Suara.com - Selama 2 tahun terakhir isu kesukuan, agama, ras, dan atargolongan ramai di publik Indonesia. Isu itu datang sebelum dan sesudah Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun lalu.
Isu tersebut berujung munculnya berbagai macam aksi demonstrasi sampai kasus hukum. Sebut saja berbagai demonstrasi kelompok muslim, kasus penodaan agama yang memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, sampai pencabutan izin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai ormas.
Sekertaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti memprediksi kegaduhan atas nama agama kemungkinan akan kembali terjadi. Tidak hanya itu, ‘pemainan’ politik identitas pun mungkin saja akan meramaikan Pilkada serentak 2018 dan Pemilihan Presiden 2019.
Direktur Eksekutif the Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations itu merupakan salah satu ulama di Indonesia yang moderat dan pakar dalam bidang keberagaman dalam Islam.
Suara.com menemui Mu’ti di sela-sela Conference on Religion Journalism yang digelar The International Association of Religion Journalists (IARJ), Serikat Jurnalis untuk Keberaagaman (SEJUK) dan UMN di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang, Banten pekan lalu. Di sana Mu’ti menjadi salah satu pembicara kunci.
Peraih gelar master di Universitas Flinders Australia banyak bercerita soal Islam dan demokrasi di Indonesia. Menurut dia, Indonesia mempunyai tantangan terbesar dalam menjaga keberagaman. Kata dia, elit politik dan media massa memegang kunci keberhasilan dalam melewati tantangan ini.
Penulis buku ‘Deformalisasi Islam’ itu juga berkomentar soal pernyataan “pribumi” Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang nilai bermuatan rasisme. Apakah ini bagian dari politik identitas yang dia sebut berbahaya itu?
Berikut wawancara lengkap suara.com kepada Abdul Mu’ti:
Pemilihan kepala daerah serentak akan kembali dimulai 2018 tahun depan. Setelah itu Pilpres di 2019. Sejauhmana agama dan identitas akan berpotensi dipolitisasi?
Bangsa Indonesia ini mempunyai warga yang religious, isu agama akan menjadi isu yang sensible, menjadi isu yang marketable atau laku diperdagangkan. Selain itu isu tersebut bisa menyulut sebuah persoalan yang sensitif.
Sebenarnya, ada persoalan sejak ada otonomi daerah. Otda menyebabkan ada sentimen kedaerahan yang kuat. Sebagian dari itu menyoalkan identitas, etnik dan ras.
Selain itu kemungkinan ada praktik politik lama akan dipakai lagi. Sebab selama ini dianggap sukses, terutama soal penistaan agama.
Sehingga Indonesia mempunyai tantangan, bagaimana masyarakat sipil bisa memastikan partai mencetak orang-orang yang punya integritas dan kredebilitas. Tidak sekadar terkenal. Selama ini yang menang, mereka yang hanya mempunyai keterkenalan dan sumber keuangan besar. Selain itu, bagaimana mendorong proses itu berjalan secara transparan.
Maka itu penggunaan media, perlu menjadi bagian dari agenda khusus agar ancaman itu tidak terjadi. Terutama penggunaan media sosial. Banyak penyebaran kebencian dan kampanye hitam dilakukan melalui media sosial, terlebih selama ini regulasinya belum ada.
Sementara untuk menggunakan media massa, sudah ada regulasi cukup ketat soal memanfaatkan media massa untuk berpolitik.
Di antara hal itu, peran masyarakat sipil semakin diperlukan untuk memastikan pemilu 2018 berjalan secara damai dan berkualitas.
Itu potensi besar di Pilkada, bagaimana penggunaan isu agama di Pilpres 2019?
Itu akan sangat bervariasi, di mana daerah pemilihan diselenggarakan. Sebab tidak semua daerah memunyai penduduk mayoritas Islam. Misal di Indonesia Timur, Islam agama yang minoritas.
Oleh karena itu isu agama ini tidak hanya berkait dengan Islam, tapi bisa juga digunakan oleh kelompok agama lainnya.
Bahayanya akan lebih besar…
Dalam konteks ini diperlukan komunikasi dan kerjasama lintas iman di antara para tokoh dan pemeluk agama. Untuk memastikan tidak ada penyalahggunaan agama itu. Masalahnya penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik.
Kita mempunyai banyak muslim yang toleran, tapi mereka muslim toleran yang malas. Karena mereka diam dan membiarkan kelompok radikal yang banyak bicara.
Mereka (kelompok intoleran) makin bersuara karena media menyiarkannya. Saat pilkada Jakarta kemarin, Muhammdiyah dan NU menyerukan orang-orang yang toleran bersuara dan mendorong situasi yang damai.
Jadi saat ini dan ke depan, orang-orang yang mempunyai suara toleran harus muncul. Agar pemilu ke depan akan lebih baik.
Mengapa silent majority terus ada di saat-saat pesta demokrasi?
Silent majority terjadi karena beberapa faktor, salah satunya karena keterancaman keamanan diri sendiri. Mereka khawatir jika menyampaikan pendapat yang berbeda, karena merasa berpotensi mengganggu keselamatan.
Sehingga mereka memilih diam daripada berisiko dengan keselamatan dirinya.
Selain itu ada kecenderungan media lebih menyuarakan statemen yang kontroversial daripada penyataan yang esensial. Media menilai, semakin kontroversial maka akan banyak dibaca dan lain-lain. Sehingga publik menilai penyataan itu didominasi oleh kelompok-kelompok yang radikal.
Selain itu ada persoalan masyarakat cenderung apatis terhadap proses pemilu. Sebagian merasa kehilangan harapan, kerena hasilnya dianggap akan seperti itu saja.
Selain isu agama, politik identitas yang menyinggung kesukuan dan ras juga sering dipakai. Bagaimana pandangan Anda?
Indonesia negara yang punya banyak indentitas. Mulai dari Jawa, Sunda dan lain-lain. Sekarang yang jadi tantangan, bagaimana kita semua menghormati dan menerima identitas itu. Bagaimana kita bisa berekspresi dengan identitas itu dengan mengeluarkan pendapat, dan bisa diterima siapa pun.
Saat ini Indonesia mempunyai 6 agama yang diakui negara. Setiap negara mempunyai hari besar dan hari besar itu menjadi hari libur nasional. Jadi Indonesia adalah negara yang mempunyai hari libur paling banyak karena keberagaman agama.
Ini adalah keindahan dalam keberagaman.
Gubernur Anies Baswedan dikritik karena mengeluarkan pernyataan ‘pibumi’ yang nilai menyinggung identitas tertentu…
Masyarakat perlu dewasa menyikapi berbagai hal. Jangan segala sesuatu kemudian dibawa ke ranah hukum dan diselesaikan lewat pengadilan. Menurut saya itu sikap yang terkanak-kanakan.
Istilah yang dipakai Pak Anies, bukan istilah yang sama sekali salah. Karena UU juga menyebut itu dan banyak perangkat lain mengakui itu. Lalu istilah pribumi pun tidak mengacu pada kelompok tertentu.
Kelompok yang sudah establish di sini juga bisa disebut sebagai pribumi.
Apakah singgungan seperti itu akan menjadi ancaman?
Kalau disikapi dengan dewasa, tidak akan menjadi serius. Problemnya, masyarakat sangat mudah tersinggung.
Kita realistis saja lah, bahwa Indonesia akan menjadi kuat jika kita bersama-sama. Kalau sedikit-sedikit diperbesar, dan tidak rasional. Kita akan menjadi orang yang terus menyebarkan hal negatif.
Jadi boleh kritis, tapi tidak menjadi negatif.
Kalau itu terjadi, siapapun yang memimpin tidak akan bisa bertahan. Sebagiknya warga Jakarta bersabar, biarkan gubernur baru bekerja. Jangan apapun disikapi dengan kemarahan.
Ini harus berlaku untuk kepala daerah lain. Kalau pemimpin dicari salahnya, akan banyak.
Seperti dulu, selalu dicari salahnya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Akhirnya kita mewarisi kebencian antar kelompok. Kalau itu terjadi, nggak akan bisa bekerja. Kalau ada perbedaan dan kurang itu wajar sekali.
Bagaimana Anda memandang demokrasi dan Islam di Indonesia?
Islam dan demokrasi ini sebagai isu yang relevan untuk keadaan negeri saat ini. Hubungan masyarakat Indonesia sebenarnya harmonis. Sejauhmana muslim berperan dalam membangun demokrasi di Indonesia? Tentu muslim mempunyai peran penting dalam membangun demokrasi di Indonesia, termasuk dalam mengambil kebijakan penting.
Muslim di Indonesia sudah tidak lagi mempertanyakan soal sistem demokrasi negara yang dianut. Tapi masih ada tantangan, sebagian orang mengkritik soal demokrasi di Indonesia, terutama yang dihubungkan antara demokrasi dengan kemakmuran negara.
Sebagian banyak juga yang bertanya ke saya, bahwa demokrasi itu sangat gaduh karena banyak sekali suara untuk membuat keputusan. Tapi bayangkan saja jika demokrasi tidak melibatkan orang-orang yang berbeda dalam berpendapat.
Maka iu demokrasi sudah dipastikan gaduh karena seorang orang mempunyai kebebasan dalam berpendapat, ini menunjukan demokrasi yang sehat, karena setiap orang berkontribusi.
Selain itu ada yang mengkritik jika demokrasi di Indonesia penuh dengan kekerasan, saya katakana ada juga kasus-kasus kekerasan itu. Tapi tidak separah di negara-negara lain.
Kadang, saya melihat ini jadi sebuah tantangan untuk menciptakan demokrasi yang sehat. Tapi saya optimis, Indonesia akan membaik.
Sekarang tantangan terbesar, bagaimana membawa sistem demokrasi yang terbuka, transpransi, egaliter, toleran dan pluralis ini ke arah keadilan dalam berpolitik dan bernegara.
Demokrasi ini harus transpran, terutama saat pemilihan pemimin. Jadi setiap orang bisa memilih, dan nanti juga bisa menagih janji pemimpin itu.
Tapi ada juga kelompok yang memermasalahkan soal demokrasi itu…
Tapi itu jumlahnya sedikit. Hanya Hizbut Tahrir saja. Dia ingin mengubah demokrasi menjadi sistem kalifah. Apa jadinya jika dunia ini hanya dipimpin oleh 1 kalifah? Jadi ini tidak cocok dengan dunia saat ini. Siapa yang akan menjadi kalifah? Itu belum bisa dijawab oleh HTI.
Demokrasi ini dibawa bukan hanya untuk pemilihan umum. Tapi untuk membuat masyarakat nyaman dengan nilai dan budaya yang dia anut.
Demokrasi pada dasarnya dari rakyat untuk rakyat, semua keputusan sebenarnya dihasilkan oleh rakyat secara langsung.
Tahun 2018 nanti, ada pemilihan kepala daerah. Partai politik sudah menyiapkan pasangannya. Begitu juga tahun 2019, kita akan menghadapi pemilihan umum presiden dan parlemen.
Mulai sekarang seharusnya dilakukan pendidikan ke calon pemilih. Khususnya untuk yang muda dan masyarakat kelas bawah. Ini tidak mudah, tapi ini tantangannya. Sebab kebanyakan pemilih ada kelas menengah dan menengah bawah, orang-orang ini sangat rasional dan objektif.
Profil Abdul Mu’ti
Abdul Mu’ti lahir di Kudus, 2 September 1968. Dia merupakan salah satu tokoh toleransi dari Muhammadiyah. Mu’ti merupakan ahli agama Islam lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Gelar masternya didapat di Flinders University, Australia, dan gelar doktor dia raih di UIN Syarif Hidayatullah. Saat ini Mu’ti menjabat sebagai Sekertaris Jenderal PP Muhammadiyah.
Mu’ti ahli di bidang pendidikan agama dan pluralism. Dia direktur eksekutif the Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations. Mu’ti sering terlibat dalam kelompok Intelektual Muslim Indonesia, kelompok Anti Terorisme di Kementerian Agama.Mu’ti banyak menulis pandangannya dalam buku-buku. Di antaranya ‘Deformalisasi Islam’ (2004) dan ‘Inkulturasi Islam’ (2009).