Grandprix Thomryes: Rahasia Menjadi Doktor Termuda se-Indonesia

Senin, 02 Oktober 2017 | 07:00 WIB
Grandprix Thomryes: Rahasia Menjadi Doktor Termuda se-Indonesia
c (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Grandprix Thomryes Marth Kadja membuat kaget dan siapa pun tercengang. Dia menjadi doktor ilmu kimia di usia 24 tahun.

Perjalanan pendidikan lelaki asal Kupang itu pun tergolong cermelang, otak encernya pernah membuatnya juara olimpiade kimia. Di usia mudanya itu, Grandprix pun sudah go internasional dengan menerbitkan 9 jurnal ilmiah. Semua tentang ilmu kimia.

Suara.com bertemu dengan salah satu manusia jenius di Indonesia itu di Jakarta pekan lalu. Peraih gelar master dan doktor dari Institut Teknologi Bandung itu buka-bukaan, bagaimana menjadi manusia jenius? Apakah belajar terus?

Bagaimana pula kehidupan masa mudanya hingga mendapat gelar doktor kimia, ilmu yang kebanyakan menjadi momok karena tingkat kesulitannya yang tinggi? Dia pun cerita itu.

Tak hanya sekadar berstatus doktor, dia juga penemu. Penelitiannya tentang zeolit diprediksi membuka babak baru dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) minyak bumi di Indonesia.

Sebab saat ini Indonesia terus dikritik belum mandiri untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak. Temuan Grandprix itu diprediksi akan membuat harga BBM di Indonesia menjadi terjangkau.

Apa penemuannya?

Simak wawancara lengkap suara.com dengan Grandprix berikut ini:

Bagaimana perjalanan singkat sekolah Anda?

Saya lulus S1 dari Fakultas MIPA Jurusan Kimia di Universitas Indonesia setelah kuliah 3,5 tahun. Setelah itu melanjutkan S2 lewat program Beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) di Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Tahun 2013 masuk S2 ITB, lulus 2015. Lalu langsung mengambil S3 dan 2017 lulus.

Di usia 16 menjadi mahasiswa. Apakah Anda menjalankan program pendidikan khusus saat itu?

Nggak ada target untuk mendapatkan gelar akademis dengan cepat. Namun saya mulai masuk Sekolah Dasar usia 5 tahun. Saat SMA menjalani program akselerasi, seharusnya sekolah 3 tahun, jadi hanya 2 tahun. Biasanya 1 semester dijalani 6 bulan, tapi hanya menjalankan 4 bulan.

Mengapa Anda minat mendalami ilmu kimia?

Mulai SMA, karena gurunya enak dalam mengajar. Setelah itu mengikuti olimpiade kimia se-provinsi Nusa Tenggara Timur, dan mendapat juara 1.

Bagaimana cara belajar Anda hingga bisa menjadi doktor di usia sangat muda, 24 tahun?

Kalau belajar di sekolah atau kampus dengan sangat serius, kalau di rumah tidak belajar, banyak main. Tidak pernah belajar sampai larut malam di rumah, biar seimbang.

Dari mana Anda mendapatkan cara belajar seperti itu?

Nggak belajar dari mana pun, saya mengikuti kesukaan saja. Tapi sebenarnya ada pemaksaan diri juga, kalau di sekolah serius belajar saja.

Apa yang memotivasi Anda untuk belajar dengan rajin dan serius?

Orangtua. Karena mereka sudah susah-susah sekolahkan saya. Kalau nggak serius, kasian sekali.

Anda masuk kuliah usia 16 tahun. Apa tantangan saat itu?

Paling sulit di awal kuliah, karena datang dari daerah jauh, Indonesia timur. Dari lahir sampai lulus SMA di Kupang, NTT. Tiba-tiba harus ke Ibu Kota dan kuliah di Universitas Indonesia, jadi gegar budaya, di tambah usia masih sangat muda. Harus menyesuaikan dari segi bahasa, untungnya punya teman baik.

Apa minat penelitian Anda di bidang kimia?

Jurusan Kimia mempunyai beberapa bidang, kimia fisik, kimia anorganik, kimia analitik dan bio kimia. Saya tidak minat di bio kimia karena tidak suka biologi. Tapi dalam perjalanan, saya suka kimia anorganik dan kimia fisik, sampai sekarang.

Kimia fisik dan anorganik mempelajari material, sekarang banyak bersentuhan dengan material katalis. Material katalis mempercepat reaksi kimia. Misal untuk mengkonversi minyak bumi mentah menjadi bahan bakar. Selain itu untuk memproduksi biogasoline (bahan bakar minyak) dari biomasa kelapa sawit atau juga dari limbah plastik.

Sejak S1 sampai S3 fokus mempelajari material katalis dan semakin mendalami.

Apakah Anda merasa pencapaian doktor di usia 24 tahun terlalu cepat untuk seorang ilmuan?

Untuk sekarang saya doktor paling muda, sebenarnya di luar negeri ada yang lebih muda. Indonesia memang perlu doktor-doktor muda untuk berkarier sebagai ilmuan. Sehinga waktu untuk berkarya lebih panjang. Tapi itu jarang di Indoesia.

Sampai saat ini, saya sudah mempublikasikan 7 artikel ilmiah di jurnal internasional. Empat publikasi ilmiah di antaranya mempunyai kategori Q1, atau terbit di jurnal internasional yang unggul.

Saya tunjukan dari Indonesia juga bisa.

Sebenarnya, bagaimana Anda mengatur waktu untuk belajar? Apakah sebagian besar waktu Anda digunakan untuk belajar?

Motto saya “work hard, play harder”. Di kampus serius belajar, tapi harus seimbang. Saya sama teman rutin tiap minggu main bulu tangkis, karoke dan nonton bioskop.

Dalam sehari berapa jam anda belajar?

Saya di kampus dari pukul 08.00 sampai 18.00. Sekitar 10 jam.

Bagaimana tips Anda agar tetap fokus dalam balajar dan bekerja?

Saya nggak punya Instagram, tapi pernah punya tahun 2012, tapi tidak pernah dipakai lagi.

Begitu juga Facebook, saya sudah non aktifkan akunnya. Saya tidak punya akun sosial media saat ini, hanya path saja yang saya punya. Path pun isinya hanya orang-orang dekat saja.

Apakah dengan tidak mempunyai sosial media signifikan membantu Anda?

Sangat membantu. Saat kuliah S1, saat ingin belajar, saya lihat Facebook. Niatnya hanya 15 menit, tapi nyatanya berselancar di sosial media sampai 1 jam.

Sehingga jadi candu sekali. Daripada mengganggu, dihapus saja. Sekarang kalau Path, tidak terlalu banyak melihatnya.

Dalam waktu luang, apa yang Anda lalukan?

Baca komik Shinchan. Sejak kecil suka dengan karakter ini, kanal tapi ada baiknya juga.

Apa project penelitian Anda selanjutnya?

Masih soal katalis, tapi diperluas spektrumnya. Di dunia ada 232 material zeloit. Masing-masing jenis ada kelebihan dan kekurangannya.

Di usia muda ini selain menjadi ilmuan, apa pekerjaan Anda?

Belum berstatus dosen, tengah dipengurusan menjadi dosen. Saya hanya sebagai peneliti.

Sebenarnya saya ingin lebih banyak meneliti, karena tingkat penerbitan jurnal ilmiah di Indonesia kurang. ITB nomor satu dalam jumlah penerbitan jurnal ilmiah, 3000 penerbitan. Setelah itu UI dengan jumlah 2.000, dan UGM jumlahnya sekitar 1.000 jurnal ilmiah.

Indonesia masih tertinggal dengan Malaysia yang menghasilkan penerbitan jurnal ilmiah sampai 18.000 di 1 kampus. 

Masuk halaman kedua...

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI