Sumarsih: Penagih Janji Presiden di Bawah Payung Hitam

Senin, 04 September 2017 | 07:00 WIB
Sumarsih: Penagih Janji Presiden di Bawah Payung Hitam
Maria Catarina Sumarsih. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dalam aksi itu, Anda juga selalu menulis surat buat presiden…

Surat itu mulai ditulis Juli 2007 karena ada ide yang tak terduga dari Kapolsek Jakarta Pusat saat itu. Setiap Aksi Kamisan mengirimkan surat yang isinya berbeda-beda, tergantung isu-isu aktual. Termasuk menyikapi kenaikan berbagai harga, mulai listrik, telepon, BBM dan tarif jalan tol.

Bahkan polisi mengakui jika saya juga memperjuangkan nasib-nasib anggota kepolisian karena kenaikan berbagai tarif. Terakhir, kami juga menyuarakan protes pengajuan hak angket KPK.

Apakah surat-surat yang Anda kirimkan pernah dibalas presiden?

Di era Susilo Bambang Yudhoyono hanya diteruskan ke berbagai instansi pemerintah. Setelah presiden Jokowi, tidak diteruskan. Tapi saya rajin menelusuri surat itu sudah sampai mana saja. Orang-orang di Sekretariat Negara saat ini baik-baik sekali, kami dikasih tahu surat-surat itu sudah sampai mana saja.

Tapi semenjak Wiranto diangkat menjadi Menkopolhukam, saya sudah tidak pernah telepon ke Sekretariat Negara untuk menelusuri surat itu. Sudah ada tidak ada semangat.

Wiranto adalah orang yang diduga bertanggungjawab di dalam penembakan mahasiswa di Tragedi Semanggi 1 dan 2 dan Tragedi Trisakti.

Anda kaget ketika Wiranto diangkat Jokowi menjadi Menkopolhukam?

Tidak kaget. Karena sejak awal saya mengatakan para pelanggar HAM itu berlindung di ketiak Jokowi.

Bagiaman ketika Jokowi mencalonkan menjadi presiden, Hanura sudah memberikan dukungan. Setelah itu bagaimana kedekatan Hendropriyono (Mantan Kepala BIN) dengan Jokowi saat kampanye, sampai menjadi penasihat Jokowi. Lalu bagaimana Sutiyoso diangkat menjadi Kepala BIN.

Jokowi, sebelum diangkat menjadi presiden sempat menyatakan berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Anda masih optimis dengan janji itu?

Dalam beberapa pernyataan, Jokowi menyatakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat diperlukan keberanian mencari terobosan untuk menyelesaikan secara rekonsiliasi, yudisial dan non yudisial.

Sementara berkas penyelidikan pelanggaran dari Komnas HAM mandek di Kejaksaan Agung dan dipim-pong kembali ke Komnas HAM. Sementara Komnas HAM tidak ingin membuka hasil penyelidikan pelanggaran HAM itu ke publik dengan alasan rahasia negara. 

Di awal tahun memimpin, Jokowi membentuk komite gabungan pengungkap kebenaran dan rekonsiliasi yang anggotanya adalah Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Mabes TNI, Mabes Polri, Komnas HAM dan BIN.

Sementara di rezim Soeharto, TNI dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Saat itu Sutiyoso diduga terlibat dalam kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996.

Sehingga dapat dikatakan di era Jokowi ini belum ada kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Anda masih yakin kasus pelanggaran HAM ini akan dituntas di era Joko Widodo?

Keyakinan, sebagai salah satu cara saya untuk memelihara harapan. Tapi saya pesimis terhadap hasil yang diharapkan, tapi saya optimis untuk berjuang.

Siapa pun presidennya kami akan menuntut kasus-kasus itu untuk diselesaikan sampai di negera ini tidak terjadi kembali pelanggaran berat.

Background Anda buka aktivis HAM, tapi pegawai di DPR. Dari mana pemahaman HAM Anda dapatkan?

Sampai sekarang saya tidak tahu persis, apakah HAM itu? Saya masih mendalami. Tapi HAM secara dasar sudah saya pahami. Tapi kan HAM tidak hanya diatur di UU saja.  Ada hukum internasional yang mengatur dalam HAM.

Pertama kali saya mendengar HAM dari Romo Sandyawan tahun 2000, setelah 2 tahun peristiwa penembakan Wawan. Lalu banyak LSM yang mengadakan seminar dan diskusi publik. Sebagai korban, saya sebelumnya tidak tahu mau ngapain.

Saat Wawan meninggal dengan mata tertutup, tangan diikat di dada dan kaki jempolnya sudah diikat juga, saya ini seperti mati rasa.

Saya pun baru mencari soal cerita kematian wawan tahun 2005. Bagaimana Wawan ditembak? Bagaimana para tentara menjaga mahasiswa yang demo tahun 1998  itu? Saya pun mulai ikut demo di Bundaran HI.

Anda sempat melempar telur busuk saat pembahasan dugaan pelanggaran HAM di DPR…

Saat itu tahun 2001 saat sidang Paripurna DPR yang berisikan 4 agenda. Salah satunya laporan Pansus Trisakti dan Semanggi 1-2. Sebanyak 3 fraksi menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat, dan 7 fraksi menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM.

Saya kesal, dan saya melempar telur itu. Banyak partai yang meminta agar saya dipecat, tapi sampai pensiun tidak dipecat.

DPR periode 2004-2009 mengkaji hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai kasus penembakan Tragedi Semanggi 1 dan 2 dan Tragedi Trisakti. Hanya 4 fraksi yang setuju dibawa ke Sidang Parpurna. Lalu saya menuliskan spanduk yang isinya mengajak masyarakat tidak memilih Partai Golkar dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009.

Surat-surat itu disebar ke semua kotak surat fraksi DPR. Berita di media menjadi heboh karena ditulis, saya ingin bubarkan Partai Golkar. Saya dipanggil dengan Sekjen DPR.

Saya pensiun dari DPR usia 55 tahun tahun 2008. Saya pegawai Kesekjenan DPR yang ditempatkan di Sekertariat Fraksi Partai Golkar untuk mengurusi keuangan di sana.

Saya ini orangnya Setya Novanto, saat itu menjadi Bendara Umum. Ketika itu, saya pegang uang ‘rahasia’.

Anda sempat mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien, dan baru saja mendapatkan Tasrif dari AJI Indonesia. Apa arti penghargaan itu?

Saya dulu menolak Yap Thiam Hien, karena saya merasa tidak berhak menerima. Yang berhak menerima adalah Wawan. Saya tahu persis apa yang dilakuka Wawan.

Dia memperjuangkan masalah kemanusiaan, memperjuangkan masa depan bangsa dan negara. Saya selalu bersama-sama Wawan, termasuk mendiskusikan soal 6 tuntutan reformasi.

Mau sampai kapan mau berdiri di depan Istana mencari keadilan?

Selama Tuhan masih menganugerahkan nyawa dalam tubuh saya. Saya merasa harus menyuarakan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sampai sekarang belum dapat perhatian dari Presiden Jokowi.

Sekarang saya merasa semakin tidak ada harapan kasus pelanggaran HAM ini akan diselesaikan di era Jokowi.

Bahkan ada korban yang mengatakan, sebelum jadi presiden pasti berjanji. Begitu jadi presiden, akan lupa dengan janjinya.

Biografi singkat Sumarsih

Sejak anaknya ditembak saat demonstrasi tahun 1998, Maria Catarina Sumarsih mulai menjadi aktivis hak asasi manusia. Sampai kini dia masih mencari pembunuh Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I.

Wawan ditembak pada 13 November 1998 di dada kiri. Saat itu di bersama ribuan mahasiswa lain berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa dan mendorong penghapusan dwifungsi ABRI. Wawan sebagai relawan medis saat itu.

Sumarsih lahir di Rogomulyo, Susukan, Semarang, 5 Mei 1952. Sumarsih menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat pada tahun 1963 dan melanjutkan ke tingkat SMEP dan akhirnya menyelesaikan SMEA Negeri di Salatiga tahun 1969. Ia menikah dengan Arief Priyadi pada tanggal 5 Desember 1978 dan dikarunia dua orang anak yaitu Wawan dan Benecdicta Raosalia Irma Normaningsih. Sumarsih adalah pegawai Sekretariat Jendral DPR RI yang pernah mengurusi keuangan Partai Golkar saat Setya Novanto menjadi bendahara umumnya.

Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sumarsih mendata kondisi korban pelanggaran HAM di Jakarta. Dengan lancar dia bisa bercerita panjang lebar mengenai kondisi-kondisi korban yang lain. Kerja kerasnya untuk memperjuangkan dan menagih janji pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM ditandai dengan pemberian Yap Thiam Hien Award Tahun 2004. Dia baru saja mendapakan pengakuan dari insane pers melalui Tasrif Award 2017. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memberikan penghargaan itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI