Irfan Idris: Perempuan di Lingkaran Terorisme

Senin, 30 Oktober 2017 | 07:00 WIB
Irfan Idris: Perempuan di Lingkaran Terorisme
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris . (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebuah penelitian yang dilakuakan Yayasan Prasasti Perdamaian menyebutkan ada tren keterlibatan perempuan dalam aksi teror di dunia. Tren ini juga terjadi di Indonesia.

Peran perempuan di aksi teror bukan lagi sekadar menjadi pendukung, tapi perempuan menjadi penentu. Teroris perempuan yang terakhir kali berniat melakukan aksi bom adalah Dian Yulia Novi (DYN). Dia ditangkap di kosan di Jalan Bintara Jaya VIII Kota Bekasi, dipersiapkan sebagai calon 'pengantin' pada Januari 2017 lalu.

Itu di Indonesia. Di Filipina, baru-baru ini seorang perempuan ditangkap karena tuduhan memasok orang asing untuk menjadi teroris di Marawi. Nama perempuan itu adalah Karen Aizha Hamidon. Hamidon merupakan istri Mohammad Jaafar Maguid, mantan pemimpin Ansar Khalifa Filipina yang tewas dalam operasi penangkapan teroris di Provinsi Sarangani, Filipina Selatan. Hamidon juga mantan istri pemimpin teror Singapura Muhammad Shamin Mohammed Sidek yang ditahan di negara asalnya karena diduga memiliki hubungan dengan Daesh.

Dalam penetian itu juga disebut ada pergerseran peran perempuan dalam aksi terorisme terjadi saat kelompok the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menguat. Dia menyebut perempuan menjadi agresif di banding kaum Adam.

Perempuan terlibat aktif dalam kegiatan teror berdasar agama berawal lewat perkawinan, pertemanan, pengajian, persaudaraan dan perkencanan dengan anggota sel teroris tertentu. Bahkan media soal menjadi jalur yang ampuh untuk merekrut teroris perempuan.

Kebanyakan dari perempuan yang direkrut itu mempunyai berbagai motif sampai akhirnya bergabung dengan teroris. Mulai dari motif sosial, ekonomi dan politik. Salah satunya, mereka melihat ketidakadilan di negerinya.

Penelitian itu dipaparkan dalam Konferensi Pengetahuan dari Perempuan III di Universitas Indonesia pekan lalu. Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris menjadi salah satu pembicara kunci di sana.

Suara.com menemui profesor bidang radikalisme itu di sela-sela konferensi. Dia banyak cerita soal adanya tren keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Di Indonesia itu sudah terjadi. Irfan merupakan salah satu sosok di balik program deradikalisasi milik BNPT. Dia banyak menulis buku-buku kontra-terorisme.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Alayudin Makassar itu juga banyak cerita deradikalisasi BNPT kekinian. Termasuk deradikalisasi untuk teroris perempuan.

Berikut wawancaranya:

Banyaknya teroris dari kalangan perempuan, apakah ini sebuah tren baru?

Perempuan lebih mudah untuk diajak (gabung ke kelompok teroris). Perempuan diajak suaminya dengan pendekatan yang lebih soft. Kan mereka (perempuan) menggunakan perasaan, mungkin jika laki-laki masih pikir-pikir. Perempuan, jika sudah terpengaruhi maka akan kuat.

Karena itu diyakini, dan banyak fakta bicara begitu. Perempuan dituding akan dijadikan ‘pabrik manusia’ di Suriah sana. Perempuan diberikan informasi, bahwa tidak bisa mengangkat senjata di sana. Mereka diminta melayani para jihadis-jihadis, dan berkontribusi melahiran jihadis-jihadis.

Mereka juga minim pengetahuan, sehingga mudah diajak. Tapi bisa saja justru mereka punya pendidikan tinggi. Ini soal keterpengaruhan, kalau sudah mengena, maka bisa jadi mereka ikut.

Kami menerima deportan dari Suriah (pernah tergabung dengan ISIS) sebanyak 18 orang. Sebanyak 13 orang di antaranya perempuan dan anak-anak. Dari 18 orang, hanya 5 lelaki dewasa.

Mereka tinggal di Cipayung, dan sudah tidak punya apa-apa lagi. Jadi mudah kembali terpengaruh kembali ke Suriah.

Sejak Januari 2017, BNPT menerima deportan 300 orang. Hampir separuhnya perempuan.

Apa yang menyebabkan mereka mudah terpengaruhi?

Sehingga tidak hanya 1 faktor (sebab perempuan gabung ke organisasi teroris). Bisa juga karena ekonomi, keluarga, agama dan keyakinan. Korban doktrin banyak dari mahasiswi, mereka tiba-tiba hilang.

Yang sudah saya angkat, hanya yang sudah dewasa. Sementara ada juga anak-anak yang sudah berani mengkafirkan ibunya. Seorang ibu datang ke BNPT dengan menangis. Dia mengadu karena anaknya baru lulus SD masuk pesantren yang bukan pesantren, dia baru menghafal Al Quran.

Sebulan kemudian, dia meminta ibunya itu menggunakan pakaian tertutup dengan mengirimkan poster-poster.

Tapi saya tidak salahkan mereka, sebab masyarakat secara umum pun harus memberikan penjelasan dan dukungan, bahwa tidak ada ada yang mengajarkan bunuh diri untuk masuk surga.

Selama ini ajakan seperti itu selalu diglorifikasi dan diberikan narasi-narasi tidak benar.

BNPT mendapatkan pengalaman di Munchen dan Berlin selama 2 pekan di sana. Kami dialog bersama LSM dan pemerintah Jerman, untuk bertukar informasi dan apa yang mereka lakukan untuk memberantas terorisme.

Mereka banyak menghadapi persoalan pulangnya imigrant-imigran dari Suriah dan melakukan aksi teror.

Sejauhmana peran perempuan teroris?

Seperti di Suriah, mereka angkat senjata. Bisa juga ikut menjadi tukang masak, bahkan bisa juga diintimidasi dan diancam.

Filipina mengumumkan Marawi sudah bebas dari ISIS, sejauhmana mempengaruhi keamanan Indonesia?

Secara umum, organisasi apapun bisa berakhir, tapi ideologi tidak akan pernah berakhir. Organisasi bisa kalah, tapi ideologi tidak pernah bisa dikalahkan.

Selama ini Indonesia mengandalkan deradikalisasi sebagai program pencegahan. Sejauhmana inovasi program ini di BNPT?

Program deradikalisasi lebih mengedepankan upaya pretension. Ada 3 aspek yang dilakukan BNPT dalam proses deradikalisasi. Deradikalisasi di luar Lapas, di dalam lapas, dan di Pusat Deradikalisasi, Sentul, Bogor.

Deradikalisasi di luar lapas, semisal ada 5 kelompok deportan mantan teroris dari Suriah yang dimasukan dalam program deradikalisasi. Deradikalisasi di luar Lapas membina mantan teroris, mantan napi teroris, keluarga, jaringan dan yang terindikasi terhadap radikalisasi. Selain itu juga perlindungan untuk korban.

Ada 4 tahapan yang dilakukan dalam deradikalisasi di luar Lapas. Pertama identifikasi, kami mendata bukan hanya soal data diri dan latar belakang kehidupan. Di identifikasi ini BNPT mendata, apakah harapan mereka dan keahlian? Setelah ini, BNPT butuh informasi dengan siapa mereka tinggal, informasi orangtua, dan guru spiritual mereka sebelum dan sesudah menjadi teroris.

Selanjutnya, BNPT melakukan pembinaan wawasan kebangsaan. Kami berdialog bagaimana hidup di negara Republik Indonesia, bukan tinggal di negara agama. Kami juga akan menelusuri proses mereka hingga bisa memikirkan soal negara Islam. Pembinaan selanjutnya melibatkan tokoh-tokoh agama dan keluarga yang dituakan.

Selain itu kami membina wawasan keagamaan, bagaimana mengurai istilah-istilah keagamaan yang mereka tidak diketahui secara konprehensif. Salah satunya pengetahuan soal sejarah Arab berbeda dengan Indonesia.

Terakhir dilakukan pembinaan wawasan kewirausahaan untuk membangun kehidupan ekonomi mereka. Endingnya, mereka akan ditanya soal keperluan untuk kehidupan selanjutnya. Tapi kami tidak memberikan anggaran, tapi memberikan pelatih.

Di seluruh Indonesia ada 600 mantan teroris yang didampingi BNPT.

Cara deradikalisasi ini sudah sangat tercatat lengkap dalam buku, sampai instrument.

BNPT menggandeng 32 kementerian dan lembaga untuk melakukan penguatan ekonomi para mantan teroris. Misal di kerjasama Kementerian Desa memanfaatkan dana desa untuk membantu para mantan teroris agar tidak tergoda ke luar negeri.

Sebab ISIS sampai menjanjikan kehidupan ekonomi yang tinggi.

Selain itu Kementerian Dalam Negeri untuk memudahkan eks teroris dan keluarganya  pembuatan Kartu Keluarga dan KTP. Kementerian Sosial sudah melakukan intervensi di 3 provinsi untuk memberikan para mantan teroris bantuan sosial, sampai Kartu Jakarta Pintar. Yaitu di Jawa Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Sementara di dalam Lapas, kami juga melakukan identifikasi, bukan introgasi. Dalam melakukan tahap ini, ada juga mantan teroris yang tidak kooperatif.  Mereka tidak ingin dibawa petugas Lapas karena menganggap thogut.

Bahkan napi teroris itu aktif melakukan radikalisasi di dalam Lapas. Ada juga napi umum yang akhirnya jadi teroris.

Makanya kami lakukan kontra-radikalisasi di dalam Lapas dengan mengindentifikasi Lapas yang berisi napi terorisme yang mencuci otak napi umum.

Bahkan ada juga pegawai Lapas yang menjadi teroris. Karena tiap hari bertemu napi teroris. Di hari pertama sipir penjara itu membentak napi. Tapi hari kedua muai bersalaman dan hari ketiga sudah cium tangan dengan napi teroris itu.

Setelah diidentifikasi, kami lakukan rehabilitasi. Dalam tahap ini, pemikiran napi teroris yang minus kami buat dijadikan ‘nol’, dari sisi mental dan psikologi. Kami banyak menggandeng psikolog untuk mendekati keluarga napi teroris itu.

Setelah itu dilakukan re-edukasi. Tokoh agama atau tokoh budaya bicara dari hati ke hati dengan napi teroris itu. Ini pendekatan soft approach, tanpa menyalahkan apa yang mereka perbuat.

Terakhir, melakukan reintegrasi, dengan memastikan mereka kembali ke masyarakat dan diterima oleh masyarakat. Sebab jika tidak diterima, mereka bisa kembali menjadi teroris.

Konsep counter narrative terrorism, ibaratnya mencabut pohon radikal. Kalau alternatif narrative, pohon itu jangan ditebang karena akan tumbuh lebih banyak. Tapi di sekitar pohon harus ditanami tanaman yang baik agar pohon itu tidak tumbuh sebagai pohon yang radikal.

Berapa orang yang sedang menjanji deradikaisasi di Pusat Deradikaisasi, Sentu, Bogor?

Di Pusat Deradikalisasi sudah ada 2 angkatan. Kami menyebut mereka santri yang lagi mondok. Mereka full ada di sana. Di sana ada 13 napi teroris, sudah 8 orang bebas (penjara), tinggal 5 orang belum. Kami kembali menambah 16 orang yang koorperatif dan sebentar lagi bebas.

Kelompok teroris agak ‘miring’ melihat istilah deradikalisasi, karena disebut sebagai de-Islamisasi atau pendangkalan akidah, dan juga pendangkalan agama. Di Pusat Deradikalisasi, kami memanusiakan mereka. Bahkan mengajak anak-anak mereka ikut berbagai lomba-lomba.

Sebanyak 8 alumni (mantan teroris) sudah banyak menyebar di seluruh indonesia. Dua orang di Jawa Timur, 3 orang di DKI Jakarta, dan dua lainnya di Medan.

Mereka mempunyai usaha kecil, meski kami tidak maksimal mewujudkan keinginan mereka. Kami bukan ATM, makanya BNPT ajak pemerintah ikut berperan.

Bagaimana perbedaan tangani teroris perempuan dan lelaki?

Tentunya ada perbedaan. Kita harus lebih banyak menghadirkan guru-guru yang dia kagumi dan guru yang berada di atas ilmunya.

Untuk teroris perempuan, kami mengajak orang-orang yang bisa bicara dengan ‘bahasa hati’ dan ‘kalbu’. Jadi menyentuh hati perempuan itu. Dan juga mengajak anak-anaknya.

Pekerjaan deradikalisasi ini masih panjang.

Meibatkan masyarakat..

Ada 3 hal yang dilaksanakan BNPT. Kebijakan strategi, program, dan membentuk satgas. Melibatkan seluruh kompoten bangsa.

Bagaimana kita melakukan reinterpretasi istilah. Terutama istilah yang akrab dengan bahasa agama. Istilah itu tidak menyeluruh dimaknai oleh para jihadis.

Silent majority, sipil yang besar tapi cenderung diam. Kita sedang pertarung dengan kelompok radikal agar generasi pemuda jangan percaya dengan istilah yang mengemas dengan simbol keislaman dan mendirikan negara islam.

Sekarang ini ada 105 lapas yang berisi 265 napi teroris yang kita lakukan program deradikalisasi.

Teroris itu kejahatan luar biasa, kita butuh taktik dan program yang luar biasa juga. Pelibatan seluruh kompoten bangsa. Teroris itu musuh kemanusiaan, teroris bukan manusia. Semua negara tengah menanggulangi kejahatan teroris. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI