Suara.com - Begitu diangkat menjadi utusan khusus presiden untuk dialog, kerja sama antaragama dan peradaban, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin langsung keliling menemui tokoh agama lain. Mulai dari Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.
Dilantik Presiden Joko Widodo, 23 Oktober 2017 lalu, Din bertugas mempromosikan kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila. Setelah dilantik, Din mengungkapkan situasi dan kondisi dunia sekarang sering terjadi konflik antarumat beragama menuntut peran aktif Pemerintah sebagaimana amanah konstitusi, UUD 1945 yaitu terlibat menjaga ketertiban dan keamanan dunia.
Suara.com mengikuti safari misi Din pekan lalu. Din mengunjungi tokoh agama Katolik di kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta Pusat. Selain itu Din juga bertemu dengan tokoh lintas agama yang tergabung di Inter-Religious Council Indonesia di kawasan Jakarta Selatan.
Di sela-sela kegiatannya itu, Suara.com banyak menggali pemikiran mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu tentang kondisi nyata Indonesia yang tengah tegang dengan isu keagamaan dan politik identitas.
Din mengungkapkan ada khawatiran dari Presiden Jokowi soal isu SARA yang diprediksi mengancam negara. Sebab ketenggan antarumat saat ini masih terjadi. Antar kelompok masih ‘panas’. Dampak dari sisa Pemilihan Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2016 masih terasa.
Din, sebagai utusan khusus, merasa perlu bergerak menjadi penengah mengumpulkan pimpinan kelompok antar agama dan golongan untuk berdialog secara serius, tidak sekadar seremonial. Din pun menyebut misinya itu ‘mencari kaum bijak’.
Berikut wawancara suara.com dengan Din dalam dua kali sempatan berbeda di Jakarta pekan lalu:
Apakah masalah atau gangguan kehidupan umat beragama yang paling Anda soroti?
Pada dasarnya watak umat beragama di Indonesia, sebagaimana watak dan warna dasar bangsa Indonesia bercenderungan sangat mempunyai inklinasi kepada kasih sayang, kerukunan, harmoni dan perdamaian. Itu watak dasar bangsa Indonesia dan umat beragama di tanah air.
Mengapa demikian? Karena agama-agama yang hadir di Indonesia punya dasar dan watak menyebarkan perdamaian atau mengajarkan kasih sayang, kerukunan, harmoni dan perdamaian.
Ditambah lagi dengan adanya nilai dasar kita sebagai bangsa, yaitu kesepakatan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Maka ini modal dasar. Watak dasar agama bangsa Indonesia yang cenderung jalan tengah dan juga watak dasar negara Indonesia yang dipengaruhi oleh agama dan juga budaya Indonesia cendrung kepada jalan tengah.
Modal dasar ini telah menjelma selama beberapa dasawarsa. Terlihat sangat menonjol ketika para pendiri bangsa mendirikan Indonesia. Itu outputnya jalan tengah, yaitu Pancasila.
Memang prinsip ini bisa mengatasi primordialisme atas dasar agama maupun kesukuan secara relatif. Sehingga sentimen antiagama dan antisuku terkendali.
Namun perkembangan kehidupan berkebangsaan sejak era reformasi bebas dan cenderung kebablasan. Makanya muncul privatisasi, liberalisasi ekonomi, politik, dan budaya. Reformasi ada sisi positif dan negatif.
Perbedaan kepentingan politik memiliki daya rusak kepada kerukunan dan soliditas bangsa. Ini sudah dan tengah terjadi, ini yang harus diatasi.
Maka jalan keluarnya, mutlak dan perlu revitalisasi etos bangsa yang cenderung jelang tengah tadi. Baik lewat penekanan dan pengarusutamaan paham keagamaan yang moderat, toleransi, koeksistensi dan siap hidup berdampingan secara damai.
Bagaimana bentuknya? Itu adalah program aksi yang harus kita lakukan bersama. Tentu harus dimulai dari dalam komunitas umat beragama masing-masing.
Jalan keluar kedua, perlu mengeliminasi dampak dari faktor-faktor non agama yang merusak kerukunan. Seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan kesenjangan budaya. Kalau ini tetap ada, susah. Bagaikan, ada yang membangun dan juga yang menjebol.
Maka perlu pengendalian dan penyesuaian, sehingga tidak berdampak negatif. Bahwa ada dampak positif, itu harus dimanfaatkan.
Jalan ketiga, perlu kehadiran negara. Terutama mengatur kehidupan bersama dan tidak memasuki wilayah keyakinan, teologis. Negara harus hadir mengayomi kehidupan bernegara.
Apapun agamanya, sukunya, budaya dan bahasa. Negara harus hadir di atas semua golongan.
Maka amanat yang kami, para tokoh agama, terima ini bukan kerja orang perorang. Tidak bisa dikerjakan oleh satu kelompok agama saja.
Tidak bisa satu kelompok agama berpretensi bisa mengerjakan semua ini sendiri. Bahkan negara tidak bisa mengerjakan itu sendiri. Harus bersama.
Perlu ada koalisi besar dari kaum bijak dari lingkaran agama. Jumlahnya besar dan ada di semua agama, untuk berdialog dengan anak bangsa yang mempunyai pemikiran dan jalan sendiri. Bukan untuk diperangi. Jadi kata kuncinya, kedepankan dialog.
Dialog seperti apa yang diperlukan?
Saya optimis dengan meyakini the powor of dialogue. Karena dengan dialog, banyak masalah yang bisa selesai. Tapi dialognya harus dialogis. Dialog yang betumpu pada ketulusan, keterbukaan, keterusterangan dan mengatasi masalah. Jadi tidak lagi dialog yang basa basi, dan tidak hanya melibatkan lingkaran moderat. Tapi juga mengajak kalangan itu (radikal).
Orang Indonesia ini kan pada dasarnya baik. Misal ada satu keluarga yang berantem pukul-pukulan, besoknya sudah bersaudara lagi. Jadi konflik di Indonesia yang terjadi ini hanya perlu sentuhan khusus.
Langkah nyata apa yang sudah Anda lakukan untuk berdialog itu pascadilantik menjadi utusan khusus kepresidenan?
Sampai kini, saya mendirikan 4 organisasi untuk berkomunikasi antaragama. Pertama, Prakarsa Persahabatan Indonesia Palestina (PPIP) untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran ke masyarakat dunia. Orang-orang di dalamnya berisi tokoh-tokoh lintas agama.
Kedua, Inter-Religious Council Indonesia. Ini salah satu organisasi internasional yang ada di berbagai negara, pusatnya di New York. Saya menjadi salah satu presidennya. IRC berisi para tokoh dari semua agama di Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan NU.
Saya juga mendirikan Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi yang juga berisi orang-orang dari berbagai tokoh agama dan LSM bergabung. Program yang sedang menjalankan pembangunan Eco Rumah Ibadah yang memperhatikan pembuatan rumah ibadah yang berwawasan lingkungan.
Saya juga mendirikan Pergerakan Indonesia Maju. Ini bukan lembaga politik, tapi menjalankan aksi kemanusiaan, membangun desa cerdas, desa maju energi yang belum punya listrik.
Sejak kemarin saya menemui kelompok-kelompok agama seperti di PGI dan KWI. Kita bersepakat di antar agama perlu dilakukan dialog di dalam dulu. Jadi bicara dengan kelompok yang punya pikiran anti Pancasila, kelompok garis keras, dan lain-lain.
Nanti di siatu waktu kita adakan pertemuan yang melibatkan mereka (kelompok radikal).
Anda melibatkan kelompok yang dinilai radikal…
Selama ini secara terbatas saya pribadi dalam kapasitas pemangku amanat di ormas Islam, sudah mencoba. Yah ada berhasil, dan satu dua kelompok yang gagal bedialog karena chemistrynya tidak cocok.
Apalagi kelompok yang menggunakan “pokok e”. Yah tidak bisa dialog dan bicara. Bahkan ada yang menantang debat terbuka. Tapi saya optimis yah. Harus meyakini kekuatan dialog.
Selama ini pelaku intoleran yang terlihat dari kalangan masyarakat kelas bawah. Semisil dengan mengumpulkan massa. Bagaimana Anda mengajak kelompok akar rumput untuk bertoleransi dan menjaga persatuan?
Tidak akar rumput saja. Kadang wawasan konflik tidak di bawah, tapi di elit. Kadang juga konflik berasal dari bawah, bukan di elit. Jadi tidak selalu benar jika yang berkonflik itu umat di lapis bawah.
Kadang umat di lapis bawah bisa menampilkan local wishdom. Saya menemukan kearifan lokal itu banyak di daerah-daerah. Tapi banyak yang hancur karena faktor luar agama. Jadi kearifan lokal ini harus dijadikan modal.
Elit, bisa baik dan ada juga yang tidak baik. Saya akan ajak mereka yang tidak baik, kita akan coba. Tidak mudah, tapi jangan menyerah.
Sebenarnya para tokoh seperti saya sudah melakukan itu tapi tidak maksimal. Saya sering ditanya, mengapa sudah berkali-kali dialog, tapi konflik masih ada? Jawabannya, sudah ada dialog saja masih konflik, bagaimana kalau tidak ada dialog?
Apa yang menjadi hambatan?
Pertama, belum dialogis. Selama ini dialog itu lebih monolog berkali-kali.
Seperti apa dialogis yang ada maksud?
Ada ketulusan, keterusterangan untuk menyelesaikan masalah. Awal tahun besok saya ingin sekali adakan dialog dialogis seperti itu. “Apa masalah yang ada di antara umat Islam, kristen dan umat lain. Oh ini masalah kita, mari kita selesaikan secara kekeluargaan.”
Selama ini kita nggak menyentuh sentimen itu, lalu kemudian dirusak oleh kepentingan politik.
Tahun 2018 sampai tahun 2019 akan menjadi tahun politik. Sejauhmana identitas dan agama akan dipolitisasi?
Saya membayangkan kemungkinan terjadi skenario terburuk, mungkin terjadi. Karena ada residu bawaan dari peristiwa lama.
Sebenarnya bangsa ini terbelah mendalam pada 2014. Luar bisa pro kontra dan polarisasi. Itu belum sembuh, dilanjutkan pada arena pengambilan keputusan kenegaraan di DPR dan eksekutif. Sehingga memblok ada koalisi A dan B.
Itu luar biasa dampaknya, meski ada sudah terlesaikan, meski saling tersandra.
Sekarang belum sembuh betul, lalu akan diterpa oleh Pilkada 2016. Jadi terbelah, antar agama, satu agama dan organisasi.
Di tambah nanti ada Pilkada 2018. Jadi saya bayangkan mungkin ada skenario terburuk terjadi keterbelahan itu menjadi lebih dalam dan lebar. Tapi mudah-mudahan tidak terjadi.
Di sini lah mutlak perlunya kebangkitan kaum bijak di bangsa ini.
Apakah ini salah satu alasan Presiden menunjuk Anda sebagai utusan khusus?
Saya tidak tahu. Tanya ke beliau.
Tapi dari ekspresi Presiden, ada suasana kebatinan yang menunjukan kekhawatiran terjadi pembelahan. Mungkin orang lain curiga ini antisipasti kekalahan satu kelompok, saya kira tidak begitu.
Kebetulan banyak dari kita mempunya khawatiran yang sama.
Anda sering menjadi pembicara dan ikut diskusi-diskusi antaragama di tingkat dunia, bagaimana pandangan dunia terhadap Indonesia dari sisi toleransi beragama?
Masih bagus, terutama di lihat dari 2 tataran. Pertama dasar negara, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Saya sering bicara forum dunia, mereka memuji bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk namun mempunyai kesepakatan. Jadi kualitas Pancasila ini bagus sekali.
Kedua, nilai Pancasila ini disetujui oleh agama-agama. Jadi dasar keagamaan yang sangat kuat pada Pancasila. Substansinya sangat religius.
Tapi ada sebuah survei menyatakan generasi muda di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia berpotensi radikal dan ingin mendirikan negara Islam. Survei itu dilakukan Mata Air Fondation dan Alvara Research Center. Apakah ini termasuk ancaman nyata radikalisme?
Saya tidak tahu, karena survei mempunyai metodologi masing-masing. Boleh jadi benar dan tidak benar. Secara akademik saya harus lihat dulu bagaimana metologinya. Apakah betul demikian.
Seandainya betul, harus dicarikan jalan keluar. Kalau tidak betul, itu berarti masih ada kalangan bangsa Indonesia yang mempunyai pikirannya sendiri. Itu yang harus diajak dan disadarkan.
Jangan survei semacam itu malah mengganggu hubungan umat beragama. Itu tidak bisa jadi patokan. Sebab sering secara psikologis, survei semacam itu menggugah radikalisasi. Karena mereka merasa sudah terlanjur dituduh radikal, maka mereka merasa sekalian saja jadi radikal.
Boleh saja mempunyai pikiran seperti itu (survei), tapi jangan diekspose ke publik. Apalagi dengan nada mendeskriditkan pihak tertentu. Itu tidak akan selesaikan masalah. Saya mengamati di lapangan seperti itu.
Jika perlu harus dilakukan survei yang lebih moderat juga. Maka akan menjangkau ke kalangan moderat dan radikal juga. Jadi berlomba di dalam mengajukan naratif pikiran. Misal Islam sudah membuat naratif Islam yang rahmatan lil alamin. Tapi jangan adu naratif di udara, tapi harus kopdar di darat untuk bicara dan berdialog.
Biografi Din Syamsuddin
Muhammad Sirajuddin Syamsuddin merupakan pemimpin Muslim terkemuka di Indonesia. Dia adalah seorang profesor Pemikiran Politik Islam di Universitas Islam Nasional, Jakarta. Din pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia dari tahun 2005 sampai 2015. Din juga pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama tahun 2014-2015, sekarang Din merpakan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Din salah satu sosok yang toleran, dia telah aktif dalam dialog kerjasama lintas agama. Saat ini dia bertindak sebagai Presiden Moderator Co-President for Peace (ACRP) Co-President of Religions untuk Peace International, serta Ketua Pusat Dialog dan Kerjasama Antar Peradaban (CDCC), dan Ketua World Peace Forum yang berbasis di Jakarta.
Dia juga anggota Kelompok Visi Strategis Rusia - Dunia Islam, dan anggota Dewan Kepemimpinan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNSDSN). Dia baru-baru ini memprakarsai pembentukan Gerakan Indonesia untuk Menyelamatkan Bumi (Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi) dan bertindak sebagai Ketua Komite Pengarah Gerakan. Ia mendapatkan gelar Master dan Doktor dari Program Antar Departemen dalam Studi Islam, Universitas California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat.