Suara.com - Pamor gerakan kelompok teroris ISIS sudah turun. Di sebagian kawasan Irak, ISIS sudah kalah.
Bulan lalu, puluhan orang Indonesia yang sempat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS, pulang. Mereka kecewa karena tidak mendapatkan kehidupan layak di sana.
Tidak diketahui pasti jumlah orang Indonesia yang masih tergabung dengan gerakan ISIS sampi kini. Banyak versi, mulai ratusan orang sampai ribuan. Namun versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ada 700-an WNI yang ke Suriah gabung dengan ISIS.
Terakhir, Juli 2017 lalu Turki meangkap 4.957 anggota ISIS dari berbagai negara. Paling banyak yang ditangkap dari Rusia 804 orang dan WNI 435 orang. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Pemerintah mewaspadai kepulangan mereka, bahkan Kementerian Dalam Negeri minta kepala daerah diminta memantau warganya yang baru kembali dari Suriah. Mereka dituduh akan meneror. Sementara BNPT akan membuat program deradikalisasi untuk mereka.
Apakah kepulangan mereka menjadi ancaman?
Analis terorisme, Al Chaidar mencatat ada ancaman teror besar beberapa tahun ke depan. Ini berdasarkan pengakuan kelompok-kelompok teroris yang masih berkomuniksi dengannya. Informasi dari alumni FISIP Universitas Indonesia itu diklaim ‘sahih’.
Di akhir tahun 90-an, Al Chaidar pernah membantu kegiatan organisasi Jamaah Islamiyah dalam menerbitkan Majalah Darul Islam di Malaysia. Penerbitan itu diketahui Osama Bin Laden, pemimpin jaringan Al Qaeda, dan dibiayai organisasi itu.
Ditemui suara.com di kawasan Tebet, Jakarta Selatan belum lama ini, calon doktor Antropologi UI itu banyak bercerita tentang pergerakan kelompok-kelompok teror di Indonesia. Dia mengatakan saat ini ada kelompok radikal yang belum bergerak dan tengah mencari formulasi atau cara baru melakukan aksi teror.
Dalam perbincangan itu, Al Chaidar pun banyak mengkritik penanganan terorisme oleh pemerintah selama ini. Dia khawatir penanganan terorisme, termasuk deradikalisasi di Indonesia, malah menjadikan kelompok teroris semakin radikal.
Sebahaya apa ancaman terorisme saat ini dan ke depan di Indonesia? Berikut wawancara lengkapnya:
Baru-baru ini puluhan warga negara Indonesia (WNI) pulang dari Suriah. Mereka adalah eks anggota ISIS. Apakah kepulangan mereka berpotensi melahirkan teroris gaya baru, seperti jihad selfi dan aksi teror yang dilakukan sendiri?
Ini yang sebut dengan gejala sesaat saja. Mereka tiba-tiba mau jihad dan ingin dilihat. Bagi mereka itu hanya belokan konservatif sesaat saja. Tidak akan radikal berikutnya.
Sebab teori tentang radikalisme terkait kekecewaan orang-orang yang kecewa dengan ISIS, mereka tidak akan kembali melakukan aksi teror. Jadi nggak perlu dilakukan deradikalisasi. Pemerintah harus lebih dekat dan menyebarkan kekecewaan mereka terhadap ISIS.
Secara teotiris, kalau dia sudah sampai ke tahap radikal atau teroris, dia hanya bisa dikembalikan ke tahap moderat. Proses pengembalikan mereka ke tahap yang moderat, namanya moderasi. Tapi masih radikal.
Tapi yang pulang dari suriah, mereka banyak yang kecekewa dengan ISIS. Justru mereka itu jangan dihalang-halangi. Tapi dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi tentang gerakan ISIS di sana. Terutama kekecewaan mereka yang tidak menemukan surga kecil atau oase di sana.
HTI dianggap ancaman dalam menumbuhkan benih terorisme. Makanya pemerintah pun mengeluarkan Peppu Ormas. Bagaimana pendapat Anda?
Bagaimana hubungannya dengan Peppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan ini? Dalam bahasa kelompok terorisme, Perppu ini disebut ruwaibidhah atau pemerintahan yang tidak cerdas.
Pemerintah melakukan pembubaran terhadap ormas yang tidak reaktif seperti HTI. Target berikutnya, saya memprediksi FPI. Bahkan yang beredar selama ini, ada 6 organisasi yang akan dilarang.
Kekhawatiran pemerintah selama ini adalah kelahiran kelompok teror baru dengan landasan ideoloogi agama tertentu. Apakah aksi teror saat ini dan ke depan berlandaskan ideologi tertentu?
Saya membahas sodalitas dalam tesis. Sodalitas adalah fanatisme organisational yang non primordial. Bagi organisasi yang seperti itu, mereka tidak akan pernah bisa mendaftar organisasi mereka di Kementerian Dalam Negeri. Mereka tidak peduli dengan semua itu.
Bahkan kelahiran ISIS yang terbaru ini, mereka tidak mau memegang pakem-pakem lama, yaitu merujuk dalam membuat organisasi harus merujuk ke Hadist dan Al Quran, bahkan sampai penamaan organisasi.
Namun semakin lama, rujukan itu sudah terlalu penting. Paling sederhana dalam hal memberi nama organisasi. Semisal kemunculan 1 sel organisasi terorisme, Katibah Gonggong Rebus (KGR).
Di lihat dari nama sel itu seakan ini kelompok tidak penting, tapi orang yang tergabung dalam organisasi itu yang tahu cara melakukan teror tertentu. Bahkan mereka menganggap hanya orang-orang yang ada di Gonggong Rebus ini yang bisa masuk surga.
Bagi kelompok seperti ISIS, adanya Perpu ini tidak penting. Tapi berbeda dengan kelompok yang sudah mengalami deradikalisasi, mereka menyayangkan.
Deradikalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap terpidana kasus teroris selama ini dikritik karena dianggap tidak efektif menangkal paham radikalisme. Pemerintah juga mensosialisasikan soal ideologi Pancasila sebagai otokritik terhadap paham radikal. Bagaimana pandangan Anda?
Seseorang menjadi radikal karena proses wacana, transmisi epistemic. Untuk membuat mereka tidak menjadi radikal, seharusnya ada proses transmisi epistemic. Tidak mudah melakukan dekonstruksi teologis, sebab mereka sudah mempunyai bangunan teologis sendiri.
Sebab faktor utama pembentukan terorisme adalah faktor teologis. Sementara faktor ekonomi juga ada, mereka karena miskin lalu berkumpul sebagai sesama yang senasib.
Banyak calon teroris yang tidak mempunyai dana untuk keluarganya, tapi paling penting adalah problem teologis.
Sehingga dekonstruksi teologi terhadap teroris ini tidak mudah sebab mereka sudah punya bangunan pemahaman teologi sendiri dengan kuat.
Pemerintah menjalankan program deradikalisasi yang secara teoritik sudah salah.
Tidak ada teori radikal yang bisa dihapuskan dengan teori deradikalisasi. Terorisme bukan seperti masalah elektrik. Seumpama lampu tidak menyala, tinggal menekan saklar. Masalah radikalisme berawal dari ideologi.
Lalu apa hal yang efektif bisa dilakukan saat ini untuk men-deradikalisasi?
Yang efektif menghilangkan radikalisme ini dengan menerapkan program kontra wacana. Pemerinntah harus masuk ke dalam tahap wacana kelompok teroris.
Sehingga radikalisme tidak dilawan dengan ideologi lain, semial Pancasila. Mereka tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan pemaparan itu.
Bagaimana teknis program kontra wacana ini?
Saat memasuki ranah wacana dan membicarakan rumusan konsep khillafah, maka antara pemerintah dengan kelompok radikal itu bisa berdiskusi tentang gambaran perbandingan khilafah dahulu dengan sekarang. Ulama-ulama dalam hal ini harus ikut terlibat dan menjelaskan.
Jadi program deradikalisasi saat ini saya menilai salah arah dan salah kaprah. Terlebih deradikalisasi diserahkan kepada ormas-ormas tertentu saja.
Program deradikalisasi ini sebaiknya diganti dengan program humanisasi. Saya membuat konsep program ini bersama teman-teman lain. Sudah diuji di Lemhanas dan kami diserang habis-habisan, tapi bisa mempertahankan teorinya.
Sebab ada beberapa calon teroris yang tidak menjadi teroris, misal yang ditemukan Noor Huda Ismail melalui film ‘Jihad Selfie’. Selain itu ada teroris yang sebelumnya sangat anti dengan orang-orang yang disebut kafir. Tapi setelah diperkenalkan dalam suatu suasana yang lebih akrab dan cerita.
Akhirnya kesadaran kemanusiaan itu akan tumbuh. Sehingga sisi humanismnya tumbuh dan tidak benci dengan non muslim dan orang-orang dianggap kafir.
Teroris juga manusia, yang harus disentuh sisi kemanusiaannya.
Kalau teroris represi dan dikeraskan, akan lebih besar sikap kebenciannya.
Makanya saya juga tidak setuju dengan proses hukum (UU Terorisme) kalau mereka ditangkap, lalu ditahan selama 6 bulan atau sampai 500 hari. Karena itu tidak perlu, begitu mereka ditangkap, mereka akan jujur ke mana jaringannya dan alurnya. Sehingga bisa menangkap yang lain-lain.
Bagaimana perkembangan pergerakan teror di Indonesia saat ini?
‘Target 2020’ itu disebut oleh beberapa organisasi teroris yang ada di Indonesia. Terutama organisasi yang terafiliasi oleh ISIS dan Al Qaeda.
Mereka menetapkan tahun 2020 sebagai target mereka habis-habisan melakukan serangan terhadap Indonesia. Bagi mereka 2020, sudah ditentukan oleh kelompok Jamaah Islamiah, JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), JAD (Jamaah Ansharut Daulah), dan faksi-faksi dari Darul Islam menyatakan bahwa mereka menargetkan berdirinya negara Islam tahun 2020.
Bagi mereka, di tahun 2020 adalah upaya ‘pembakaran’ habis-habisan. Bahkan upaya habis-habisan untuk melakukan tindakan yang mengarah pada fatalisme, atau bunuh diri.
Apakah aksi itu ada hubungannya dengan aksi pemerintah yang mengeluarkan Perppu Ormas dan membubarkan HTI?
Kelompok mereka selama ini sangat dekat dengan FPI dan mendapatkan banyak keuntungan dari kegiatan yang dilakukan FPI seperti berbagai aksi kemarin (411, 212 dan lain-lain) dan sebagainya. Bagi mereka itu sebuah peluang untuk mengumpulkan sumberdaya ekonomi tahun 2020 itu.
Tapi ada perbedaan ideologi FPI dengan mereka. Kalau FPI masih setuju dengan Pancasila dan NKRI, sementara mereka sudah tidak setuju.
Anda pernah menyebut ada 17 provinsi yang rawan dengan aksi terorisme?
Iya dan itu masih relevan. Meski kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Suhardi Alius ancaman itu ada di seluruh provinsi. Sementara menurut Panglima TNI ada di 16 Provinsi yang menjadi sel tidur.
Tapi menurut saya 17 provinsi. Paling rawan di daerah Jabodetabek. Jawa Barat dan Jawa Tengah juga mengerikan. Lebih detilnya di Cirebon dan Malajalengka itu bisa disebut ring of fire terorisme di Indonesia.
Kelompok mana yang perlu diwaspadai dalam aksi terorisme ke depan?
Mereka belum menemukan formulasi yang tepat untuk menentukan serangan. Mereka mencari cara melakukan serangan yang tidak melanggar HAM. Mana ada?
Kecuali kalau ada deklarasi perang dalam local area, mereka akan berpartisipasi aktif.
Saya melihat Al Qaeda dalam beberapa tahun ini sudah absen, tidak melakukan serangan. Selain itu karena tidak ada intelektual yang bisa merumuskan serangan teror yang cukup manusiawi.
Al Qaeda belum mendapatkan perintah dari pimpinannya sekaligus pengganti Osama Bin Laden, Ayman al-Zawahiri. Dia belum memerintahkan apapun untuk melakukan serangan di Indonesia Pascabom Bali.
Anggota Al Qaeda di Indonesia sebenarnya menunggu. Jadi jika pemerintah Indonesia mengklaim tingkat deradikalisasi di Indonesia berhasil karena aksi teror berkurang.
Sebenarnya bukan karena deradikalisasi itu berhasil, tapi memang anggota Al Qaeda belum memberikan amar atau perintah untuk menyerang.
Sementara jika ada letupan kecil aksi teror di Indonesia yang dilakukan ISIS, karena memang jaringan ISIS itu kecil.
Melakukan aksi teror dengan tidak melanggar HAM. Bisa Anda elaborasi soal ini?
Dalam hubungan dengan antropologi, terorisme bukan hanya mempunyai tujuan politik, tapi juga tujuan ideologis tertentu yang mendasari tindakan itu. Kekerasan untuk mendapatkan legitimasi agama.
Selama saya meneliti tentang terorisme, sebelum terjadi terorisme ada radikalisme, sementara sebelum itu ada fundamentalisme. Jadi mulai dari fundamentalisme, radikalisasi dan terakhir terorisme.
Tindakan terorisme adalah tindakan yang semena-mena dan sangat melanggar hak asasi manusia. Kalau sebatas ekstrimisme hanya sebagatas tindakan ekspresi ritual, kegamaan, atau ekspresi organisasi kemasyarakatan itu yang dianggap tidak mengganggu atau merusak hak asasi orang lain.
Sehinga fundamentalisme, radikalisasi dan terorisme sebagai ultimate crame sudah tergolong yang menyebabkan implikasi yuridis yang melanggar hukum. Teroris tahu apa yang mereka lakukan melanggar hukum.
Mereka menyadari jika Islam adalah agama yang dijadikan ideologi yang tidak pas ditempatkan dalam sistem demokrasi dan sistem politik sekuler. Sehingga para teroris beranggapan untuk membuat pas antara sistem Islam dan demokrasi, maka harus dipaksakan.
Sehingga PBB beranggapan terorisme bukan pelanggaran hukum biasa.
Dalam beberapa hal, teroris sadar melanggar tengah melanggar hukum. Tapi ideologi mereka dinilai mengharuskan hal itu terjadi. Sehingga membunuh orang yang dinilai tidak sepaham, dibenarkan dan ada proses legitimasi dan glorifikasi.
Tindakan teror diberikan nilai lebih, diagung-agungkan, dan heroism. Hal ini tidak bisa ditangkap oleh peneliti hukum, hanya antropolog.
Proses glorifikasi itu menimbulkan anggapan terorisme harus dilakukan karena mengikuti tahap ideologis tertentu. Akhirnya mereka yakin tindakan itu akan membawa ke surga. Mereka percaya jika mati syahid, maka jalan ke surga akan cepat. Saya menulis itu dalam tesis dengan judul ‘Shortcut to Heaven’.
Tindaka terorisme ini melanggar hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab bagi teroris, nyawa manusia tidak ada harganya.
Biografi singkat Al Chaidar
Al Chaidar, Lahir di Lhokseumawe, Aceh, 22 November 1969. Dia menyelesaikan SI jurusan Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1996 dengan skripsi berjudul ‘Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan Darul Islam dan Moro Nasional Liberation Front’ dengan predikat memuaskan.
Pengalamannya antara lain menjadi Redaksi Pelaksana dari Jurnal mahasiswa Ilmu Politik dan Sosial FISIP UI (1992-1994), Ketua Lingkaran Studi Creative Minority (LSCM) 1989-1993.
Semasa mahasiswa, penulis aktif diberbagai kegiatan di kampus. Dalam lingkup dunia akademis internasional, menjadi pembicaraan dengan paper berjudul ‘Indonesia and Japan:From a bitter past toward a better prospect pada The Third International Student Association of Japan 1992’, melakukan studi awal mengenai masyarakat dalam budaya Jepang (Tokyo, Kyoto, Osaka, Okayaman, Kobe, Hiroshima dan Kyushu) 1992, melakukan studi komporatif ke Malaysia dan Singapura dalam bentuk rangkaian diskusi mengenai isu-isu Politik.
Al Chaidar salah satu orang yang pertama mengungkapkan adanya kebangkitan gerakan Islam radikal di Indonesia. Al Chaidar pernah aktif di lingkungan NII (Negara Islam Indonesia). Al Chaidar ikut gerakan NII Abu Toto Abdussalam sejak 1991-1996. Dia secara dalam meneliti soal gerakan Darul Islam dan Moro.
Hasil penelitiannya mengungkap soal perpecahan dan integrasi organisasi DI. Dia memaparkan sejarah dan faksi-faksi dalam tubuh DI. Al Chaidar juga banyak bersinggungan dengan tokoh Jamaah Islamiyah di dalam mau pun luar negeri.
Al Chaidar perah membantu kegiatan organisasi Jamaah Islamiyah dalam menerbitkan Majalah Darul Islam di Malaysia. Penerbitan itu diketahui Osama Bin Laden, pemimpin jaringan Al Qaeda, dan dibiayai organisasi itu. Dia kenal dekat dengan Hambali alias Riduan Isamuddin.
Al Chaidar pernah menjadi koordinator aksi Sejuta Umat di kawasan silang Monas (Monumen Nasional), Jakarta Pusat, 7 Januari 2000. Karena itu, dia pernah ditangkap dan ditahan oleh Polda Metro Jaya dan pernah dibebaskan oleh Aktivis HAM, Komisi untuk Tindak Kekerasan dan Orang Hilang, Munir.