Selama ini pelaku intoleran yang terlihat dari kalangan masyarakat kelas bawah. Semisil dengan mengumpulkan massa. Bagaimana Anda mengajak kelompok akar rumput untuk bertoleransi dan menjaga persatuan?
Tidak akar rumput saja. Kadang wawasan konflik tidak di bawah, tapi di elit. Kadang juga konflik berasal dari bawah, bukan di elit. Jadi tidak selalu benar jika yang berkonflik itu umat di lapis bawah.
Kadang umat di lapis bawah bisa menampilkan local wishdom. Saya menemukan kearifan lokal itu banyak di daerah-daerah. Tapi banyak yang hancur karena faktor luar agama. Jadi kearifan lokal ini harus dijadikan modal.
Elit, bisa baik dan ada juga yang tidak baik. Saya akan ajak mereka yang tidak baik, kita akan coba. Tidak mudah, tapi jangan menyerah.
Sebenarnya para tokoh seperti saya sudah melakukan itu tapi tidak maksimal. Saya sering ditanya, mengapa sudah berkali-kali dialog, tapi konflik masih ada? Jawabannya, sudah ada dialog saja masih konflik, bagaimana kalau tidak ada dialog?
Apa yang menjadi hambatan?
Pertama, belum dialogis. Selama ini dialog itu lebih monolog berkali-kali.
Seperti apa dialogis yang ada maksud?
Ada ketulusan, keterusterangan untuk menyelesaikan masalah. Awal tahun besok saya ingin sekali adakan dialog dialogis seperti itu. “Apa masalah yang ada di antara umat Islam, kristen dan umat lain. Oh ini masalah kita, mari kita selesaikan secara kekeluargaan.”
Selama ini kita nggak menyentuh sentimen itu, lalu kemudian dirusak oleh kepentingan politik.
Tahun 2018 sampai tahun 2019 akan menjadi tahun politik. Sejauhmana identitas dan agama akan dipolitisasi?
Saya membayangkan kemungkinan terjadi skenario terburuk, mungkin terjadi. Karena ada residu bawaan dari peristiwa lama.
Sebenarnya bangsa ini terbelah mendalam pada 2014. Luar bisa pro kontra dan polarisasi. Itu belum sembuh, dilanjutkan pada arena pengambilan keputusan kenegaraan di DPR dan eksekutif. Sehingga memblok ada koalisi A dan B.
Itu luar biasa dampaknya, meski ada sudah terlesaikan, meski saling tersandra.
Sekarang belum sembuh betul, lalu akan diterpa oleh Pilkada 2016. Jadi terbelah, antar agama, satu agama dan organisasi.
Di tambah nanti ada Pilkada 2018. Jadi saya bayangkan mungkin ada skenario terburuk terjadi keterbelahan itu menjadi lebih dalam dan lebar. Tapi mudah-mudahan tidak terjadi.
Di sini lah mutlak perlunya kebangkitan kaum bijak di bangsa ini.
Apakah ini salah satu alasan Presiden menunjuk Anda sebagai utusan khusus?
Saya tidak tahu. Tanya ke beliau.
Tapi dari ekspresi Presiden, ada suasana kebatinan yang menunjukan kekhawatiran terjadi pembelahan. Mungkin orang lain curiga ini antisipasti kekalahan satu kelompok, saya kira tidak begitu.
Kebetulan banyak dari kita mempunya khawatiran yang sama.
Anda sering menjadi pembicara dan ikut diskusi-diskusi antaragama di tingkat dunia, bagaimana pandangan dunia terhadap Indonesia dari sisi toleransi beragama?
Masih bagus, terutama di lihat dari 2 tataran. Pertama dasar negara, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Saya sering bicara forum dunia, mereka memuji bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk namun mempunyai kesepakatan. Jadi kualitas Pancasila ini bagus sekali.
Kedua, nilai Pancasila ini disetujui oleh agama-agama. Jadi dasar keagamaan yang sangat kuat pada Pancasila. Substansinya sangat religius.
Tapi ada sebuah survei menyatakan generasi muda di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia berpotensi radikal dan ingin mendirikan negara Islam. Survei itu dilakukan Mata Air Fondation dan Alvara Research Center. Apakah ini termasuk ancaman nyata radikalisme?
Saya tidak tahu, karena survei mempunyai metodologi masing-masing. Boleh jadi benar dan tidak benar. Secara akademik saya harus lihat dulu bagaimana metologinya. Apakah betul demikian.
Seandainya betul, harus dicarikan jalan keluar. Kalau tidak betul, itu berarti masih ada kalangan bangsa Indonesia yang mempunyai pikirannya sendiri. Itu yang harus diajak dan disadarkan.
Jangan survei semacam itu malah mengganggu hubungan umat beragama. Itu tidak bisa jadi patokan. Sebab sering secara psikologis, survei semacam itu menggugah radikalisasi. Karena mereka merasa sudah terlanjur dituduh radikal, maka mereka merasa sekalian saja jadi radikal.
Boleh saja mempunyai pikiran seperti itu (survei), tapi jangan diekspose ke publik. Apalagi dengan nada mendeskriditkan pihak tertentu. Itu tidak akan selesaikan masalah. Saya mengamati di lapangan seperti itu.
Jika perlu harus dilakukan survei yang lebih moderat juga. Maka akan menjangkau ke kalangan moderat dan radikal juga. Jadi berlomba di dalam mengajukan naratif pikiran. Misal Islam sudah membuat naratif Islam yang rahmatan lil alamin. Tapi jangan adu naratif di udara, tapi harus kopdar di darat untuk bicara dan berdialog.
Biografi Din Syamsuddin
Muhammad Sirajuddin Syamsuddin merupakan pemimpin Muslim terkemuka di Indonesia. Dia adalah seorang profesor Pemikiran Politik Islam di Universitas Islam Nasional, Jakarta. Din pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia dari tahun 2005 sampai 2015. Din juga pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama tahun 2014-2015, sekarang Din merpakan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Din salah satu sosok yang toleran, dia telah aktif dalam dialog kerjasama lintas agama. Saat ini dia bertindak sebagai Presiden Moderator Co-President for Peace (ACRP) Co-President of Religions untuk Peace International, serta Ketua Pusat Dialog dan Kerjasama Antar Peradaban (CDCC), dan Ketua World Peace Forum yang berbasis di Jakarta.
Dia juga anggota Kelompok Visi Strategis Rusia - Dunia Islam, dan anggota Dewan Kepemimpinan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNSDSN). Dia baru-baru ini memprakarsai pembentukan Gerakan Indonesia untuk Menyelamatkan Bumi (Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi) dan bertindak sebagai Ketua Komite Pengarah Gerakan. Ia mendapatkan gelar Master dan Doktor dari Program Antar Departemen dalam Studi Islam, Universitas California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat.