Suara.com - Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan oleh kelompok penghayat kepercayaan di luar enam agama yang diakui oleh negara. Mereka meminta agama kepercayaan bisa ditulis dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
Para penghayat kepercayaan menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan Ayat 5 di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Administrasi Kependudukan. Gugatan itu diajukan oleh 3 orang, Arnol Purba dan Nggay Mehang Tana, serta Pagar Demanra Sirait. Mereka penganut kepercayaan Parlim, Suatu kepercayaan dari suku Batak.
Mereka merasa seringkali mendapat diskriminasi lantaran di KTP dan Kartu Keluarga tidak secara jelas disebut agama yang dianut. Mereka mengisi kolom agama itu dengan tanda “-“. Setelah keputusan MK itu, apakah kehidupan mereka akan lebih baik?
Tokoh penghayat kepercayaan di Indonesia, Engkus Ruswana melihat titik terang dari keputusan MK itu. Namun apa yang dihasilakan saat ini bukan jalan pendek.
Ditemui suara.com di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pekan lalu, Engkus banyak cerita soal lika-liku kelompok agama lokal bertahan hidup di tanah leluhurnya sendiri. Engkus merupakan penghayat kepercayaan Budi Daya yang merupakan turunan dari Sunda Wiwitan.
Pakar tata ruang itu juga bercerita tentang konsep kepercayaan yang diyakini penghayat, dia menjawab pertanyaan, apakah penghayat sama dengan agama? Jika beda, apa perbedaannya?
Namun yang pasti Engkus memberikan kepastian jika kepercayaan yang dianut para penghayat tidak bertentangan dengan dasar negara Pancasila. Penghayat pun tidak anti dengan modernisasi.
Berikut wawancara suara.com denagan Engkus selengkapnya:
Sebagai ‘tuan rumah’, justru penghayat kepercayaan belum sepenuhnya diakui eksistensinya di Indonesia. Bisa Anda ceritakan, bagaimana perjalanan penghayat kepercayaan untuk mendapatkan hak sebagai warga negara?
Persoalan yang menjadi fokus kami untuk diakomodir pemerintah soal masalah izin perkawinan dan identitas kependudukan di KTP. Sejak orde lama, penghayat kepercayaan sudah diakomodir.
Sebab yang mengusulkan frasa kepercayaan dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama adalah tokoh penghayat, Wongsonegoro. Agar penganut agama lokal yang disebut aliran kepercayaan dan kebatinan terlindungi. Pasal itu bisa melindungi mereka.
Zaman orde lama tidak ada permasalahan dengan frasa kepercayaan dan penganutnya pun bisa berkehidupan dengan nyaman.
Zaman orde baru, mulai ada kewajiban pencantuman kolom agama dalam identitas, bahkan pelajaran agama dimasukan dalam kurikulum sekolah.
Selanjutnya, tahun 1974 muncul Undang-Undang Perkawinan, salah satunya mengatur soal keabsahan perkawinan menurut agama dan keyakinan. Bunyi pasal itu untuk mengakomodir penghayat kepercayaan. Setelah Peraturan Pemerintah turunan UU Perkawinan itu turun tahun 1975, penghayat diperbolehkan kawin melalui cara adat. Pekawinan itu dicatat di pencatatan sipil.
Hambatan mulai terjadi tahun 1978 setelah ada surat dari Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Kira-kira bunyinya “tidak ada perkawinan jika tidak melalui agama”. Sehingga gonjang-ganjing, ada penghayat yang masih bisa menikah dan tidak di berbagai daerah. Sebab ada ketidakpatian hukum.
Saat itu hampir semua kementerian mengeluarkan pendapat soal perkawinan dan identitas. Saat itu dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Sosial, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan kadang boleh dan kadang tidak. Jadi saat itu untuk mengurusi masalah perkawinan ini saja, kementerian saling balas surat yang isinya boleh atau tidak pernikahan penghayat kepercayaan diakui catatan sipil.
Tahun 1990, Menteri Dalam Negeri Rudini menyatakan pernikahan penghayat kepercayaan bisa diakui catatan sipil, tapi harus melalui penetapan pengadilan. Mekanismenya, meminta rujukan dari pengadilan negeri untuk diberikan ke catatan sipil.
Lalu taun 1995 Menteri Dalam Negeri Yogie Suardi Memet menangguhkan surat ketetapan Mendagri masa Rudini selama waktu yang tidak ditentukan. Sehingga penghayat tidak boleh menikah.
Tahun 2000, setelah reformasi, banyak dibentuk komisi hak asasi manusia dan sejenisnya. Kami mulai berkonsolidasi untuk memperjuangkan soal hak penghayat kepercayaan, saat itu dibentuk Konsorsium Catatan Sipil. Mendagri, Menkumham, Komnas HAM dan berbagai LSM lain merancang RUU Catatan Sipil.
Lalu UU itu disahkan dengan nama UU Adminstrasi Kependudukan dan membolehkan pernikahan penghayat kepercayaan.
Sementara untuk identitas masih dipersoalkan. Untuk penghayat kepercayaan mengosongkan kolom agama.
Apa hambatan para penghayat kepercayaan saat kolom agama di KTPnya dikosongkan?
Selama ini KTP penghayat kepercayaan mengosongkan kolom agama di KTP, para penghayat kepercayaan sulit mengurusi urusan administrasi kependudukan dan turunannya. Dalam administrasi kependudukan misalnya, kementerian selain Kemendagri tidak mencantumkan pilihan ‘lainnya’ dalalam pengisian identitas folmulir untuk keperluan tertentu.
Sehingga kesulitan dalam penerimaan pegawai negeri, tentara dan polisi. Tidak ada pilihan agama penghayat di folmulir pendaftaran institusi itu.
Begitu juga untuk pelayanan kesehatan, para penghayat sering dipersulit karena mengosongkan kolom agama untuk mendapat fasilitas kesehatan. Begitu juga untuk mengurusi kebuTuhan keuangan di bank.
Banyak dari penghayat kepercayaan terpaksa mengisi kolom agama itu dengan agama lain, misal Islam atau Kristen. Itu dilakukan agar proses administrasi kependudukan tidak dipersulit. Tapi untuk pengurusan tertentu yang membutuhkan verifikasi, kami akhirnya tidak bisa menghindari.
Semisal, salah satu penghayat di Sumatera Utara sudah lulus berbagai tes masuk TNI dengan nilai memuaskan. Saat proses verifikasi data, dia ketahuan mengisi kolom agamanya tidak sesuai dengan keyakinannya. Akhirnya diugugurkan, itu sangat menghambat.
Sering juga, agar tidak didiskriminasi di satu wilayah, penghayat pun mengikuti identitas agama mayoritas di sana.
Setalah ada putusan MK, apakah membantu?
Kami berharap dengan keluarnya keputusan MK ini ada pengakuan resmi negara terhadap kepercayaan yang setara dengan agama.
Dengan begitu sumbatan penghayat kepercayaan di administrasi kependudukan terbuka agar penghayat mendapat hak yang sama untuk menjadi tentara, polisi atau juga PNS.
Apakah penghayat mengalami diskriminasi dari kelompok intoleran, seperti yang dialami kelompok minoritas lainnya?
Tergantung dengan jumlah para penghayat di daerah itu. Kalau mereka jumlahnya banyak dan sudah lama di daerah itu, penerimaan masyarakat sudah bagus dan tidak dipermasalahkan.
Tapi kalau menjadi minoritas dan ada di lingkungan yang ‘keras’, maka banyak masalah. Misal penolakan penghayat Sapto Dharmo di Kabupaten Brebes (penghayat Sapto Dharmo dipaksa masuk Islam).
Masih banyak publik yang belum tahu soal istilah penghayat kepercayaan. Bisa Anda jelasan?
Sebelum agama yang diakui negara seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha masuk, Indonesia sudah mempunyai kepercayaan lokal, yaitu agama penghayat ini.
Namun para tokoh antropolog dari negara barat mengartikan agama lokal itu dengan sebutan animisme dan dinamisme, anggapan itu salah. Kami tidak menyembah berlaha.
Dalam sistem kepercayaan penghayat, kami bukan hanya menghargai para leluhur, tapi juga Tuhan. Kami mempunyai Tuhan. Tapi bedanya dengan agama lain yang berhubungan langsung ke Tuhan, kami tidak. Kami mempunyai para leluhur untuk dihormati. Sebab karena mereka saya ini ada. Warisan budaya, bercocok tanam, sampai sistem kehidupan, itu dibuat oleh para leluhur.
Dalam kepercayaan kami, setelah meninggal, leluhur belum tentu kembali ke Tuhan, tapi masih ada di bumi dalam proses untuk kembali ke asal. Konsep religinya, kami masih bisa berhubungan batin dengan para leluhur. Sehingga selain ke Tuhan, kami meminta perlindungan ke para leluhur.
Saat masuk agama Hindu, agama kepercayaan lokal diserap oleh ajaran itu. Sehingga Hindu yang tumbuh di Indonesia berbeda jauh dengan hindu asli dari India. Karena sudah melalui proses penyerapan nilai-nilai dan ajaran.
Begitu Budha masuk ke Indonesia, agama kepercayaan pun dirangkul dan tidak ada proses penghilangan karakter kepercayaan lokal. Kita bisa lihat di Bali, betapa kental agama lokal. Begitu juga saat Islam masuk, kepercayaan lokal saat itu diakomodir.
Beberapa nilai-nilai kepercayaan lokal diserap oleh Islam. Makanya muslim saat ini masih menjalankan tahlilan, sebab konsep tahlilan tidak ada dalam ajaran Islam yang datang dari Arab Saudi. Begitu juga prosesi kematian dan penguburan.
Karakter masyarakat Indonesia tidak suka konflik, karena alam membentuk mereka untuk ramah. Makanya dalam konsep sistem leluhur, tidak ada konsep pemilikan pribadi. Semua kepemilikan kolektif, seperti tanah dan bangunan. Kami menjunjung tinggi kesetaraan dan penghormatan ke perempuan.
Sementara kelompok penghayat kepercayaan yang ingin tetap memegang teguh kepercayaannya mengasingkan diri ke tempat-tempat terpencil agar nilai-nilai lelluhur tetap terjaga. Mereka mengasingkan diri ke Tengger atau juga Baduy. Mereka ingin pemurnian ajaran.