengan pencak silat. Itu proyek film pendek untuk iklan daerah. Untuk film-film itu, saya buat dua versi, Indonesia dan bahasa Inggris agar dilihat di dunia.
Kalau saya syuting di daerah, harus terlihat kedaerahannya.
Apa kesulitan Anda memasukan unsur Indonesia ke film untuk ditonton dunia?
Sebenarnya di Indonesia banyak sekali hal-hal yang bagus, jadi nggak terlalu sulit. Di samping itu, kesenian Indonesia sudah sangat bagus, tinggal dikenalkan saja.
Tapii kalau dari segi musik, tidak bisa 100 persen dari Indonesia. Harus dicampur dengan musik barat. Supaya lebih bisa diterima sama dunia internasional.
Apa tujuan Anda memasukan unsur Indonesia ke film, selain mempromosikan ke-Indonesiaan?
Buat saya penting banget mengingat dari mana kita berasal, saya diajarkan itu sejak kecil. Makanya senang memasukan unsur Indonesia ke setiap proyek yang dikerjakan.
Masyarakat dunia sebenarnya belum banyak yang tahu dengan Indonesia. Orang-orang lain tahu saya dari Indonesia, tapi nggak tahu ada di sebelah mana. Makanya, saya ingin sekali perkenalkan.