Suara.com - Grandprix Thomryes Marth Kadja membuat kaget dan siapa pun tercengang. Dia menjadi doktor ilmu kimia di usia 24 tahun.
Perjalanan pendidikan lelaki asal Kupang itu pun tergolong cermelang, otak encernya pernah membuatnya juara olimpiade kimia. Di usia mudanya itu, Grandprix pun sudah go internasional dengan menerbitkan 9 jurnal ilmiah. Semua tentang ilmu kimia.
Suara.com bertemu dengan salah satu manusia jenius di Indonesia itu di Jakarta pekan lalu. Peraih gelar master dan doktor dari Institut Teknologi Bandung itu buka-bukaan, bagaimana menjadi manusia jenius? Apakah belajar terus?
Bagaimana pula kehidupan masa mudanya hingga mendapat gelar doktor kimia, ilmu yang kebanyakan menjadi momok karena tingkat kesulitannya yang tinggi? Dia pun cerita itu.
Tak hanya sekadar berstatus doktor, dia juga penemu. Penelitiannya tentang zeolit diprediksi membuka babak baru dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) minyak bumi di Indonesia.
Sebab saat ini Indonesia terus dikritik belum mandiri untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak. Temuan Grandprix itu diprediksi akan membuat harga BBM di Indonesia menjadi terjangkau.
Apa penemuannya?
Simak wawancara lengkap suara.com dengan Grandprix berikut ini:
Bagaimana perjalanan singkat sekolah Anda?
Saya lulus S1 dari Fakultas MIPA Jurusan Kimia di Universitas Indonesia setelah kuliah 3,5 tahun. Setelah itu melanjutkan S2 lewat program Beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) di Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Tahun 2013 masuk S2 ITB, lulus 2015. Lalu langsung mengambil S3 dan 2017 lulus.
Di usia 16 menjadi mahasiswa. Apakah Anda menjalankan program pendidikan khusus saat itu?
Nggak ada target untuk mendapatkan gelar akademis dengan cepat. Namun saya mulai masuk Sekolah Dasar usia 5 tahun. Saat SMA menjalani program akselerasi, seharusnya sekolah 3 tahun, jadi hanya 2 tahun. Biasanya 1 semester dijalani 6 bulan, tapi hanya menjalankan 4 bulan.
Mengapa Anda minat mendalami ilmu kimia?
Mulai SMA, karena gurunya enak dalam mengajar. Setelah itu mengikuti olimpiade kimia se-provinsi Nusa Tenggara Timur, dan mendapat juara 1.
Bagaimana cara belajar Anda hingga bisa menjadi doktor di usia sangat muda, 24 tahun?
Kalau belajar di sekolah atau kampus dengan sangat serius, kalau di rumah tidak belajar, banyak main. Tidak pernah belajar sampai larut malam di rumah, biar seimbang.
Dari mana Anda mendapatkan cara belajar seperti itu?
Nggak belajar dari mana pun, saya mengikuti kesukaan saja. Tapi sebenarnya ada pemaksaan diri juga, kalau di sekolah serius belajar saja.
Apa yang memotivasi Anda untuk belajar dengan rajin dan serius?
Orangtua. Karena mereka sudah susah-susah sekolahkan saya. Kalau nggak serius, kasian sekali.
Anda masuk kuliah usia 16 tahun. Apa tantangan saat itu?
Paling sulit di awal kuliah, karena datang dari daerah jauh, Indonesia timur. Dari lahir sampai lulus SMA di Kupang, NTT. Tiba-tiba harus ke Ibu Kota dan kuliah di Universitas Indonesia, jadi gegar budaya, di tambah usia masih sangat muda. Harus menyesuaikan dari segi bahasa, untungnya punya teman baik.
Apa minat penelitian Anda di bidang kimia?
Jurusan Kimia mempunyai beberapa bidang, kimia fisik, kimia anorganik, kimia analitik dan bio kimia. Saya tidak minat di bio kimia karena tidak suka biologi. Tapi dalam perjalanan, saya suka kimia anorganik dan kimia fisik, sampai sekarang.
Kimia fisik dan anorganik mempelajari material, sekarang banyak bersentuhan dengan material katalis. Material katalis mempercepat reaksi kimia. Misal untuk mengkonversi minyak bumi mentah menjadi bahan bakar. Selain itu untuk memproduksi biogasoline (bahan bakar minyak) dari biomasa kelapa sawit atau juga dari limbah plastik.
Sejak S1 sampai S3 fokus mempelajari material katalis dan semakin mendalami.
Apakah Anda merasa pencapaian doktor di usia 24 tahun terlalu cepat untuk seorang ilmuan?
Untuk sekarang saya doktor paling muda, sebenarnya di luar negeri ada yang lebih muda. Indonesia memang perlu doktor-doktor muda untuk berkarier sebagai ilmuan. Sehinga waktu untuk berkarya lebih panjang. Tapi itu jarang di Indoesia.
Sampai saat ini, saya sudah mempublikasikan 7 artikel ilmiah di jurnal internasional. Empat publikasi ilmiah di antaranya mempunyai kategori Q1, atau terbit di jurnal internasional yang unggul.
Saya tunjukan dari Indonesia juga bisa.
Sebenarnya, bagaimana Anda mengatur waktu untuk belajar? Apakah sebagian besar waktu Anda digunakan untuk belajar?
Motto saya “work hard, play harder”. Di kampus serius belajar, tapi harus seimbang. Saya sama teman rutin tiap minggu main bulu tangkis, karoke dan nonton bioskop.
Dalam sehari berapa jam anda belajar?
Saya di kampus dari pukul 08.00 sampai 18.00. Sekitar 10 jam.
Bagaimana tips Anda agar tetap fokus dalam balajar dan bekerja?
Saya nggak punya Instagram, tapi pernah punya tahun 2012, tapi tidak pernah dipakai lagi.
Begitu juga Facebook, saya sudah non aktifkan akunnya. Saya tidak punya akun sosial media saat ini, hanya path saja yang saya punya. Path pun isinya hanya orang-orang dekat saja.
Apakah dengan tidak mempunyai sosial media signifikan membantu Anda?
Sangat membantu. Saat kuliah S1, saat ingin belajar, saya lihat Facebook. Niatnya hanya 15 menit, tapi nyatanya berselancar di sosial media sampai 1 jam.
Sehingga jadi candu sekali. Daripada mengganggu, dihapus saja. Sekarang kalau Path, tidak terlalu banyak melihatnya.
Dalam waktu luang, apa yang Anda lalukan?
Baca komik Shinchan. Sejak kecil suka dengan karakter ini, kanal tapi ada baiknya juga.
Apa project penelitian Anda selanjutnya?
Masih soal katalis, tapi diperluas spektrumnya. Di dunia ada 232 material zeloit. Masing-masing jenis ada kelebihan dan kekurangannya.
Di usia muda ini selain menjadi ilmuan, apa pekerjaan Anda?
Belum berstatus dosen, tengah dipengurusan menjadi dosen. Saya hanya sebagai peneliti.
Sebenarnya saya ingin lebih banyak meneliti, karena tingkat penerbitan jurnal ilmiah di Indonesia kurang. ITB nomor satu dalam jumlah penerbitan jurnal ilmiah, 3000 penerbitan. Setelah itu UI dengan jumlah 2.000, dan UGM jumlahnya sekitar 1.000 jurnal ilmiah.
Indonesia masih tertinggal dengan Malaysia yang menghasilkan penerbitan jurnal ilmiah sampai 18.000 di 1 kampus.
Masuk halaman kedua...
Apa penelitian Anda saat S1?
Saya meneliti menggunakan zeolit alam dengan dimodifikasi menggunakan nano partikel sebagai katalis untuk mengkonversi limbah plastik menjadi bahan bakar seperti premium atau juga pertamax. Bahan bakar itu disebut gasoline.
Penemuan itu sudah aplikatif dalam skala laboratorium. Untuk diproduksi massal harus melibatkan ahli di bidang lain, seperti teknik mesin.
Apa pentingnya penemuan itu?
Untuk value added (nilai tambah). Banyak limbah plastik tak terpakai yang dibuang menjadi sampah, bahkan limbah laut paling banyak sampah plastik yang berasal dari daratan. Sementara saya berpikir, ini harus diatasi dengan memberikan nilai tambah ke limbah itu, yaitu dijadikan bahan bakar kendaraan bermotor.
Apakah ini penemuan terbaru?
Tidak, ini hanya lanjutan dari penemuan-penemuan sebelumnya. Saya membuat lebih baik konversi itu.
Lalu apa saja yang Anda teliti untuk S2 dan S3?
Di tahap ini, saya membuat material katalis sendiri yang namanya Zeolite Socony Mobil–5 (ZSM-5). Kelebihannya, material ZSM-5 sudah banyak dipakai industri petrokimia, seperti Pertamina. Material ini berbentuk serbuk dan digunakan dalam jumlah besar, sampai berton-ton perhari dalam sebuah kilang.
Materal katalis jenis ini dibuat dari silika dan alumina.
Masalahnya, sampai kini proses membuat meterial katalis ZSM-5 itu melewati suhu yang sangat tinggi di atas 150 derajat celcius dan menggunakan reaktor logam. Selain itu di proses sintesa itu membutuhkan molekul organik tetra propyl ammonium dalam jumlah banyak.
Dalam proses akhirnya, zeolit itu harus dibakar yang menghasilkan CO2 dan H2O yang berbahaya karena menghasilkan banyak emisi.
Sementara penelitian yang saya lakukan, bisa membuat ZSM-5 dengan suhu yang rendah, sekitar 90 derajat celcius. Sehingga bisa menghemat energi sangat signifikan. Karena temperaturnya rendah, pembuat bisa menggunakan reaktor plastik, bukan logam.
Selain itu, molekul organik yang digunakan lebih sedikir, hanya ¼ dari kebutuhan tetra propyl ammonium biasanya. Setelah jadi, performa ZSM-5 ini jadi lebih baik daripada katalis yang sering dipakai di industri. Jadi mempunyai keuntungan besar.
Biaya produksi penemuan saya jauh lebih kecil.
Penemuan ini Anda yang menemukan pertama kali?
Iya, saya yang pertama kali menemukan. Penemuan ini sudah dipublikasi di artikel jurnal ilmian internasional.
Apakah sudah dikembangkan ke taraf industri?
Belum, kami sedang kerjasama dengan dengan laboratorium dari Teknik Kimia ITB. Kami mau mengembangkan sampai tahap industri. Tapi membutuhkan waktu lama, sampai bisa dinikmati masyarakat banyak.
Berapa jumlah dana yang diperlukan untuk membuat penemuan Anda ini dipakai di industri?
Sangat besar. Saya belum pernah menghitung. Karena harus bekerjasama dengan bidang lain.
Negara mana yang sudah melakukan pengolahan minyak buminya yang efisien?
Industri petrokimia Indonesia sebagian besar mengimpor kebutuhan katalis dari Jerman dan Amerika. Jika Indonesia bisa punya bahan katalis nasional, bisa memberikan nilai tambah untuk negara.
Indonesia bisa mandiri secara energi. Tapi selama ini Indonesia belum memproduksi katalis, masih membeli.
Apakah Indonesia mempunyai bahan dasar pembuatan katalis?
Punya, dan melimpah.
Tahun 2015, saya diundang ke University of Bath di Inggris Raya untuk memberikan seminar atau kuliah singkat tentang material yang dibuat itu. Inggris tertarik dengan penemuan ini.
Jadi bagaimana caranya, sekarang Indonesia melihat ini sebagai kebutuhan penting untuk dikembangkan. Karena teknologi konversi minyak bumi menggunakan katalis penemuan saya belum dipakai di mana pun.
Apakah sudah ada negara lain yang tertarik mengembangkan penemuan Anda?
Resepnya saya rahasiakan. Saya maunya yang mengembangkan Indonesia, di dalam negeri. Ngapain kasih ke orang luar?
Bagaimana respon pemerintah Indonesia dengan temuan Anda ini?
Kami harus tunjukkan hasilnya dulu, karena masih dalam tahap laboratorium. Kita mau meningkatkan skalanya. Kalau sudah dalam tahap skala yang lebih besar atau pilot, bisa ajukan ke pemerintah.
Jika proses pembuatan katalisnya lebih murah, apakah bisa mempermurah harga BBM?
Mungkin saja. Karena untuk memproduksi materialnya lebih murah.
Pernah menghitung?
Tidak pernah. Tapi analogi sederhananya, penurunan suhu pengolahan katalisnya lebih rendah, sehingga menghemat listrik. Biaya pembelian molekul organik hanya menggunakan seperempat dari penggunaan saat ini.
Secara perhitungan kasar, kita sudah bisa lihat signifikan lebih murah.
Biografi Singkat Grandprix
Grandprix Thomryes Marth mendapat gelar doktor ilmu kimia pada 6 September 2017 di usia 24 tahun. Gelar Grandprix ukir sejarah baru dalam dunia pendidikan Indonesia lantaran prestasinya ini tercatat memecahkan rekor MURI sebagai pemegang gelar doktor termuda di Indonesia.
Lelai asli Kupang ini lulusan S1 Kimia Universitas Indonesia dan melanjutkan S2 dan S3 pada program studi yang sama di ITB. Disertasi yang membuat dia lulus sebagai doktor termuda se-Indonesia, dia mengangkat topik tentang zeolite sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5. Dibimbing oleh Dr. Rino Mukti, Dr. Veinardi Suendo, Prof. Ismunandar, dan Dr. I Nyoman Marsih sebagai promotornya. Grandprix telah menerbitkan 9 publikasi ilmiah berskala nasional dan internasional.