Marzuki Darusman: Pendekatan Kemanusiaan untuk Rohingya

Senin, 18 September 2017 | 07:00 WIB
Marzuki Darusman: Pendekatan Kemanusiaan untuk Rohingya
Marzuki Darusman. (suara.com/Dian Rosmala)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Internasional menyoroti sikap Aun San Suu Kyi yang lambat mengikapi pembantaikan Rohingya. Sebenarnya, bagaimana sikap Suu Kyi yang Anda ketahui?

Saya ingin membantah, bahwa Ibu Su kyi tidak berperan. Itu adalah satu fiksi. Ada satu situasi lebih rumit, lebih kompleks dan tidak bisa memberikan secepat yang dikehendaki. Jangan direfleksikan pada dunia, bahwa kita kehilangan kepercayaan terhadap yang bersangkutan.

Apapun yang nanti disampaikan, setidak-tidaknya ini menandakan bahwa Pemerintahan Myanmar responsif terhadap dunia internasional dan itu yang penting. Baru nanti selanjutnya kami melangkah lagi sedikit demi sedikit, sampai ada satu koordinasi di mana keamanan tertuliskan dan stabilitas sudah mulai tertanam kembali di sana.

Bisa Anda ceritakan bagaimana awal terbentuk TPF ini?

Tim ini terbentuk Maret 2017. Tapi baru tersusun sekitar sebulan yang lalu. Sasuatu yang nampak sekali pada saat ini adalah gelombang kebangkitan rasa kemanusiaan dari masyarakat Indonesia. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Ini sesuatu yang sangat menjanjikan. Dengan tidak mengecilkan, tentu bahwa ini terjadi bersamaan dengan penderitaan yang begitu luas. Masyarakat yang terpaksa meninggalkan daerah kehidupannya secara tidak sukarela.

Bagaimana fungsi TPF ini?

Tim Pencari Fakta ditugaskan secara intens untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang tidak reguler, yang tidak biasa, yang luar biasa, yang serius.

Pembentukan TPF didahului pelapor khusus Profesor Li Yang Hi dari Korea Selatan yang merupakan pelapor khusus ke empat yang menggambarkan bahwa masalah Myanmar, yang dulu Burma, sudah hampir 15 sampai 20 tahun ditangani oleh PBB dan mencapai puncaknya di akhir masa yang sekarang ini.

Sebetulnya sudah berlimpah informasi mengenai apa yang terjadi secara reguler di sana dan dunia sebenarnya sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Namun dalam hal ini tim pencari fakta dimandatkan untuk memastikan bahwa, apakah yang disinyalir yang terjadi itu dapat disimpulkan atau tidak dari kejadian-kejadian yang kita lihat dari hari ke hari ini. 

Artinya bahwa, fitrah itu hakikat dari apa yang telah terjadi di Rakhine dan di Myanmar pada umumnya, haruslah kesimpulan dari suatu proses penelitian yang dilakukan secara menyeluruh dan kiranya tidak bisa menjadi pangkal dari analisa yang disimpulkan terlebih dahulu lalu kami melakukan penelitian.

Karena itu Jika ditanya sekarang kepada kepada TPF mengingat bahwa sudah begitu banyak yang kita ketahui tentang Myanmar? Apakah telah terjadi genosida? Itu perlu disimpulkan, tidak bisa dijadikan pangkal analisa terlebih dahulu.

Ini yang saya maksud bahwa pembicaraan yang terakhir ini sedikit banyak memberikan perspektif bahwa kita masih harus menempuh satu proses untuk bisa memberi kualifikasi? Apakah yang telah terjadi di sana memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum internasional memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disimpulkan tadi?

Kami juga minta kesempatan untuk masuk ke sana, sekaligus pada saat awal ini dirintangi atau tidak terhalang untuk bisa masuk, maka fokus atau arah penelitian dari tim pencari fakta akan ditujukan kepada negara-negara yang terdampak, yaitu Bangladesh, Thailand dan Malaysia.

Apa yang dilakukan TPF dengan tidak terbukanya Myanmar?

Kami bisa mengerti, bahwa mengapa pemerintah Myanmar belum secara terbuka atau secara langsung dapat memberi akses kepada kami. Oleh karena tekanan-tekanan di dalam negeri sangat besar untuk mencegah tim pencari fakta ini masuk ke dalam.

Kedua adalah jangka periodisasi dari kerja TPF. Jangkauan periodisasi tujuan dari tim pencari fakta ini adalah untuk mengumpulkan fakta-fakta dengan sendiri yang dalam 1 kurun tertentu membentuk suatu pola kejadian yang bisa kemudian di kualifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang memenuhi syarat-syarat hukum internasional tadi.

Sejauhmana tolak ukur TPF dalam melihat kasus ini? Apakah melihat juga peristiwa masa lalu di sana?

Untuk sesuatu rangkaian kejadian bisa menjadi suatu pola, maka diperlukan satu ukuran massa tertentu yang ditetapkan bahwa kejadian itu menjelma menjadi pola. Sehingga ke belakang sekurang-kurangnya disepakati bahwa itu adalah 5 tahun ke belakang.

Hingga 2012, yang berkebetulan pada saat mana proses reformasi di Myanmar mulai terjadi dengan pemilihan waktu itu yang di menangkan LLB secara besar-besaran. Menjadi sesuatu yang shock bagi pemerintahan militer yang waktu itu masih berkuasa penuh.

Karena itu juga, sebagian proses apa yang terjadi di sana itu adalah manifestasi dari pada dinamika reformasi politik yang terjadi. Kami harapkan bahwa dengan demikian jikalau diperoleh gambaran tentang pola dan juga kecenderungan dapatlah dijelaskan. Mengapa kondisi umum di sana sini serupa, sehingga rentan terhadap pelanggaran pelanggaran HAM yang regular.

Anda adalah orang Indonesia yang mewakili PBB untuk menjadi ketua TPF...

Saya mau menyampaikan, bahwa posisi saya ini tidak terkait dengan Pemerintah Indonesia. Saya tidak mau mewakili Pemerintah Indonesia, demikian juga tidak anggota-anggota tim pencari fakta lain yang dari Sri Lanka dan Australia. Mereka tidak mewakili pemerintah mereka.

Pemerintah Indonesia sudah menemui Suu Kyi dan memberikan masukan untuk solusi dalam menyelesaikan konflik...

Kami sebagai TPF mengamati betapa Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan politik luar negeri dapat menempatkan diri dalam posisi yang sebaik-baiknya, diterima oleh Pemerintah Myanmar sebagai satu-satunya pemerintah pada saat ini bisa mempunyai hubungan dialog yang normal dengan pemerintah Myanmar.

Kami juga melihat ini sebagai suatu langkah yang bersamaan dengan dikeluarkannya laporan Kofi Annan yang baik di laporan itu. Bahwa Pemerintahan Myanmar menghadapi tantangan-tantangan yang amat luar biasa saat ini untuk mengatasi kemelut yang terjadi di dalam.

Sebagai akibat dari berbagai dinamika yang belum terselesaikan yang bertalian dengan bagaimana negara ini bisa memulai suatu proses untuk memulihkan keadaan yang diakibatkan oleh bertahun-tahunnya adanya pemerintahan yang restriktif yang terpusat terkonsentrasi sentralistik militeristik.

Karena itu memang banyak sekali ketertinggalan yang harus dikejar oleh permintaan Myanmar secara keseluruhan.

Biografi Singkat

Marzuki Darusman pernah menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia periode 1999-2001. Selain berkantor di PBB sebagai utusan Indonesia, dia merupakan Direktur Human Rights Resource Centre (HRRC).

Sosok yang lebih akrab dipanggil Kiki ini menamatkan pendidikan di bangku sekolahnya di SMA Kolese Kanisius. Karena ayahnya seorang diplomat, ia bersekolah di berbagai negara mengikuti ayahnya ditugaskan seperti Singapura, Australia, Perancis dan Portugal.

Ia pernah mengenyam pendidikan di jurusan Fisika Murni Institut Teknologi Bandung dan jurusan Arsitektur Universitas Goethe Frankfurt namun tidak selesai.

Marzuki menamatkan jenjang S1 jurusan Hukum internasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 1974. Selama kuliah, ia dipercaya menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (1970-1971) dan Sekretaris Jenderal Badang Kerjasama Senat/Dewan Mahasiswa Bandung.

Kiki mengawali kiprah politik sejak menjadi Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jawa Barat (1973-1974) dan Sekretaris Jenderal KNPI (1974-1978). Kemudian ia dipercaya menjadai Sekretaris Jenderal Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia/AMPI (1978-1981) dan selama menjadi Ketua KNPI Pusat juga menjabat Sekretaris Jenderal Komisi Kerjasama Pemuda Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara/ASEAN (1978-1981).

Kariernya terus menanjak dengan menjadi Wakil Presiden Dewan Pemuda Asia (1977-1993), Wakil Ketua IPU Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (1990-1992). Di dalam negeri, kariernya tak kalah mentereng. Kiki dipercaya menjadi Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1993-1998) lalu Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1998-2003).

Ia juga pernah menjadi Ketua Partai Golongan Karya, Ketua Fraksi Partai Golongan Karya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Jaksa Agung Kejaksaan Agung Indonesia. Saat menjabat sebagai Jaksa Agung, ia dianggap berprestasi karena berhasil menggiring beberapa koruptor papan atas ke dalam jerat hukum, diantaranya adalah mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin dalam kasus Bank Bali (sekarang Bank Permata) dan Raja Hutan Bob Hasan serta beberapa kroni Soeharto. Selain itu ia pernah menjabat sebagai Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 dan salah satu tokoh yang turut mendirikan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI