Abdul Mu'ti: Isu Agama Masih Laku Dijual

Senin, 23 Oktober 2017 | 07:00 WIB
Abdul Mu'ti: Isu Agama Masih Laku Dijual
Sekertaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Mengapa silent majority terus ada di saat-saat pesta demokrasi?

Silent majority terjadi karena beberapa faktor, salah satunya karena keterancaman keamanan diri sendiri. Mereka khawatir jika menyampaikan pendapat yang berbeda, karena merasa berpotensi mengganggu keselamatan.

Sehingga mereka memilih diam daripada berisiko dengan keselamatan dirinya.

Selain itu ada kecenderungan media lebih menyuarakan statemen yang kontroversial daripada penyataan yang esensial. Media menilai, semakin kontroversial maka akan banyak dibaca dan lain-lain. Sehingga publik menilai penyataan itu didominasi oleh kelompok-kelompok yang radikal.

Selain itu ada persoalan masyarakat cenderung apatis terhadap proses pemilu. Sebagian merasa kehilangan harapan, kerena hasilnya dianggap akan seperti itu saja.

Selain isu agama, politik identitas yang menyinggung kesukuan dan ras juga sering dipakai. Bagaimana pandangan Anda?

Indonesia negara yang punya banyak indentitas. Mulai dari Jawa, Sunda dan lain-lain. Sekarang yang jadi tantangan, bagaimana kita semua menghormati dan menerima identitas itu. Bagaimana kita bisa berekspresi dengan identitas itu dengan mengeluarkan pendapat, dan bisa diterima siapa pun.

Saat ini Indonesia mempunyai 6 agama yang diakui negara. Setiap negara mempunyai hari besar dan hari besar itu menjadi hari libur nasional. Jadi Indonesia adalah negara yang mempunyai hari libur paling banyak karena keberagaman agama.

Ini adalah keindahan dalam keberagaman.

Gubernur Anies Baswedan dikritik karena mengeluarkan pernyataan ‘pibumi’ yang nilai menyinggung identitas tertentu…

Masyarakat perlu dewasa menyikapi berbagai hal. Jangan segala sesuatu kemudian dibawa ke ranah hukum dan diselesaikan lewat pengadilan. Menurut saya itu sikap yang terkanak-kanakan.

Istilah yang dipakai Pak Anies, bukan istilah yang sama sekali salah. Karena UU juga menyebut itu dan banyak perangkat lain mengakui itu. Lalu istilah pribumi pun tidak mengacu pada kelompok tertentu.

Kelompok yang sudah establish di sini juga bisa disebut sebagai pribumi.

Apakah singgungan seperti itu akan menjadi ancaman?

Kalau disikapi dengan dewasa, tidak akan menjadi serius. Problemnya, masyarakat sangat mudah tersinggung.

Kita realistis saja lah, bahwa Indonesia akan menjadi kuat jika kita bersama-sama. Kalau sedikit-sedikit diperbesar, dan tidak rasional. Kita akan menjadi orang yang terus menyebarkan hal negatif.

Jadi boleh kritis, tapi tidak menjadi negatif.

Kalau itu terjadi, siapapun yang memimpin tidak akan bisa bertahan. Sebagiknya warga Jakarta bersabar, biarkan gubernur baru bekerja. Jangan apapun disikapi dengan kemarahan.

Ini harus berlaku untuk kepala daerah lain. Kalau pemimpin dicari salahnya, akan banyak.

Seperti dulu, selalu dicari salahnya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Akhirnya kita mewarisi kebencian antar kelompok. Kalau itu terjadi, nggak akan bisa bekerja. Kalau ada perbedaan dan kurang itu wajar sekali.

Bagaimana Anda memandang demokrasi dan Islam di Indonesia?

Islam dan demokrasi ini sebagai isu yang relevan untuk keadaan negeri saat ini. Hubungan masyarakat Indonesia sebenarnya harmonis. Sejauhmana muslim berperan dalam membangun demokrasi di Indonesia? Tentu muslim mempunyai peran penting dalam membangun demokrasi di Indonesia, termasuk dalam mengambil kebijakan penting.

Muslim di Indonesia sudah tidak lagi mempertanyakan soal sistem demokrasi negara yang dianut. Tapi masih ada tantangan, sebagian orang mengkritik soal demokrasi di Indonesia, terutama yang dihubungkan antara demokrasi dengan kemakmuran negara.

Sebagian banyak juga yang bertanya ke saya, bahwa demokrasi itu sangat gaduh karena banyak sekali  suara untuk membuat keputusan. Tapi bayangkan saja jika demokrasi tidak melibatkan orang-orang yang berbeda dalam berpendapat.

Maka iu demokrasi sudah dipastikan gaduh karena seorang orang mempunyai kebebasan dalam berpendapat, ini menunjukan demokrasi yang sehat, karena setiap orang berkontribusi.

Selain itu ada yang mengkritik jika demokrasi di Indonesia penuh dengan kekerasan, saya katakana ada juga kasus-kasus kekerasan itu. Tapi tidak separah di negara-negara lain.

Kadang, saya melihat ini jadi sebuah tantangan untuk menciptakan demokrasi yang sehat. Tapi saya optimis, Indonesia akan membaik.

Sekarang tantangan terbesar, bagaimana membawa sistem demokrasi yang terbuka, transpransi, egaliter, toleran dan pluralis ini ke arah keadilan dalam berpolitik dan bernegara.

Demokrasi ini harus transpran, terutama saat pemilihan pemimin. Jadi setiap orang bisa memilih, dan nanti juga bisa menagih janji pemimpin itu.

Tapi ada juga kelompok yang memermasalahkan soal demokrasi itu…

Tapi itu jumlahnya sedikit. Hanya Hizbut Tahrir saja. Dia ingin mengubah demokrasi menjadi sistem kalifah. Apa jadinya jika dunia ini hanya dipimpin oleh 1 kalifah? Jadi ini tidak cocok dengan dunia saat ini. Siapa yang akan menjadi kalifah? Itu belum bisa dijawab oleh HTI.

Demokrasi ini dibawa bukan hanya untuk pemilihan umum. Tapi untuk membuat masyarakat nyaman dengan nilai dan budaya yang dia anut.

Demokrasi pada dasarnya dari rakyat untuk rakyat, semua keputusan sebenarnya dihasilkan oleh rakyat secara langsung.

Tahun 2018 nanti, ada pemilihan kepala daerah. Partai politik sudah menyiapkan pasangannya. Begitu juga tahun 2019, kita akan menghadapi pemilihan umum presiden dan parlemen.

Mulai sekarang seharusnya dilakukan pendidikan ke calon pemilih. Khususnya untuk yang muda dan masyarakat kelas bawah. Ini tidak mudah, tapi ini tantangannya. Sebab kebanyakan pemilih ada kelas menengah dan menengah bawah, orang-orang ini sangat rasional dan objektif.

Profil Abdul Mu’ti

Abdul Mu’ti lahir di Kudus, 2 September 1968. Dia merupakan salah satu tokoh toleransi dari Muhammadiyah. Mu’ti  merupakan ahli agama Islam lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Gelar masternya didapat di Flinders University, Australia, dan gelar doktor dia raih di UIN Syarif Hidayatullah. Saat ini Mu’ti menjabat sebagai Sekertaris Jenderal PP Muhammadiyah.  

Mu’ti ahli di bidang pendidikan agama dan pluralism. Dia direktur eksekutif the Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations. Mu’ti sering terlibat dalam kelompok Intelektual Muslim Indonesia, kelompok Anti Terorisme di Kementerian Agama.Mu’ti banyak menulis pandangannya dalam buku-buku. Di antaranya ‘Deformalisasi Islam’ (2004) dan ‘Inkulturasi Islam’ (2009).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI