Din Syamsuddin: Mengumpulkan Kaum Bijak untuk Berdialog

Senin, 06 November 2017 | 07:00 WIB
Din Syamsuddin: Mengumpulkan Kaum Bijak untuk Berdialog
Din Syamsuddin (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Begitu diangkat menjadi utusan khusus presiden untuk dialog, kerja sama antaragama dan peradaban, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin langsung keliling menemui tokoh agama lain. Mulai dari Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.

Dilantik Presiden Joko Widodo, 23 Oktober 2017 lalu, Din bertugas mempromosikan kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila. Setelah dilantik, Din mengungkapkan situasi dan kondisi dunia sekarang sering  terjadi konflik antarumat beragama menuntut peran aktif Pemerintah sebagaimana amanah konstitusi, UUD 1945 yaitu terlibat menjaga ketertiban dan keamanan dunia.

Suara.com mengikuti safari misi Din pekan lalu. Din mengunjungi tokoh agama Katolik di kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Jakarta Pusat. Selain itu Din juga bertemu dengan tokoh lintas agama yang tergabung di Inter-Religious Council Indonesia di kawasan Jakarta Selatan.

Di sela-sela kegiatannya itu, Suara.com banyak menggali pemikiran mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu tentang kondisi nyata Indonesia yang tengah tegang dengan isu keagamaan dan politik identitas.

Din mengungkapkan ada khawatiran dari Presiden Jokowi soal isu SARA yang diprediksi mengancam negara. Sebab ketenggan antarumat saat ini masih terjadi. Antar kelompok masih ‘panas’. Dampak dari sisa Pemilihan Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2016 masih terasa.

Din, sebagai utusan khusus, merasa perlu bergerak menjadi penengah mengumpulkan pimpinan kelompok antar agama dan golongan untuk berdialog secara serius, tidak sekadar seremonial. Din pun menyebut misinya itu ‘mencari kaum bijak’.

Berikut wawancara suara.com dengan Din dalam dua kali sempatan berbeda di Jakarta pekan lalu:

Apakah masalah atau gangguan kehidupan umat beragama yang paling Anda soroti?

Pada dasarnya watak umat beragama di Indonesia, sebagaimana watak dan warna dasar bangsa Indonesia bercenderungan sangat mempunyai inklinasi kepada kasih sayang, kerukunan, harmoni dan perdamaian. Itu watak dasar bangsa Indonesia dan umat beragama di tanah air.

Mengapa demikian? Karena agama-agama yang hadir di Indonesia punya dasar dan watak menyebarkan perdamaian atau mengajarkan kasih sayang, kerukunan, harmoni dan perdamaian.

Ditambah lagi dengan adanya nilai dasar kita sebagai bangsa, yaitu kesepakatan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Maka ini modal dasar. Watak dasar agama bangsa Indonesia yang cenderung jalan tengah dan juga watak dasar negara Indonesia yang dipengaruhi oleh agama dan juga budaya Indonesia cendrung kepada jalan tengah.

Modal dasar ini telah menjelma selama beberapa dasawarsa. Terlihat sangat menonjol ketika para pendiri bangsa mendirikan Indonesia. Itu outputnya jalan tengah, yaitu Pancasila.

Memang prinsip ini bisa mengatasi primordialisme atas dasar agama maupun kesukuan secara relatif. Sehingga sentimen antiagama dan antisuku terkendali.

Namun perkembangan kehidupan berkebangsaan sejak era reformasi bebas dan cenderung kebablasan. Makanya muncul privatisasi, liberalisasi ekonomi, politik, dan budaya. Reformasi ada sisi positif dan negatif.

Perbedaan kepentingan politik memiliki daya rusak kepada kerukunan dan soliditas bangsa. Ini sudah dan tengah terjadi, ini yang harus diatasi.

Maka jalan keluarnya, mutlak dan perlu revitalisasi etos bangsa yang cenderung jelang tengah tadi. Baik lewat penekanan dan pengarusutamaan paham keagamaan yang moderat, toleransi, koeksistensi dan siap hidup berdampingan secara damai.

Bagaimana bentuknya? Itu adalah program aksi yang harus kita lakukan bersama. Tentu harus dimulai dari dalam komunitas umat beragama masing-masing.

Jalan keluar kedua, perlu mengeliminasi dampak dari faktor-faktor non agama yang merusak kerukunan. Seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan kesenjangan budaya. Kalau ini tetap ada, susah. Bagaikan, ada yang membangun dan juga yang menjebol.

Maka perlu pengendalian dan penyesuaian, sehingga tidak berdampak negatif. Bahwa ada dampak positif, itu harus dimanfaatkan.

Jalan ketiga, perlu kehadiran negara. Terutama mengatur kehidupan bersama dan tidak memasuki wilayah keyakinan, teologis. Negara harus hadir mengayomi kehidupan bernegara.

Apapun agamanya, sukunya, budaya dan bahasa. Negara harus hadir di atas semua golongan.

Maka amanat yang kami, para tokoh agama, terima ini bukan kerja orang perorang. Tidak bisa dikerjakan oleh satu kelompok agama saja.

Tidak bisa satu kelompok agama berpretensi bisa mengerjakan semua ini sendiri. Bahkan negara tidak bisa mengerjakan itu sendiri. Harus bersama.

Perlu ada koalisi besar dari kaum bijak dari lingkaran agama. Jumlahnya besar dan ada di semua agama, untuk berdialog dengan anak bangsa yang mempunyai pemikiran dan jalan sendiri. Bukan untuk diperangi. Jadi kata kuncinya, kedepankan dialog.

Dialog seperti apa yang diperlukan?

Saya optimis dengan meyakini the powor of dialogue. Karena dengan dialog, banyak masalah yang bisa selesai. Tapi dialognya harus dialogis. Dialog yang betumpu pada ketulusan, keterbukaan, keterusterangan dan mengatasi masalah. Jadi tidak lagi dialog yang basa basi, dan tidak hanya melibatkan lingkaran moderat. Tapi juga mengajak kalangan itu (radikal).

Orang Indonesia ini kan pada dasarnya baik. Misal ada satu keluarga yang berantem pukul-pukulan, besoknya sudah bersaudara lagi. Jadi konflik di Indonesia yang terjadi ini hanya perlu sentuhan khusus.

Langkah nyata apa yang sudah Anda lakukan untuk berdialog itu pascadilantik menjadi utusan khusus kepresidenan?

Sampai kini, saya mendirikan 4 organisasi untuk berkomunikasi antaragama. Pertama, Prakarsa Persahabatan Indonesia Palestina (PPIP) untuk  memberikan masukan dan sumbangan pemikiran ke masyarakat dunia. Orang-orang di dalamnya berisi tokoh-tokoh lintas agama.

Kedua, Inter-Religious Council Indonesia. Ini salah satu organisasi internasional yang ada di berbagai negara, pusatnya di New York. Saya menjadi salah satu presidennya. IRC berisi para tokoh dari semua agama di Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan NU.

Saya juga mendirikan Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi yang juga berisi orang-orang dari berbagai tokoh agama dan LSM bergabung. Program yang sedang menjalankan pembangunan Eco Rumah Ibadah yang memperhatikan pembuatan rumah ibadah yang berwawasan lingkungan.

Saya juga mendirikan Pergerakan Indonesia Maju. Ini bukan lembaga politik, tapi  menjalankan aksi kemanusiaan, membangun desa cerdas, desa maju energi yang belum punya listrik.

Sejak kemarin saya menemui kelompok-kelompok agama seperti di PGI dan KWI. Kita bersepakat di antar agama perlu dilakukan dialog di dalam dulu. Jadi bicara dengan kelompok yang punya pikiran anti Pancasila, kelompok garis keras, dan lain-lain.

Nanti di siatu waktu kita adakan pertemuan yang melibatkan mereka (kelompok radikal).

Anda melibatkan kelompok yang dinilai radikal

Selama ini secara terbatas saya pribadi dalam kapasitas pemangku amanat di ormas Islam, sudah mencoba. Yah ada berhasil, dan satu dua kelompok yang gagal bedialog karena chemistrynya tidak cocok.

Apalagi kelompok yang menggunakan “pokok e”. Yah tidak bisa dialog dan bicara. Bahkan ada yang menantang debat terbuka. Tapi saya optimis yah. Harus meyakini kekuatan dialog. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI