Dedi Mulyadi: Saya Diancam dan Dikejar-kejar Pakai Pedang

Senin, 11 September 2017 | 07:00 WIB
Dedi Mulyadi: Saya Diancam dan Dikejar-kejar Pakai Pedang
Dedi Mulyadi. (suara.com/Dendi Afriyan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sosok Dedi Mulyadi kembali menjadi perbincangan saat dicalonkan menjadi bakal calon orang nomor 1 di Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat. Kerja Dedi di Purwakarta sebagai bupati 2 periode banyak mendapat pujian.

Dedi mulai membangun Purwakarta sejak 2003, saat menjadi wakil bupati. Dedi menjadikan kabupaten seluas 971.7 kilometer persegi itu sebagai kawasan yang kental dengan nuansa budaya. Mulai menciptakan ciri khas gerbang pintu masuk Purwakarta, sampai membangun puluhan taman di sana.

Purwakarta pun dinobatkan sebagai kawasan 1001 taman. Selain itu, Purwakarta pun dipuji sebagai kota yang toleran. Selama memimpin, Dedi pun banyak didaulat menjadi pembicara bertema perdamaian dan toleransi.

Kini, Dedi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat lewat partainya, Golkar. Dedi yang juga Ketua DPD Golkar Jawa Barat, sudah mempunyai strategi untuk menang. Dia menilai dirinya mampu membangun Jawa Barat berdasar pengalamannya membangun Purwakarta.

Dedi pun sadar, sebagai sosok kontroversi yang memperjuangkan pluralisme banyak tantangan yang dihadapi. Terutama dari kelompok-kelompok intoleran.

“Saya tidak takut, karena sampai sekarang saja masih dibully,” kata Dedi. 

Suara.com menemui anak tentara itu di kantornya di Gedung Kembar Purwakarta pertengahan pekan lalu. Di sana Dedi berbagi cerita tentang keunikan daerahnya. Selain itu Dedi juga banyak membicarakan soal pencalonan dirinya sebagai Gubernur Jawa Barat melawan Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar.

Berikut wawancara lengkapnya:

Purwakarta dinobati sebagai Kabupaten yang mempunyai 1001 taman. Bagaimana Anda membangun taman-taman di sini?

Purwakarta terdiri dari desa-desa yang terhampar luas di seluruh Kabupaten Purwakarta. Wilayah ini juga terdiri dari hutan belantara dan aliran sungai kecil yang berkelok-kelok. Jika masuk ke kota, di sana dibuat taman-taman yang dibuat, karena kota tidak seindah desa.

Berapa jumlah taman di Purwakarta?

Jika yang besar baru ada 9 taman. Jika taman kecil yang tersebar se-Purwakarta jumlahnya ribuan. Purwakarta sebenarnya tidak perlu dibangun taman, karena Purwakarta ini adalah taman.

Gunung Burangrang, Danau Jatiluhur, Danau Cirata, dan Situ Wanayasa adalah taman yang terbentuk secara alami, dan tidak perlu dibuat taman oleh tangan arsitektur lagi.

Siapa yang merancang taman-taman di Purwakarta?

Saya sendiri yang mendesain seluruh taman di kota, meski tidak punya latar belakang arsitek. Tapi saya memahami, jika ilmu arsitektur itu adalah ilmu rasa. Jadi meski ada seseorang yang merancang taman itu bukan arsitek, tapi dia memiliki kepekaan rasa yang tinggi maka dia mampu berinovasi menciptakan sesuatu, yang lain tinggal nyuruh saja.

Apakah pembangunan taman itu menambah pendapatan APBD Purwakarta dari sisi materi?

Nggak ada keuntungan material yang didapatkan. Yang kami dapat keuntungan spiritual untuk masyarakat. Karena ruang publik harus tertata secara luas, apalagi Purwakarta sudah tumbuh menjadi kota industri. Maka harus dibangun ruang publik yang indah, agar spiritual manusia mengalami keindahan dari sisi apapun.

Selain itu dia bisa menapaki hidup dengan pandangan indah. Tapi keindahan itu tidak selalu berawal dari mata, tapi hati. Walaupun matanya melihat keindahan, tapi hatinya lagi sumpek, yah sumpek saja.

Apakah pembangunan taman ini menjamin rakyat Purwakarta menjadi bahagia? Dari mana indikator kebahagiaan itu?

Saya bukan penjamin, tapi bisa dari wajah orang Purwakarta. Mereka senyum-senyum dan suka selfie setiap sore. Itu biasa. Tapi saya selalu meletakkan apa yang dibangun itu mempunyai makna filosofi.

Saya selalu mengatakan bangsa yang tidak mempunyai tanah air, itu bukan bangsa. Bangsa yang tidak punya sejarah bukan bangsa. Bangsa yang tidak mempunyai tanah air dan sejarahnya, dia tidak akan memiliki karakter masyarakat.

Saya selalu meletakan karakter sebagai sisi yang fundamental di setiap pembangunan yang terjadi Purwakarta.

Termasuk dalam penataan taman, sehingga taman itu diberikan nama ‘Taman Pancawarna’, ‘Taman Pasanggrahan Pajajaran’, ’Taman Lingga Buana’, ‘Taman Citra Resmi’, dan lain-lain. Jadi semua dibuat dengan sejarah narasi kehidupan kebangsaannya. Sebab bagaimana pun sebuah komunitas masyarakat akan menjadi negara besar kalau dia mempunyai kebanggaan dengan masa lalu.

Purwakarta merupakan basic dari Kerajaan Pajajaran, termasuk Bogor dan Karawang. Dahulu, Purwakarta tempat penyimpanan logistik dari Kerajaan Pajajaran. Sungai Citarum membelah Purwakarta yang dipakai sebagai sarana transportasi Pajajaran pada saat itu.

Anda juga menciptakan nama-nama kereta kencana…

Iya, mulai dari nama Ki Jaga Rasa, Nyi Mas Melati, Ki  Jaga Sunda, dan Ki Jaga Raga. Jadi nama-nama yang diwariskan leluhur itu hebat. Punya makna filosofis, estetis dan mempunyai makna bagi lingkungan yang holistik.

Kerangka itu yang bisa kita bangun menjadi bangsa besar. Bagaimana Cina bisa membuat film yang hebat-hebat? Karena mempunyai sejarah masa lalu dan menceritaka heroisme masa lalu itu.

Kalau kota-kota yang tidak dibangun dengan heroisme masa lalu, maka hanya akan menjadi kota urban. Kota Urban hanya tempat bagi tempat berkumpulnya manusia, di mana kotanya hanya terletak pada fasilitas saja, dan kemampuan ekonomi masyarakatnya.

Sehingga kota itu menjadi mahal, harga rumahnya mahal, masyarakatnya juga akan depresi. Kenapa masyarakatnya akan depresi, karena kalau dia tidak kerja maka tidak bisa makan.

Bagaimana cara Anda membangun kota yang humanis?

Dengan karakter kebudayaan itu, artinya mempunyai karakter tentang Pancasila. Bicara tentang Pancasila, kita bicara tentang ketuhanan. ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang merupakan sila pertama, itu bukan wujud Tuhan.

Itu sifat Tuhan yang esa, itu adalah tujuan hidup yang menuju esa. Seluruh niat kita diarahkan pada kemuliaan hidup pada sesuatu yang tunggal. Maka di situ kita harus membangun dengan karakter pembangunan yang memiliki identitas lingkungan. Yaitu memiliki nilai kemanusiaan, nilai kesatuan, nilai kerakyatan dan keadilan.

Kalau semua itu mau diterapkan, maka harus kembali pada kebudayaan.

Jika bicara soal arsitektur, arsitektur yang mempunyai nilai kemanusiaan itu yang mana? Arsitektur yang diwariskan leluhur kita dalam bentuk kebudayaan. Misal setiap rumah harus mempunyai jendela karena setiap orang harus berinteraksi.

Selain itu pagar rumah juga tidak terlalu tinggi karena menggambarkan keterbukaan. Sebab penghuni rumah itu tidak lagi mempunyai rasa takut. Tidak mempunyai rasa takut karena orang miskinya sudah mendapatkan makan yang baik, sudah diberikan pakaian yang layak, dan sudah disiapkan sekolah yang memadai.

Dalam mewujudkan program pro rakyat, apa kesulitan Anda terberat selama ini?

Tidak ada kesulitan. Saya selalu memahami pembangunan selama ini. Apa sih sulitnya membangun? Kalau duitnya ada, gampang. Kesulitan yang saya alami saat ini, karena jumlah APBD-nya tidak sesuai dengan ide yang saya miliki. Itu saja.

APBD Purwakarta kecil, hanya Rp2,4 triliun. Terlalu kecil dibandingkan dengan ide liar saya yang tidak pernah berhenti. Tapi di situ asiknya, karena pemimpin yang hebat itu adalah yang mampu mengelola keuangan kecil itu menjadi sesuatu yang besar.

Jika APBD Purwakarta terlalu kecil, berapa jumlah yang Anda perlukan?

Rp3 triliun, mungkin sudah cukup saat ini.

Kesulitan selanjutnya adalah, banyaknya orang yang memisahkan antara nilai kemanusiaan dan nilai kemanusiaan.

Anda dikenal sebagai sosok yang berbeda dalam hal pemikiran. Bahkan kelompok agamis menuduh Anda musrik, dan belum lama ini ada isu penolakan sejumlah ulama di Jawa Barat terhadap Anda. Bagaimana Anda menghadapi itu semua?

Kalau ada orang yang menentang, itu biasa. Selama penentangannya itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Indonesia menganut paham konstitusi Pancasila. Konstitusi Pancasila sudah lama hidup dalam masyarakat Indonesia.

Simbol-simbol kebudayaan bukan sesuatu yang baru. Keributan di Purwakarta itu bukan persoalan mempertentangkan simbol kebudayaan dengan agama, tapi ketidakpuasan politik yang kemudian mencari celah.

Sebab saya menilai, celah dalam ruang pembangunan tidak ditemukan. Mau kritik apa? Jika mengkritik infrastruktur jalan, di sini lebih baik daripada di tempat lain. Begitu juga infrastruktur pendidikan dan kesehatan.

Purwakarta mempunyai dokter dan ambulans desa, jadi sudah luar biasa. Bahkan mengkratiskan dalam berobat.

Sementara di fasilitas ruang publik, Pemerintah Purwakarta membuka layanan pengaduan 24 jam. Sementara untuk mengkritik infrastruktur estetika, pun susah.

Sehingga satu-satunya celah adalah mengkritik sikap saya yang getol memperjuangkan kebudayaan sebagai identitas nilai dari pembangunan nilai Purwakarta. Itu lah celah yang diambil untuk memberikan otokritik.

Jadi bagi saya orang yang anti terhadap kebudayaan, dia sesungguhnya tidak anti terhadap itu. Tetapi anti dengan saya dengan menggunakan isu itu.

Bagaimana sikap Anda? Apakah akan merangkul mereka?

Kalau disadarkan, mereka itu manusia. Jika dirangkul, kan nggak bisa. Kalua orang yang sudut pandangnya tidak suka dengan saya karena ada konflik politik yang berlangsung lama, menurut saya biarkan saja.

Semakin mereka beroposisi pada saya, semakin saya ditempa. Maka saya akan semakin tajam. Di banding saya tidak punya oposisi, dampaknya menjadi lupa pada diri saya sendiri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI