Bagaimana perkembangan pergerakan teror di Indonesia saat ini?
‘Target 2020’ itu disebut oleh beberapa organisasi teroris yang ada di Indonesia. Terutama organisasi yang terafiliasi oleh ISIS dan Al Qaeda.
Mereka menetapkan tahun 2020 sebagai target mereka habis-habisan melakukan serangan terhadap Indonesia. Bagi mereka 2020, sudah ditentukan oleh kelompok Jamaah Islamiah, JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), JAD (Jamaah Ansharut Daulah), dan faksi-faksi dari Darul Islam menyatakan bahwa mereka menargetkan berdirinya negara Islam tahun 2020.
Bagi mereka, di tahun 2020 adalah upaya ‘pembakaran’ habis-habisan. Bahkan upaya habis-habisan untuk melakukan tindakan yang mengarah pada fatalisme, atau bunuh diri.
Apakah aksi itu ada hubungannya dengan aksi pemerintah yang mengeluarkan Perppu Ormas dan membubarkan HTI?
Kelompok mereka selama ini sangat dekat dengan FPI dan mendapatkan banyak keuntungan dari kegiatan yang dilakukan FPI seperti berbagai aksi kemarin (411, 212 dan lain-lain) dan sebagainya. Bagi mereka itu sebuah peluang untuk mengumpulkan sumberdaya ekonomi tahun 2020 itu.
Tapi ada perbedaan ideologi FPI dengan mereka. Kalau FPI masih setuju dengan Pancasila dan NKRI, sementara mereka sudah tidak setuju.
Anda pernah menyebut ada 17 provinsi yang rawan dengan aksi terorisme?
Iya dan itu masih relevan. Meski kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Suhardi Alius ancaman itu ada di seluruh provinsi. Sementara menurut Panglima TNI ada di 16 Provinsi yang menjadi sel tidur.
Tapi menurut saya 17 provinsi. Paling rawan di daerah Jabodetabek. Jawa Barat dan Jawa Tengah juga mengerikan. Lebih detilnya di Cirebon dan Malajalengka itu bisa disebut ring of fire terorisme di Indonesia.
Kelompok mana yang perlu diwaspadai dalam aksi terorisme ke depan?
Mereka belum menemukan formulasi yang tepat untuk menentukan serangan. Mereka mencari cara melakukan serangan yang tidak melanggar HAM. Mana ada?
Kecuali kalau ada deklarasi perang dalam local area, mereka akan berpartisipasi aktif.
Saya melihat Al Qaeda dalam beberapa tahun ini sudah absen, tidak melakukan serangan. Selain itu karena tidak ada intelektual yang bisa merumuskan serangan teror yang cukup manusiawi.
Al Qaeda belum mendapatkan perintah dari pimpinannya sekaligus pengganti Osama Bin Laden, Ayman al-Zawahiri. Dia belum memerintahkan apapun untuk melakukan serangan di Indonesia Pascabom Bali.
Anggota Al Qaeda di Indonesia sebenarnya menunggu. Jadi jika pemerintah Indonesia mengklaim tingkat deradikalisasi di Indonesia berhasil karena aksi teror berkurang.
Sebenarnya bukan karena deradikalisasi itu berhasil, tapi memang anggota Al Qaeda belum memberikan amar atau perintah untuk menyerang.
Sementara jika ada letupan kecil aksi teror di Indonesia yang dilakukan ISIS, karena memang jaringan ISIS itu kecil.
Melakukan aksi teror dengan tidak melanggar HAM. Bisa Anda elaborasi soal ini?
Dalam hubungan dengan antropologi, terorisme bukan hanya mempunyai tujuan politik, tapi juga tujuan ideologis tertentu yang mendasari tindakan itu. Kekerasan untuk mendapatkan legitimasi agama.
Selama saya meneliti tentang terorisme, sebelum terjadi terorisme ada radikalisme, sementara sebelum itu ada fundamentalisme. Jadi mulai dari fundamentalisme, radikalisasi dan terakhir terorisme.
Tindakan terorisme adalah tindakan yang semena-mena dan sangat melanggar hak asasi manusia. Kalau sebatas ekstrimisme hanya sebagatas tindakan ekspresi ritual, kegamaan, atau ekspresi organisasi kemasyarakatan itu yang dianggap tidak mengganggu atau merusak hak asasi orang lain.
Sehinga fundamentalisme, radikalisasi dan terorisme sebagai ultimate crame sudah tergolong yang menyebabkan implikasi yuridis yang melanggar hukum. Teroris tahu apa yang mereka lakukan melanggar hukum.
Mereka menyadari jika Islam adalah agama yang dijadikan ideologi yang tidak pas ditempatkan dalam sistem demokrasi dan sistem politik sekuler. Sehingga para teroris beranggapan untuk membuat pas antara sistem Islam dan demokrasi, maka harus dipaksakan.
Sehingga PBB beranggapan terorisme bukan pelanggaran hukum biasa.
Dalam beberapa hal, teroris sadar melanggar tengah melanggar hukum. Tapi ideologi mereka dinilai mengharuskan hal itu terjadi. Sehingga membunuh orang yang dinilai tidak sepaham, dibenarkan dan ada proses legitimasi dan glorifikasi.
Tindakan teror diberikan nilai lebih, diagung-agungkan, dan heroism. Hal ini tidak bisa ditangkap oleh peneliti hukum, hanya antropolog.
Proses glorifikasi itu menimbulkan anggapan terorisme harus dilakukan karena mengikuti tahap ideologis tertentu. Akhirnya mereka yakin tindakan itu akan membawa ke surga. Mereka percaya jika mati syahid, maka jalan ke surga akan cepat. Saya menulis itu dalam tesis dengan judul ‘Shortcut to Heaven’.
Tindaka terorisme ini melanggar hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab bagi teroris, nyawa manusia tidak ada harganya.
Biografi singkat Al Chaidar
Al Chaidar, Lahir di Lhokseumawe, Aceh, 22 November 1969. Dia menyelesaikan SI jurusan Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1996 dengan skripsi berjudul ‘Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan Darul Islam dan Moro Nasional Liberation Front’ dengan predikat memuaskan.
Pengalamannya antara lain menjadi Redaksi Pelaksana dari Jurnal mahasiswa Ilmu Politik dan Sosial FISIP UI (1992-1994), Ketua Lingkaran Studi Creative Minority (LSCM) 1989-1993.
Semasa mahasiswa, penulis aktif diberbagai kegiatan di kampus. Dalam lingkup dunia akademis internasional, menjadi pembicaraan dengan paper berjudul ‘Indonesia and Japan:From a bitter past toward a better prospect pada The Third International Student Association of Japan 1992’, melakukan studi awal mengenai masyarakat dalam budaya Jepang (Tokyo, Kyoto, Osaka, Okayaman, Kobe, Hiroshima dan Kyushu) 1992, melakukan studi komporatif ke Malaysia dan Singapura dalam bentuk rangkaian diskusi mengenai isu-isu Politik.
Al Chaidar salah satu orang yang pertama mengungkapkan adanya kebangkitan gerakan Islam radikal di Indonesia. Al Chaidar pernah aktif di lingkungan NII (Negara Islam Indonesia). Al Chaidar ikut gerakan NII Abu Toto Abdussalam sejak 1991-1996. Dia secara dalam meneliti soal gerakan Darul Islam dan Moro.
Hasil penelitiannya mengungkap soal perpecahan dan integrasi organisasi DI. Dia memaparkan sejarah dan faksi-faksi dalam tubuh DI. Al Chaidar juga banyak bersinggungan dengan tokoh Jamaah Islamiyah di dalam mau pun luar negeri.
Al Chaidar perah membantu kegiatan organisasi Jamaah Islamiyah dalam menerbitkan Majalah Darul Islam di Malaysia. Penerbitan itu diketahui Osama Bin Laden, pemimpin jaringan Al Qaeda, dan dibiayai organisasi itu. Dia kenal dekat dengan Hambali alias Riduan Isamuddin.
Al Chaidar pernah menjadi koordinator aksi Sejuta Umat di kawasan silang Monas (Monumen Nasional), Jakarta Pusat, 7 Januari 2000. Karena itu, dia pernah ditangkap dan ditahan oleh Polda Metro Jaya dan pernah dibebaskan oleh Aktivis HAM, Komisi untuk Tindak Kekerasan dan Orang Hilang, Munir.